[31] Before The War

721 62 3
                                    

Helloo!! Aku mau bacot dulu. Sebelumnya, aku mau bilang makasih sama kalian yang udah mau baca, vote, dan comment. Bikin aku semangat buat lanjutin cerita ini. Oke, happy readingg!!
________________________________________________________________

Adel melangkahkan kakinya dengan malas menuju ruang VVIP cafe tersebut. Dengan setelan casualnya, ia melangkah semena-mena ke dalamnya.

"Wah, wah, wah. Kau tidak pernah berubah Adelia. Masih sesukamu!" sindir Celline sinis.

Adel memang sengaja mengulur waktu agar terlambat lima belas menit. Lagipula, kenapa ia harus tepat waktu? Kedua orang di hadapannya ini bukanlah orang penting, tapi makhluk rendahan.

Adel mengedikan bahunya cuek, lalu ia duduk di hadapan kedua wanita itu. "Langsung pada inti. Apa yang mau kalian bicarakan?"

Celline mendengus kesal,"Heh, sombong sekali! Jangan semena-mena karena kau sudah berhasil sekarang!"

Adel memutar bola matanya malas. "Ya, ya. Terserah. Jadi, apa maumu?"

"Kembalikan Ayah." Vanni angkat bicara.

Adel mengernyit, berpura-pura tak mengerti. "Atas dasar apa kau menuduhku menculik ayah tirimu itu, Nona Dexter?"

Vanni terperangkap. Ia menjadi bingung dan terjebak. "Kau..tidak menculiknya?"

"Jangan berbohong, Adelia! Aku tahu kau yang menculiknya dan mengambil semua surat penting di kamarku! Kau bahkan memecahkan barang-barang antik kesayanganku!" teriak Celline geram.

"Memecahkan barang-barang antikmu, hm?" Adel tertawa. "Kau sendiri sangat tahu cara menakutiku, Jalang."

Adel memang memiliki trauma mendengar suara pecahan kramik atau kaca sejak pertengkaran ayah dan ibunya malam itu. Bahkan, Celline dan Vanni sering menyiksanya dengan memanfaatkan traumanya itu.

Cellie terdiam, tak tahu harus berkata apa. Jadi, Adel mengambil kesempatan itu untuk berbicara.

"Dengar.." Adel menatap mereka berdua dengan tajam.

"Jangan mengganggu ketenangan hidupku ataupun mengancamku. Aku tidak menginginkan apa yang kalian ambil dulu. Aku dan adikku sudah bahagia dengan kehidupan kami sekarang. Kami tidak membutuhkan Jonathan ataupun Pia lagi. Kami juga tidak peduli," tekan Adel tajam.

"Ta-tapi, kau merebut Orion dariku!" ujar Vanni.

"Aku? Orion? Yang benar saja! Aku ini tunangan Dylan. Heh, sepertinya kau sangat bermasalah jika Wanda lebih menyukaiku.." Adel berkata sombong.

"Bukannya itu jelas? Kau itu anak haram, lalu ibumu perebut suami orang. Apa kalian pantas untuk dihormati? Meminta saja sangatlah memalukan!"

Celline mulai geram dan melayangkan tangannya untuk menampar Adel, namun dengan sigap Adel menahan tangan itu. "Jangan sekali-kali kau menyentuhku dengan tanganmu yang menjijikan itu!" Adel menatapnya dengan tajam.

"Jangan macam-macam dengan Devan lagi. Atau aku akan mengungkapkan siapa kalian!"

Itulah perkataan terakhir Adel sebelum pergi dan membanting pintu meninggalkan dua wanita yang cemas dan ketakutan.

🐚🐚🐚

ADELIA :

"Jadi, kumohon pada kalian untuk merahasiakan hubunganku dengan Rion," kataku sambil menatap Wanda dan Raven.

Wanda mengernyit tak setuju. Tentu saja dia bingung dengan perkataanku. "Apa maksudmu, Adel?"

"Kami mengerti. Lalu, bagaimana statusmu dengan Kid?" tanya Raven membuat Wanda cemberut tak puas.

"Kami masih akan memakai status 'bertunangan' itu demi keamanan Kakak." Kali ini Dylan yang menjawab. Itulah yang sudah kami sepakati.

"Jadi, aku harus cemburu setiap kali kalian datang ke sebuah acara bersama? Menyebalkan!" Rion melipat tangannya di dada.

Aku terkekeh,"Maaf. Ini hanya sementara.."

"Kau seperti anak kecil, Kak. Menggelikan!" ledek Dylan.

"Hei, ceritakan padaku apa yang terjadi. Sepertinya, hanya aku yang tidak tahu," ujar Wanda.

Raven tersenyum dan membawa istrinya pergi dari sana. "Aku akan menceritakannya padamu di kamar, Sayang. Ayo!"

Dan tersisalah aku, Rion, dan Dylan di sini. Ck, kenapa dia tidak pergi juga sekalian?!

"Nah, lihat itu, Kak! Tatapan yang menyuruhku pergi agar tidak mengganggu waktu kalian. Ck, benar-benar!" Dylan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ugh, aku tahu dia mau mempermalukanku di depan Rion. Ck, sialan! Pipiku pasti sudah merah...

"Hei, jangan menggoda gadisku. Pergi sana dan cari kekasih!" ujar Rion mendukungku.

"Baiklah, terserah kalian. Tapi, ingat kalian harus berhati-hati. Jangan pergi ke apartemen milik kalian tanpa aku. Kalau perlu, kalian bisa menggunakan apartemenku. Tapi, jangan bercinta di sana," ujar Dylan dan langsung kulempar wajahnya dengan bantal.

"Hehehe. Kakak iparku sangat polos ternyata.."

"Diamlah! Atau aku akan memberi--"

"Baiklah, baiklah. Aku pergi. Selamat bersenang-senang!"

Fiuhh. Akhirnya dia pergi juga. Dasar setan pengganggu!

"Hei, mau ke taman?" Rion mengulurkan tangannya. Aku mengernyit,"Ini musim gugur menjelang salju, Bee. Kita akan kedinginan.."

Tapi, tetap saja aku menyambut uluran tangannya. "Kupastikan kau akan tetap hangat, Sugar.." Ahh, manisnya kekasihku.. Ada yang mau? Langkahi dulu mayatku!

Sesampainya di taman, Rion langsung mengajakku duduk di atas ayunan kayu. Di sana juga ada sebuah selimut dan dua cangkir cokelat. Melihat selimut itu, aku jadi teringat saat di Indonesia. Oh! Jangan-jangan..

"Ya. Kita akan mengulangi kejadian manis itu, Sugar." Seolah tahu apa yang aku pikirkan, Rion mulai menarikku untuk duduk di pangkuannya dan mulai menyelimuti tubuh kami berdua.

Aku bersandar di dadanya. "This time, you made the move first," kataku.

"Ya. Mulai sekarang, aku yang akan membuat gerakan terlebih dahulu. Kau hanya harus menanti, oke?"

Aku mengangguk. Ah, setidaknya aku bisa bersantai sebelum memulai perang. Huft.. Perjalananku masih panjang..

🐚🐚🐚

Staying AfloatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang