[37] Meet

700 54 2
                                    

Siang semuaaaaa!! Aku tadinya mau ngepost malem kemaren, tapi udah ngantuk dan harus nambah sekitar 150 kata lagi. Masuk rank #39 nih ngomong-ngomong. Makasih ya yang udah bawa cerita ini sampai kesini + sabar menghadapi author labil hehe..

Oke happy reading everyone! Jangan lupa pencet 🌟 yaaaa!! :D
________________________________________________________________

ORION :

Aku menghapus air matanya itu. Ini salahku. Harusnya, aku tidak memaksakan keinginanku padanya. Aku benar-benar tidak tahu dan terkejut tentang masa lalunya.

"Maaf.." kataku pelan.

Dia menggeleng,"Sudah seharusnya aku menceritakannya padamu. Maaf membuatmu menunggu.."

Aku mengusap pipinya pelan,"Kau bahkan tetap cantik walaupun menangis. Aku beruntung memilikimu, Sugar." Aku membawanya ke dalam pelukanku.

"Nanti, kalau semuanya sudah selesai, aku akan memperkenalkanmu pada Ayah dan Ibu. Aku janji," katanya masih sesenggukan.

"Kutunggu. Dan, bolehkah aku membantumu?" tanyaku hati-hati.

Dia menggeleng dan air matanya mulai keluar lagi. Sepertinya, dia benar-benar sensitif..

"Aku tidak mau kau terluka.."

Aku mengusap kepalanya,"Baiklah. Tapi kalau kau perlu bantuanku, aku akan selalu ada. Oke?"

Dia mengangguk kecil. "Ayo, turun. Banyak yang harus kusampaikan pada Devan."

Aku memiringkan kepalaku untuk menatapnya yang sudah keluar dari mobil. Kenapa moodnya cepat sekali berubah. Huft, dasar wanita..

Aku pun langsung menyusulnya ke dalam rumah dan langsung mendapati adiknya yang sudah berdiri di hadapanku sambil bersedekap. Sial! Pasti dia mengira aku yang membuat kakaknya menangis. Eh? Tapi, memang aku, kan?

"Duduk," titahnya.

Aku meneguk ludahku susah payah. Aku baru menghadapi adiknya, bagaimana aku akan menghadapi Paman Joe nanti?

"Bukannya aku bermaksud tidak sopan, Javier. Tapi sepertinya kau datang bukan untuk urusan bisnis, bukan?" tanyanya. Ya, Tuhan..di mana Adel??

Tidak. Jangan jadi pengecut, Orion! Hadapi! Ini belum seberapa. Ya, belum seberapa..

"Ya. Kali ini, aku ingin memperkenalkan diri sebagai kekasih kakakmu. Namaku Orion Javier. Aku sudah menjalin hubungan dengan kakakmu selama dua bulan," kataku tegas sambil menatap matanya.

"Kau tahu, jangan berpikir akan lebih berat jika menghadapi ayah kami. Kau tidak perlu menghadapinya karena aku yang akan mengantar kakakku ke altar," ujar Devan dingin.

"Apa kau benar-benar dengan kakakku? Karena lebih baik kau menghilang jika kau hanya bermain-main.."

"DEVAN! WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!" teriak Adel dengan tangan terkepal. Baiklah, apa aku akan menonton pertengkaran kakak dan adik?

"Eum..aku tidak melakukan apa-apa, Kak," katanya dengan wajah polos. Aku tercengang melihat perubahan mimik dan logatnya. Wow, pria ini berbahaya..

"Apa itu benar, Bee? Apa adikku mengatakan hal yang aneh?" tanya Adel lembut sambil menghampiriku.

Aku menggeleng. Ya..ini demi restu dari sang adik. Inilah strategi memenangkan hati calon adik ipar. Semangat, Orion..

"Kami hanya berbincang sedikit mengenai bisnis," kataku. Namun kerutan di dahi Adel muncul, dia ragu.

"Benarkah? Kalian tidak sedang membohongiku, kan?"

Kami berdua menggeleng. "Itu benar-benar tentang bisnis, Kak." Ya, tentang memenangkan tender restumu, Adik Ipar!

"Oh, pantas kalian terlihat serius sekali. Nah Dev, sebaiknya kau ke kamarmu. Ibu menulis surat untukmu. Kuletakan di atas nakas," katanya.

Setelah Devan pergi, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega. Adel sudah duduk di sampingku dengan setoples kue kering di tangannya.

"Jadi, ini masalah restu, hm? Kau meminta restunya, kan?"

Shit! Aku lupa kalau dia punya bakat intel.

🐚🐚🐚

Wanita paruh baya itu memeluk sahabatnya yang sudah lama tak ia temui. "Kau benar-benar tidak berubah, Alfred!" candanya.

Pria tua bernama Alfred itu terkekeh,"Itu bukan masalah. Sekarang masalahnya adalah apa anakmu tahu kau di sini? Dia bisa marah besar padaku jika aku merahasiakan keberadaanmu, Pia.."

"Aku tahu," kata Pia cuek.

"Kau juga tidak berubah. Selalu merepotkanku. Ngomong-ngomong, kau ingin bertemu dengan mantan suamimu, bukan? Ayo, kuantar!"

Sesampainya di ruang tamu, Alfred berniat memberikan kedua orang itu privasi. "Kau tahu, dia masih mencintaimu, Pia. Dia menyesal," kata Alfred sebelum benar-benar pergi.

Pia hanya diam. Ia tidak mengharapkan hal itu untuk terjadi. Yang ia inginkan hanya anak-anaknya. Itu saja.

Perlahan, ia duduk di hadapan Jonathan yang sedari tadi sibuk membaca koran tanpa mengetahui keberadaannya.

"Pia.." Matanya membulat melihat wanita yang ia cintai kini muncul di hadapannya. "Apa benar ini kau?" tanyanya tak percaya.

Pia tersenyum, lalu mengangguk. "Ya. Ini aku. Bagaimana kabarmu?" tanya Pia pelan.

Jonathan tersenyum,"Jauh lebih baik saat melihatmu berdiri di sini. Dan, kau sepertinya benar-benar baik selama ini."

Pia tersenyum miris,"Aku tidak sebaik itu, aku merindukan anak-anakku. Untungnya, gadis kecil itu menemuiku. Sekarang, aku tinggal menemui Devan."

Jonathan berjalan mendekati Pia. Lalu, ia berlutut di hadapannya. "Maafkan aku. Aku sangat bodoh memilih wanita itu dibandingkan kalian. Aku benar-benar menyesal. Maaf telah menghianatimu.. Aku tahu aku tidak bisa kembali lagi, maka dari itu maafkan aku.." ujar Jonathan dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Perkataan juga mata milik mantan suaminya berhasil membuat Pia tersentuh, bahkan ia sudah menangis. Ia memeluk Jonathan dan berkata,"Aku sudah memaafkanmu.."

Saat itu juga, air mata Jonathan benar-benar jatuh. Kini, ia menumpahkan segalanya. "Ya..terima kasih.."

🐚🐚🐚

Staying AfloatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang