Chapter 2

1.6K 109 6
                                    

Orion, Steve, dan supir mereka, Tonny keluar dari mobil dengan kedua tangan mereka yang di angkat. Empat orang yang difasilitasi pistol itu mengarahkan benda berbahaya itu pada mereka.

"Pilihan yang sangat baik, Tuan Javier. Kau memilih tempat yang sepi untuk bernegosiasi," ujar salah satu dari mereka yang memiliki tato di lehernya.

Wajah penuh amarah Orion membuatnya tersenyum. "Oh, maafkan aku, Javier. Aku pasti sudah mengganggu waktumu yang berharga untuk mengurusi perusahaanmu yang sudah diretas itu, bukan? Tapi, tenang saja. Ini tidak akan memakan waktu yang banyak."

"Jadi, kau bukan orang yang meretas perusahaanku?" tanya Orion bingung.

Pria itu menggeleng. "Kami tidak meretas, Javier. Kami membunuh," katanya membuat Steve dan Tonny merinding.

"Nah, sekarang yang harus kau lakukan adalah menandatangani surat-surat ini." Pria itu menangkat beberapa lembar kertas dan sebuah pena.

"Apa isinya?" tanya Orion serius.

"Pernyataan bahwa kau memberikan seluruh sahammu pada kami. Bagaimana?"

"Kau gila!" teriak Orion kesal.

"Ya, cukup gila untuk mendapatkan sesuatu, Javier.." katanya sambil mendekati Orion.

"Lihatlah, dirimu, Orion. Pakaian yang bagus, mobil mahal, dan gunung emas. Sedangkan aku... AKU HIDUP SUSAH DI JALANAN KARENA KAU MENGHANCURKAN PERUSAHAAN AYAHKU!!" teriaknya tepat di depan wajah Orion.

Orion terkekeh membuat semua orang di sana terdiam bingung. Ia menatap pria itu. "Jadi, kau Adrian Chen? Heh, banyak yang ingin kuutarakan tentang ayahmu yang pecundang itu. Dan sepertinya, pepatah selalu benar, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya."

Wajah pria itu memerah menahan hasrat untuk mengamuki Orion. "Lihatlah sekelilingmu dan kau akan tahu seberapa bodohnya dirimu itu, Adrian.."

Adrian memutar kepalanya dan mendapati anak buahnya sudah tewas dengan anak panah yang menancap pada tubuh mereka. Wajahnya pias dan ia mulai merasa panik.

"Selamat tingg—"

Dor! Tubuh Adrian sudah ambruk terlebih dahulu sebelum Orion sempat menyelasaikan kalimat perpisahannya. Orion, Steve, dan Tonny menghela napas lega. Hanya sementara karena mereka kembali waspada akibat bunyi semak-semak dan tapakan kaki.

Seorang wanita cantik menapakan kakinya ke atas tanah setelah terjun dari pohon. Ia berjalan menghampiri ketiga orang itu dengan busur di tangan kanannya. "Tidak ada yang terluka?" tanya Adelia.

"Ti-tidak, tidak ada, Nona.."

"Kalau begitu, bantu aku membawa orang ini ke sekitar mobil. Dan kau, Tuan, harus ikut bekerja!" tunjuk Adelia pada Orion.

Sementara Steve dan Tonny mulai bekerja, Orion masih menatap wanita itu tak percaya. Berani sekali wanita itu untuk memerintahnya. "Kenapa kau masih diam? Apa kau merasa terhina?" tanya Adelia dengan wajah menantangnya. Adelia mengambil anak panahnya.

"Baiklah, baiklah!" ujar Orion kesal.

Tak lama, mobil yang sempat dikendarai oleh Adelia dan Arlen datang. Arlen memarkirkannya tepat di sebelah mobil van itu. Kemudian, saat semuanya sudah rapi dan selesai, Adelia mengeluarkan sebuah bola besi berwarna abu-abu itu. "Kita punya waktu tiga puluh detik sebelum semuanya hangus." Lalu, ia melemparkan bola itu di antara kedua mobil tersebut.

Staying AfloatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang