[10] Wanda's House

863 79 2
                                    

Holaaaaa! Update akhirnya. Kemaren harus belajar buat ulangan, draft abis pulak jadi gk bisa update dan baru bisa sekarang. Btw banyak typo tapi jangan lupa vomments ya! Enjoy..
________________________________________________________________

ADELIA :

Aku menghembuskan napasku, lalu menariknya lagi. Swan pose memanglah posisi yang paling kusukai dalam yoga. Kenapa? Hanya karena.

Setelah bertemu dengan Ayah, rasanya ada beban yang dijatuhkan di leherku. Pegal? Jelas. Tapi, pegal hati. Emosiku jadi susah diatur. Dan bermain dengan hati dan emosi membuatku lelah dan lesu. Dan berlarilah aku kepada hobiku ini. Yoga dan meditasi.

Aku menyukai olahraga kelas atas ini. Kenapa kelas atas? Karena yoga membutuhkan ketenangan dan kelenturan tubuh dan meditasi membutuhkan fokus. Keduanya tidak bisa dilakukan sebarang orang. Dan menurutku, hobi-hobiku ini sangat bermanfaat untuk kesehatan jiwa dan mental. Apalagi, aku harus menenangkan diriku agar bisa kembali berpikir jernih.

Bunyi musik di ruangan ini berhenti, pertanda akhir dari kelas. Aku melepaskan kakiku yang tertahan di lengan dan membuka mata. Kemudian, aku melihat pantulan diriku dari cermin besar. Aku tersenyum, Well done, Adel!

Aku mulai melipat karpet yogaku dan memasukannya ke dalam tas. Kemudian, aku memakai sport jacket untuk menutupi tubuhku yang hanya mengenakan sport bra. Tak lupa, aku juga berpamitan pada teman-teman sekelasku yang rata-rata wanita paruh baya. Hanya tiga orang wanita muda, termasuk aku, yang mengikuti kelas ini.

Aku pun turun ke lantai satu dan keluar dari Yoga Fit, lalu masuk ke dalam mobil SUV putihku. Oh, ngomong-ngomong, aku suka SUV.

Aku mengernyitkan langit yang mendung. Sebentar lagi akan hujan lebat. Suara petir sudah beberapa kali terdengar. Kulihat Wanda sudah ditinggal oleh teman-temannya. Wajahnya terlihat panik saat sedang berbicara pada ponselnya. Hm, ada apa?

Aku memutar mobilku menuju pintu depan Yoga Fit, di mana Wanda berada. "Wanda, apa ada masalah?" tanyaku.

"Oh, Adel. Aku harus mencari taksi. Supirku--"

"Aku akan mengantarmu pulang," potongku. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum masuk ke dalam mobilku.

"Jadi, ada apa dengan supirmu?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Oh, mobilnya mogok jadi tidak bisa menjemputku. Untung saja kau menolongku, Adelia," katanya.

"Ya, kau sangat beruntung. Nah, di mana rumahmu?"

Setelah menempuh waktu 30 menit, akhirnya aku sampai di sebuah rumah besar di kawasan komplek elit. Hujan bertambah deras. Damn it! Pasti akan susah melihat.

"Adel, sebaiknya, kau masuk dulu. Kau bisa mandi dan makan malam di sini. Lagipula, hujan sangat deras. Kau akan sulit melihat," ajak Wanda.

Kalau aku sulit melihat, aku bisa saja kecelakaan. Bisa cacat bahkan mati. HELL NO! Baiklah, aku akan menetap di sini sampai hujan mereda.

"Baiklah."

Aku memasuki rumah besar dan luas itu. Tidak heran jika banyak pembantu di sini. Siapa nanti yang akan membersihkan rumah ini?

"Ayo, duduk dulu. Anggap rumah sendiri, ya!" ujar Wanda kemudian meninggalkanku di ruang tamu.

"Halo, Nona Summer," suara itu membuatku menoleh ke arah sumber. Berdirilah seorang pria paruh baya yang tidak asing bagiku. Walau tidak asing, tetap saja aku lupa. Hmm, siapa dia ya?

"Aku Raven, suami Wanda. Aku ingin berterima kasih padamu karena sudah mengantar istriku pulang."

"Ah, itu bukan masalah besar. Oh, kau bisa memanggilku Adel," kataku ramah.

"Dad, apa Mom sudah--Summer?"

Aku terkesiap. Jadi, ini kediaman Javier. Ah, dasar ceroboh!

"Hai, Javier. Aku tidak menyangka kau adalah anak Wanda," kataku sambil memaksakan senyum.

"Heh, seharusnya kau membuka biografiku di google. By the way, sudah kukatakan untuk memanggilku dengan nama depanku, Summer," katanya. Dasar nasrsistik!

"Sepertinya, kalian dekat," celetuk Wanda yang sudah muncul dengan pakaian santainya. Heh, dekat dia bilang? Bagaimana bisa aku berdekatan dengan manusia sepertinya?

"Ah, tidak--"

"Ya, kami cukup dekat. Bahkan, kami sempat menjadi partner dansa dan membicarakan banyak hal," katanya sambil duduk di sampingku. Lalu, ia menatapku dari bawah ke atas.

"Kau juga ikut kelas yoga yang sama dengan ibuku, ya? Pantas saja badanmu bagus!" pujinya yang langsung mendapat lemparan bantal dari Wanda.

"Orion, sopan santun!"

Dan dia hanya terkekeh. Huh, dasar menyebalkan!

"Ah, kalian sangat cocok menjadi pasangan. Ya, seandainya saja suamiku ini tidak menjodohkan Orion dengan wanita payah itu. Dia bahkan tidak bisa memasak dan mengurus perusahaan dengan benar. Pekerjaannya hanya belanja dan menghabiskan uang. Sangat merugikan!" omel Wanda kesal.

"Honey, jangan menjelek-jelekkan Vannia," tegur Raven.

"Jadi, kau membelanya?!"

Raven gelagapan,"Tidak, sayang. Aku--"

"Huh, aku sudah lelah berpura-pura baik di hadapannya dan keluarga Dexter! Aku tidak akan berpura-pura lagi!" bentak Wanda lalu pergi dari sana.

"Aku menyusul istriku dulu. Adel, nikmati waktumu di sini." Lalu, Raven pergi mengejar istrinya.

"Eum, maafkan ayah dan ibuku yang seperti anak kecil. Mereka terus bertengkar walaupun sudah tua," kata Orion tak enak.

Aku tersenyum masam. Aku jadi teringat Ayah dan Ibu. "Tidak apa. Lebih baik seperti itu daripada tidak sama sekali.."

"Apa maksudmu?" tanyanya bingung.

Aku menggeleng, biarlah ini kusimpan sendiri.

"Ah, sebaiknya kau mandi dan ganti baju. Aku akan mengambilkan baju ibu. Ayo!"

🐚🐚🐚

Staying AfloatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang