[42] Peace

673 51 2
                                    

Happy 2k everyoneee!! Gak nyangka udah sejauh ini. Thanks to you, my beloved readers 💋💋💋.

Happy reading! Jangan lupa pencet 🌟 yaaa!! Thankss 🙏🙏🙏
________________________________________________________________

ADELIA :

Akhirnya, aku pulang. Eugh, aku benci rumah sakit! Rasanya sangat memuakan berada di sana.

Ayah, Ibu, aku dan Devan sedang duduk di sofa untuk membahas sesuatu. Sebenarnya, aku tidak tahu apa yang akan dibahas. Sepertinya, Ibulah yang akan memulai topiknya.

Ngomong-ngomong, wajah Devan terlihat benar-benar suram. Kurasa dia tidak menyukai keberadaan Ayah di sini. Terlihat jelas, kalau Devan masih belum bisa memaafkannya. Dia bahkan tidak berkata apapun sejak tadi. Jangan lupa, dia juga merajuk karena aku memperbolehkan Ayah untuk menginjakan kakinya di sini.

"Eum, Pia..sebaiknya, aku pulang saja," kata Ayah tak enak. Aku yakin pasti aura tidak suka milik Devan menguar dan tertuju padanya.

Ibu menarik tangan Ayah, menahannya. "Aku tidak mengizinkanmu. Duduk dan dengarkan apa yang akan kukatakan," ujar Ibu dengan nada tak terbantahkan.

"Devan, Adel.." panggil Ibu dengan nada serius. Kami berdua menatapnya.
"Ibu akan menikah dengan ayah kalian. Lagi."

Mataku membulat sempurna, bahkan hampir keluar dari tempatnya. Ya, Tuhan.. Benarkah? Aku melihat tatapan terkejut milik Ayah dan segera menoleh ke arah Devan untuk melihat reaksinya. Namun..

"Lakukanlah. Tidak ada hubungannya dengan kami. Kalian menikahlah. Aku dan Kakak akan hidup seperti biasa. Jangan sangkut pautkan kami lagi," katanya dingin. Lalu, dia mulai melangkah pergi. Goddamn it, Dev!

"Dev--"

"Kalau Kakak ingin bersama mereka, maka lakukanlah. Aku akan pergi," potongnya dan dia benar-benar pergi menuju kamarnya.

Aku menatap Ibu dan Ayah yang terlihat gelisah. Aku mencoba tersenyum pada mereka,"Aku akan membujuknya." Huft, do your best, Adelia!

Aku segera melangkahkan kakiku menuju kamar Devan. Kulihat dia sedang memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Dengan cepat, aku menahan lengannya. "Berhenti, bersikap seperti anak-anak, Dev!" kataku sambil menatapnya yang enggan menatapku.

Lalu, Devan menatapku. Baiklah, dia akan marah. "Bagian mana dari sikapku yang seperti anak-anak, hm? Apa Kakak bisa dengan mudah melupakan segala hal yang sudah kita alami sampai sekarang? Kau bahkan hampir mati!" bentaknya.

"Sama sepertimu, aku juga belum melupakannya, Dev! Dan, kita tidak harus melakukannya. Yang kita perlukan adalah berdamai dengan masa lalu dan memulai semuanya lagi dengan baik," kataku.

Devan menyentakan tangannya dan kembali mengisi kopernya. Dia tidak pernah bersikap kasar padaku seperti tadi dan itu membuatku sedih. Mataku mulai memanas dan tenggorokanku tercekat. Devan yang melihatku seperti ini menghela napasnya. Dia mulai merengkuhku ke dalam pelukannya.

"I'm sorry, Sis. I didn't mean it," katanya sambil mengusap kepalaku. Ya, Tuhan.. Kenapa aku malah menangis?

Devan mengurai pelukannya dan menghapus air mataku. "Baiklah. Aku akan tetap tinggal, tapi ingat. Aku di sini bukan untuk pria tua itu, tapi untukmu dan Ibu," katanya.

Aku mengangguk. Tidak apa. Mungkin Devan perlu waktu. Lagipula, cepat atau lambat dia akan berbicara pada Ayah. Siapa yang kuat tidak berbicara dengan orang yang tinggal bersamanya?

"Ayo, kita temui mereka!" kataku penuh semangat dan mulai menggandeng tangan adikku.

🐚🐚🐚

"Pia..jangan bercanda.." ujar Jonathan mencoba untuk tidak berharap.

Bukannya menjawab, Pia malah melipat tangannya. "Jadi, kau tidak ingin kesempatan kedua? Huft, sepertinya aku salah berasumsi kalau kau masih mencintaiku," katanya dengan nada kecewa.

Jonathan menggeleng kuat dan menggenggan tangan Pia erat-erat. "Kau tahu, aku hanya tidak menyangka kau akan memberikannya padaku. Terima kasih! Aku berjanji tidak akan mengecewakan kalian lagi," ujar Jonathan sambil memeluk Pia senang.

Namun, Pia mendorong Jonathan menjauh. "Jangan berjanji. Buktikan!" katanya galak.

Jonathan tersenyum miring dan memajukan wajahnya hendak mencium Pia. "Aku akan membuktikannya.."

"Ehem!" Dehaman itu merusak momen romantis pasangan itu. Mereka saling menjauh sambil menanggung malu di hadapan kedua anak mereka.

"Sebaiknya, kalian cepat menikah dan tinggal di sini. Kau setuju kan, Dev?"

"Hm."

Jonathan dan Pia tersenyum senang,"Terima kasih!"

"Nah, nah. Ibu, ayo kita buat makan malam. Ayah dan Dev bisa membaca koran di taman, oke?" ujar Adel meminta persetujuan.

Pia dan Jonathan mengangguk, sedangkan Devan langsung pergi menuju taman belakang.

"Ayah, semangat!" kata Adel yang dibalas senyuman oleh ayahnya.

Adel masih berdiri di sana sambil tersenyum lega. Ia menyadari beginilah rasanya hidup damai. Damai bukanlah selalu melalui kematian. Damain juga bisa didapatkan di dunia.

"Adel, apa kau jadi membantuku?" teriak Pia dari dapur.

Adel kembali tersenyum. Kali ini dengan deretan gigi putihnya. "Aku ke sana, Bu!"

🐚🐚🐚

Staying AfloatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang