18.

634 17 0
                                    

Setelah ragu sejenak, Nae akhirnya menelepon bibi. Kemudian, seperti Pii tadi, ayah, bibi dan nenek langsung datang ke rumah sakit.

"Anaknya?" begitu datang, bibi langsung bertanya.

"Anak yang mana? Yang besar atau yang kecil?" Pii yang baru menengok Pekae di ruang rawat menggerutu.

"Anak ini, kenapa kau berbohong pada kami?" bibi meninju pundak Pii dengan tangannya.

"Kalau tidak, memangnya bibi mau menerima anak itu? Orang galak seperti bibi?"

"Anak ini masih saja..." kali ini bibi meninju kepala Pii dengan tangannya.

"Melihat dari tingkah anak ini, ibunya sepertinya baik-baik saja. Bayinya?"

Mendengar pertanyaan bibi, seketika seluruh keluarganya menatap Nae dengan tatapan penuh harap.

"Anak perempuan. Disana..."

Nae menunjuk ke arah kamar bayi di ujung koridor. Ketiga orang itu langsung bergegas menuju ke kamar bayi itu. Pii mengikuti mereka dengan wajah berseri-seri. Nae yang tadi sudah melihat bayi itu, kini penasaran dengan bagaimana reaksi keluarganya.

"Anak ini... Gagah sekali kelihatannya. Iya kan?" bibi yang terus menatap anak itu berkata dengan panik.

"Be, benar juga. Apa nanti dia jadi orang hebat?" ayah menyahut sambil berdehem-dehem kaku.

"Pokoknya anak itu akan kupakaikan rok. Kalau ia pakai celana, bisa-bisa banyak anak laki-laki yang membentuk geng dengannya," Pii berkata pelan.

Bayi yang dilahirkan oleh Pekae memang tepat seperti gambar Batz tadi. Wajah bayi itu terlihat gemuk dan kuat, seolah ia telah menyerap semua nutrisi dari ibunya yang kini terbaring lemas. Sementara nenek hanya bergumam-gumam seorang diri saking bahagianya sambil terus menatap bayi itu.

"Ya ampun, 'si manis' ini. Wajahnya putih sekali. Seperti anak yang makan kuah daging sapi setiap hari. Aiguu, cantik sekali, 'si manis' ku ini."

Seketika, seluruh anggota keluarga yang lain melotot kaget.

"Si, siapa itu? Orang itu benar-benar ada? Bukan nama sapi peliharaan?" Pii bertanya dengan terkejut.

"Aduh, siapa sih yang nenek maksud itu? Sepertinya banyak 'si manis' yang lain disini,"

Pii berkata dengan heran sambil menunjuk ke bayi-bayi lain di kamar itu.

"Bukan. Anak ini. Bayi ini maksudnya. 'Si manis' ku cantik," nenek terus mengagumi bayi perempuan yang terlihat seperti jenderal itu.

"A... Anakku?"

Pii terkejut dan berpaling menatap bibi. Bibi mengibaskan tangannya dengan panik.

"Bukan aku. Aku tidak pernah punya nama kampungan seperti itu."

"Memangnya nama bibi sekarang ini bagus?" Pii menggerutu sebal.

"Anak ini selalu saja melawan omongan bibi sejak Pekae kabur dari rumah," bibi menyikut-nyikut dada Pii dengan geram.

"Sudah, sudah," ayah yang berdiri di sebelah mereka mengalihkan pandangannya dari jendela kaca di depannya dan melerai mereka. Tampak jelas kalau ayah teringat akan sesuatu.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang