66.

243 6 0
                                    

Hasil pemeriksaan Nae dari spesialis kandungan menunjukkan hasil yang tidak baik. Dokter yang menanganinya berkata apabila tidak ada kemajuan dengan pengobatan, terpaksa rahimnya harus diangkat.

Nae langsung merasa depresi karena bertambah satu lagi alasan hubungannya tidak bisa berjalan dengan Batz.

Kemungkinan nya untuk mandul semakin tinggi dan kalau ia sampai kehilangan rahim dan tidak bisa punya anak sama sekali, maka tidak mungkin ia bisa menjadi istri seseorang.

Mungkin seperti inilah perasaan seorang wanita. Batz memang berkata masih banyak cara lain untuk mendapatkan anak selain melahirkannya langsung. Tetapi sebagai seorang wanita, kenyataan bahwa dirinya tidak bisa merasakan apa yang hanya bisa dirasakan oleh wanita itu membuat nya semakin merasa kehilangan dan semakin putus asa.

Entah mengapa, ia merasa seperti harus membayar kariernya yang mulai membaik sebagai reporter dengan organ pentingnya.

Nae baru saja selesai siaran berita radio sore. Ia menatap keluar jendela, menantikan turunnya salju pertama di musim dingin.

Seperti biasa, sore itu ia lewati dengan santai, tidak ada jadwal apa pun. Nae merentangkan kedua tangannya karena mengantuk dan bosan.

Tiba-tiba, telepon genggamnya berbunyi. Ternyata dari Wine.

"Nae, sekarang aku sedang dalam perjalanan ke rumh sakit...."

"Kenapa? Bukannya P'Wine baru ke sana dua hari yang lalu? Kan jadwal berikutnya baru minggu de...! P'Wine! kontraksinya sudah mulai terasa ya?"

Wine pernah berkata, kalau sampai tidak ada kontraksi dalam minggu ini, makan minggu depan maka ia akan di operasi. Apa sekarang kontraksi itu mulai muncul?

"Kalau bukan kau, siapa lagi yang bisa kuhubungi. Kau bisa datang, kan?"

Mendengar suaranya yang terdengar terengah-engah kesakitan, Nae segera berlari keluar dari kantornya, bahkan tanpa sempat mengambil mantelnya.

"Tunggu sebentar, P'Wine. Aku segera kesana."

Nae buru-buru menutup teleponnya dan berdiri di pinggir jalan sambil melambaikan tangannya untuk menyetop taksi. Tiba-tiba air matanya menetes. Padahal bukan ia yang melahirkan, tetapi mendengar suara Wine saja, rasanya ia sangat terharu dan ingin menangis.

Semoga saja P'Wine melahirkan anak yang sehat, aku mohon.

Nae langsung merasa bersalah karena pernah menyalahkan P' nya itu, meskipun hanya sesaat. Kalau P' nya itu melahirkan anaknya dengan selamat, ia berjanji akan ikut menjaga anak itu.

Ia akan membantu nya membesarkan anak itu dengan sepenuh hati.

Oleh karena itu, P'Wine harus melahirkan anak itu dengan selamat.

Begitu duduk di kursi belakang taksi, Nae langsung meneriakkan 'Rumah Sakit' pada supir dan menggenggam kedua tangannya sambil menatap ke luar jendela dengam cemas. Namun, langit yang tadi cerah tiba-tiba berawan dan salju perlahan mulai turun.

Sial! Kenapa salju pertama harus turun di saat seperti ini!

Salju yang turun hari itu termasuk deras untuk hitungan salju pertama. Nae yang datang terlambat di rumah sakit lalu mengucapkan salam sekedarnya kepada para perawat yang ia kenal dan menanyakan kamar bersalin Wine. Kemudian, ia segera berlari ke kamar yang ditunjukkan oleh perawat itu.

Tiba-tiba, ia melihat seseorang berlari ke sebelahnya dan berlari bersamanya. Batz!

Batz yang iseng menoleh ke sampingnya dan bertatapan dengan Nae, Nae terkejut melihatnya. Wajahnya terlihat pucat. Sepertinya ia semakin kurus? Wajahnya terlihat tirus seperti orang yang baru keluar dari latihan militer.

"Mau ketempat wine?" Batz yang berlari dengan tatapan bergetar bertanya singkat padanya.

"Iya. Kau juga?"

"Iya, aku mendapat panggilan."

Akhirnya ia yang membantu kelahiran anaknya sendiri. Nae teringat kembali perkataan Batz sewaktu pertama kali mewawancarainya. Kini ia tidak bisa berkata apa-apa. Batz juga kelihatannya seperti itu.

Kedua orang itu bergegas menuju ke kamar bersalin Wine tanpa berkata apa-apa. Wine yang sudah mengenakan masker oksigen sedang berjuang seorang diri dan ia terlihat sangat kesakitan.

Biasanya, Ibu hamil yang lain pasti sudah ditemani oleh orang tua nya di saat seperti ini. Namun, karena Wine telah ditinggalkan oleh kedua orangtua nya, pasti saat-saat ini merupakan masa yang sangat berat baginya.

"Tidak bisa lagi. Sepertinya kita harus melakukan operasi cesar. Pinggul nya terlalu sempit dan pernafasan nya juga tidak stabil..."

Kim yang membantu persalinannya berkata dengan tergesa-gesa. Batz terkesiap dan melihat jam nya. Lalu ia menoleh dengan cemas pada Wine.

"Aku sudah berbicara dengan Dokter Lee, dokter spesialis paru-paru. Sekarang ia pasti sedang menyiapkan ruang operasi. Lalu juga dengan dokter spesialis jantung, Dokter Go..."

Kim tidak bisa melanjutkan kata-katanya melihat wajah Wine yang terlihat ketakutan. Nae buru-buru berlari pada Wine dan memegang tangannya.

"P'Wine, tidak apa-apa, kan?"

Nae yang hampir berlutut memegang tangan Wine menatapnya dengan prihatin dan mengelus-elus wajahnya. Wine yang terlihat kelelahan tidak bisa berkata apa-apa dan hanya mengangguk. Kemudian ia berbisik pelan, "Aku merasa aneh sekali."

Suaranya terdengar samar-samar dari balik masker oksigennya.

"Kenapa?" Nae ketakutan mendengarnya.

"Nafasku sesak sekali... Seandainya, seandainya terjadi apa-apa pada diriku, aku boleh menitipkan anak ini padamu, kan? Aku kan sudah tidak punya keluarga lagi. Kasihan anak ini."

"Sudah tahu begitu, kenapa memutuskan membuat anak seorang diri!" Nae rasanya lemas mendengar ucapan Wine itu.

"Tadi kau tidak dengar kata Dokter Kim? Dokter-dokter spesialis kan sudah siap-siap menolongmu! Sekarang jangan bicara macam-macam dan yang penting P' melahirkan anak ini dengan selamat. Kalau tidak, aku akan mengikuti P' sampai ke neraka nanti!"

Begitu Nae mengancamnya, Wine memasang senyum sedih yang tidak pernah ia perlihatkan sebelum nya.

Apa-apaan perempuan ini, kenapa ia menyeramkan sekali?

"Detak jantung bayinya lemah!" terdengar seorang perawat berteriak.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang