[19] A Night With Dylan

844 75 2
                                    

Halooooo! Ini chapter buat hari ini. Enjoy yah! Jgn lupa tekan 🌟. Makasihhh and lov uuu 😘😘😘
________________________________________________________________

Gadis itu meletakkan kaleng birnya hingga meja itu bergetar. "ALFRED SIALAN!!!!" teriaknya kesal.

Dylan menahan tangan Adel yang hendak menghubungkan kaleng bir itu dengan mulutnya. "Cukup. Kau sudah mabuk, Adel."

Adel menatap mata Dylan, lalu tersenyum. "Kau.." tunjukknya.

Tangannya mulai membingkai wajah Dylan. "...si buruk rupa yang tampan," katanya setengah sadar. Lalu, dengan ringannya tangan kecil itu menampar pipi Dylan.

"Tapi, menyebalkan!" Adel tertawa puas melihat Dylan yang mulai kesal.

Adel membanting dirinya ke atas sofa milik Dylan. Saat ini, mereka sedang berada di apartemen milik Dylan yang belum pernah ia tinggali. Dan di sinilah mereka, menghibur diri bersama. Untuk pertama kalinya, Dylan menemani Adel minum. Karena Adel sendiri bukanlah orang yang minum dengan sembarang orang.

"Beast!" panggil Adel.

"Hm?" jawab Dylan malas.

Adel menatap Dylan yang masih berdiri,"Kemarilah."

Dylan pun duduk di atas karpet, memunggungi Adel yang sedang berbaring.

"Ceritakan tentang dirimu," pinta Adel.

"Tidak ada yang menarik." Dylan kembali meminum birnya.

"Jangan berbohong. Ayolah, beri tahu aku!" rengek Adel. Dylan diam, berpikir untuk memulai ceritanya dari mana.

"Mom dan Dad selalu membanggakan Orion yang pintar dalam segala hal. Mereka..sering membanding-bandingkanku dengannya," ujar Dylan.

"Lalu?"

"Aku tidak ingin menjadi bayang-bayang kakakku. Aku..ingin menjadi diriku sendiri."

"Jadi, lebih baik pergi daripada terus dalam kondisi yang merugikan itu. Aku bukanlah Orion," ujar Dylan tegas.

"Kenapa kau harus pergi? Kau kan bisa menjadi dirimu sendiri tanpa harus pergi," ujar Adel bingung.

"Aku tidak ingin mengecewakan Mom dan Dad. Aku pergi agar aku bebas menjadi siapapun yang aku mau. Dan aku mencintai kebebasan itu. Tidak ada aturan dan tidak ada batas," jawabnya sambil tersenyum.

Dylan tidak mendengar pertanyaan lagi dari Adel. Tapi, ia merasakan sepasang tangan melingkari lehernya,"Kau tidak mengecewakanku, Dylan.."

Dylan tersenyum. Perkataan Adel benar-benar menyentuh hatinya sampai-sampai matanya mulai memanas. Ia kembali tersenyum begitu mendengar napas teratur Adel. Perlahan, ia melepaskan pelukkan Adel dan menyelimutinya.

Dylan kembali berjongkok sebelum pergi ke kamarnya. "Kau..adalah sahabat terbaikku, Adelia.."

🐚🐚🐚

ORION :

Aku memasuki apartemen milik Dylan. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan password konyolnya yang selalu kuingat dengan baik di kepala. Aku mulai melangkahkan kakiku ke dalam. Belum kutemukan dirinya. Sampai sebuah suara menarik perhatianku.

"Sekarang, aduk adonannya dengan cepat."

Suara yang familiar. Aku melangkahkan kakiku ke dalam dapur. Mataku membulat dengan sempurna. Di sana ada Adel yang tengah memasak dan mengenakan kemeja panjang milik adikku. Sial, sial, sial! Apa dia begitu mudah melupakan perkataannya?!

"Aku pun juga begitu, Javier." katanya sambil menatapku serius.

"Tapi, keadaan tidak mengijinkan kita saat ini. Kau dengan Vanni dan aku bersama adikmu. Meminta bertukar pasangan dengan kedua orang tuamu adalah hal yang konyol, Javier," sambungnya.

Aku menghela napas. Ya. Dia benar. Sangat benar sampai aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Aku kembali menatapnya. "Mungkin di lain kesempatan, Summer.."

Dia tersenyum,"Ya. Di lain kesempatan. Dan jika saat itu tiba, aku tidak akan mudah kau dapatkan, Javier."

"Aku menunggu saat itu. Kalau begitu, aku pergi," pamitku.

Dia melambai,"Hm. Hati-hati.."

"Oh, Javier? Kapan kau datang?" tanyanya lembut.

"Eum..baru saja. Maaf, aku tidak memencet bel terlebih dahulu. Aku tidak tahu kau di sini," kataku tak enak.

"Babe? Kau melihat ponselku?" teriak seseorang. Aku tahu itu pasti adikku. Dan apa? Babe? Ck!

"Ada di sofa, Honey!" teriak Adel.

Wah, wah, wah. Mereka benar-benar romantis!

"Ouh, Brother. What the hell are you doing here?" tanya Dylan dengan hanya celana pendeknya saja. HANYA.

"Mon mengomeliku karena aku tidak bisa menemukanmu. Ternyata kau di sini, bersenang-senang dengan kekasihmu," sindirku.

"Well, kalau Mom tahu aku bersama calon menantu favoritnya, dia tidak akan memarahiku. Ya kan, Babe?" Dylan memeluk Adel dari belakang dan mencium pelipisnya.

Fuck, fuck, fuck! Aku benar-benar ingin menonjoknya saat ini.

"Hm. Apa kau ikut sarapan, Javier?" tanya Adel.

Aku menggeleng. Bagaimana bisa aku terus di sini? Aku bisa menghabisi adikku sendiri nantinya.

"Aku hanya ingin memastikan adikku bisa dihubungi. Telingaku sudah mulai bengal karena omelan Mom. Aku pergi."

🐚🐚🐚

ADELIA :

"Hahahaha.. Kau lihat wajahnya tadi?"

"Sepertinya, kau sangat puas.." sindirku.

Aku sangat tahu kalau manusia menyebalkan di hadapanku ini sengaja bermesraan denganku di depan kakaknya. Dasar adik durhaka!

"Well.. Aku hanya ingin membuatnya iri," katanya santai.

"Jadi.. Kau sering iri dengan apa yang dia punya?" Aku mengambil kesimpulan.

"Hm.. Tidak juga. Hanya ada satu hal."

"Apa?"

"Perhatian orang tuaku."

Ah, aku sedikit ingat dengan apa yang dia ceritakan tadi malam. Ya, walaupun aku setengah sadar, aku bisa menangkap kesedihannya itu. Entah mengapa, aku merasa sangat cocok dengannya. Kami punya luka yang berbeda, tapi kami sama menderitanya.

"Dy--"

Ponselku tiba-tiba berbunyi, mengusik pembicaraan kami.

"Ya, Oliver?"

"Adel, adikmu kecelakaan!"

🐚🐚🐚

Staying AfloatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang