42.

274 8 0
                                    

“Sepeda itu sepertinya dibiarkan saja di tempat parkir sepeda. Kemana sih anak ini?” Wajah PD Nam terlihat khawatir.

Batz menjauh sebentar dari PD Nam dan menelepon Nae.

Namun yang terdengar hanyalah pesan suara bahwa teleponnya sedang tidak aktif.

Kalau tidak ada di rental house, tidak ada di rumah sakit, lalu ke mana dia pergi? Atau mungkin, ke rumahnya?

Batz lantas mengecek data pribadi adik ipar Nae. Kemudian ia menelepon ke nomor telepon yang tertulis di sana.

“Nae sedang syuting di rumah sakit. Ini siapa?”

Wanita yang kedengarannya seperti bibinya itu menjawab tanpa curiga. Di rumah juga tidak ada. Lantas pergi ke mana perempuan itu? Batz mengacak-acak rambutnya karena pusing dan memandang ke lobi. Kursi yang biasa diduduki oleh Nae kosong.

Bagaimana kalau ia benar-benar menghilang? Atau, kalau ia memang sengaja bersembunyi, bagaimana aku bisa menemukannya? Batz teringat ketika Nae sangat menderita sewaktu terkena masalah ‘ibu hamil nasional’ itu.

Kini, ketika masalah yang serupa kembali menimpanya, bisa saja ia mengambil tindakan yang lebih ekstrem. Gawat!

Begitu PD Nam memasuki ruang rapat itu, Nae sepertinya tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.

Masalah terbesar dalam pembuatan dokumenter ini adalah dirinya. Syuting ini mungkin bisa berjalan lebih lancar apabila tidak ada dirinya.

Oleh karena itu, ia segera menuju ke rental house untuk mengemas barang-barangnya. Meskipun pada awalnya mereka akan terkejut karena ia menghilang, Nae yakin bahwa timnya itu dapat segera melanjutkan syuting mungkin dengan reporter lain.

Nae memakai sepatunya dan melangkah keluar dari rental house dengan yakin. Ia menaiki sepedanya menuju rumah sakit.

Tidak sulit untuk menghindari tatapan orang lain dengan mengenakan topi. Ia segera mengikat sepedanya di tempat parkir sepeda dan berjalan menuju ke halte bus. Kemudian, ia mendengar percakapan para perawat yang melewatinya.

“Katanya ada bayi kelainan yang baru lahir di spesialis kandungan.”

“Oh ya? Padahal kan itu benar-benar penyakit langka.”

“Pasti orang tuanya kaget sekali. Lalu bagaimana bayi itu?”

“Katanya sedang di rawat di ICU spesialis anak. Semua orang di sana sedang cemas dan khawatir, takut anak itu meninggal.”

Nae yang tidak sengaja mendengar percakapan itu menghentikan langkahnya dan menatap ke gedung tempat spesialis kandungan itu berada.

Bayi kelainan. Ia ingat pernah melihat foto bayi dengan penyakit itu di perpustakaan.

Gambarnya saat itu tidak terlalu jelas. Seandainya saja ia bisa mengambil gambar anak itu, pikir Nae.

Kemudian ia tertawa pelan.

Sekarang kan ia tidak perlu memusingkan hal itu lagi. Tetapi, kemudian ia membayangkan ‘bagaimana kalau kisah bayi ini menjadi isu sesat lalu hilang begitu saja?'.

Nae kini muak dengan kata ‘isu’. Namun, bagaimana kalau kisah bayi itu bisa menjadi isu sungguhan? Kalau syuting masih tetap dilanjutkan, pasti ia akan memberitahukan kasus yang jarang diketahui oleh masyarakat ini dan mengimbau mereka untuk tidak panik dan tidak mendiskriminasikan anak seperti ini dalam kehidupan bermasyarakat.

Tetapi, mengingat kalau bayi itu bisa meninggal di ruang ICU dan akhirnya kisahnya meghilang begitu saja, Nae merasa hatinya miris dan rasanya ia tidak bisa meninggalkan tempat itu.

Nae diam-diam berjalan sambil menghindari tatapan orang di sekelilingnya dan menuju ke ruang ICU anak karena ingin melihat bayi itu, meskipun hanya dari kejauhan.

Untung ia kenal dengan salah seorang perawat di bagian itu sehingga ia bisa masuk ke ICU yang penuh dengan inkubator dari dekat berkat bantuannya.

Di balik tembok kaca itu, terdapat beberapa indukator dan di tengah ruang itu, terdapat bayi yang berwarna kemerahan sedang menguap seolah baru bangun dari tidurnya.

Bayi itu terlihat sangat menggemaskan namun juga terlihat menyedihkan. Nae menatap bayi itu sambil tersenyum sedih.

“Nama bayi itu Damai. Katanya supaya ia bisa tumbuh besar dengan damai.”

Perawat yang melewatinya berbisik pelan ketika melihat pandangan Nae yang terpaku pada bayi itu. Nae mengangguk. Nama itu memang bagaikan mantra, semoga anak ini bisa tumbuh besar sesuai namanya.

Nae mengatupkan kedua tangannya sambil terus menatap bayi itu. Dirumah sakit ini, selain banyak bayi yang lahir, namun banyak juga bayi yang meninggal. Semoga anak ini tidak pergi dari sisi orang tuanya.

Nae berdoa dengan sepenuh hati. Nae yang masih memandang bayi itu kemudian merasakan kehadiran seseorang di dekatnya.

Nae iseng menoleh ke samping dan terkejut. Seorang wanita paruh baya berlinang air mata sambil menatap bayi yang sejak tadi di pandang Nae.

Nae yakin sekali kalau wanita ini adalah ibu Batz. Air mata mengalir di pipinya. Nae panik melihatnya.

Tetapi, wanita itu sepertinya tidak menyadari air mata yang mengalir di pipinya, bahkan air mata yang berkumpul di dagunya, dan terus memandang bayi itu.

Nae kemudian mengeluarkan tisu dari tasnya dan menyodorkannya pada wanita itu.

Barulah saat itu ia menyadari keberadaan Nae di tempat itu dan segera menyeka air matanya.

“Terima kasih,” Ibu Batz menerima tisu yang di berikan oleh Nae lalu membalikkan badan untuk menyeka air matanya.

“Anda adalah Ibu dari Dokter Batz, kan?” Nae bertanya dengan sopan.

“Bagaimana kau….?” Wanita itu menatap Nae dengan wajah terkejut. Matanya memerah karena menangis.

“Saya pernah lihat anda di lobi. Berbincang bersama Dokter Batz…”

“Oh, begitu rupanya . Kau dari bagian mana?” wanita itu bertanya sambil tersenyum ramah.

Kenapa Batz tidak bisa akur dengan ibunya yang seramah ini? Apa senyumnya ini hanya hiasan belaka, seperti kata Batz? Entah apa karena ia baru saja bertengkar dengan Batz, perkataan Batz itu rasanya berlebihan.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang