52.

260 6 2
                                    

“Saat kukatakan kalau kita akan membuat acara ini di rumah sakit lain, kepala rumah sakit itu kelihatannya tidak senang,” PD Nam tiba-tiba menyela pembicaraan mereka sejenak dan pergi begitu saja.

Ternyata ia menghampiri para staf dan ikut-ikutan menatap Batz dan Nae dengan pandangan curiga.

Tiba-tiba. Batz memperhatikan tatapan orang di sekelilingnya, mencium pipi Nae dengan cepat, dan bergegas menghilang ke dalam ruang praktiknya.

“Waaahhhh~”

Para staf bersorak riuh seolah menunggu-nunggu adegan itu. Jangankan wajahnya merah terbakar, Nae rasanya sudah berubah menjadi abu.

Sepanjang rapat, PD Nam, Tina dan para staf lainnya menatap Nae dengan pandangan penuh arti.

Nae pura-pura mengabaikan tatapan itu.

“Kenapa wajahmu memerah seperti itu? Memangnya kita mengatakan sesuatu?” Penulis naskah choi berkata menggodanya.

Huh…. Nae memejamkan matanya.

“Kita akan merahasiakan hal ini dari kantor. Kita juga tidak bisa membuatmu menulis surat permintaan maaf lagi.”

Mendengar perkataan PD Nam, semua orang di ruang rapat itu melatakkan jari telunjuk mereka di depan bibir dan berbisik ‘sssttt’.

Nae merasakan kembali kebersamaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia sangat berterima kasih dan terharu.

Meskipun sepertinya keterlaluan memaksa wartawan itu untuk meminta maaf padanya, namun segala makian dan rasa malu ia dapat dari masyarakat rasanya hilang begitu saja.

Apa Batz sengaja menyuruh wartawan itu minta maaf padanya karena ia tahu kalau Nae menyimpan sakit hati seperti ini? Nae benar-benar merasa bersyukur atas kebaikan hati semua orang di sekelilingnya.

Kebaikan hati. Tiba-tiba perasaannya melambung tinggi. Kemudian ia berpikir, seberapa baik hatinya sudah bertindak demi orang lain.

Kalau ia teringat tentang Wine, sepertinya ia belum melakukan hal tersebut dengan benar. Sehingga masih ada yang mengganjal dihatinya.

Sesuai janji wartawan itu, artikel klarifikasi telah diterbitkan.

Nae penasaran terhadap reaksi para netizen, namun ia menutup kembali laptopnya. Ia tidak ingin mengurusi hal-hal seperti itu lagi.

Seperti nasehat PD Nam, ia kini sadar bahwa memercayai dan memusingkan omongan yang tidak jelas sumbernya adalah tindakan bodoh.

Sama halnya dengan rasa mudah senang dan puas ketika mendapat pujian dari internet.
Syuting tetap dilanjutkan.

Nae segera menemui anggota keluarga bayi kelainan itu. Kalau ia berhasil membujuk keluarga bayi itu, Batz berkata bahwa ia akan membantu meminta izin agar bisa syuting di ruang ICU anak.

“Kami bukannya tidak menghormati anak bapak. Kami berharap ini dapat membantu anak Bapak dan juga Ibu hamil lainnya.”
Melihat sinar mata Nae yang serius, ayah dari bayi itu akhirnya mengangguk-angguk.

“Saya akan coba bicara dulu dengan ibunya begitu kondisinya membaik. Sepertinya ibunya juga perlu menyiapkan mentalnya untuk hal ini setelah melahirkan bayi itu.”

Nae segera mengucapkan terima kasih mendengar reaksi positif bapak itu.

Wine yang sedikit santai karena season lama telah berakhir, datang kerumah sakit.

Seandainya Nae ada di kantor stasiun TV, pasti ia akan datang ke sana. Tetapi karena kini tempat yang secara rutin dikunjungi Wine menjadi tempat kerja Nae, maka Wine semakin sering mengunjungi rumah sakit.

“P’Wine, bagaimana? Anaknya tumbuh baik-baik saja kan?” Nae tidak bisa menatap mata Wine.

“Sepertinya Kim pandai sekali mengambil foto USG. Lihat ini,” Wine mengeluarkan selembar foto USG dari tasnya dan tersenyum senang.

“Katanya posisi bayinya bagus, jadi hasil fotonya juga lebih bagus di bandingkan hasil foto Dokter Aom waktu itu. Lihat, wajahnya saja kelihatan kan?”

“P’Wine ini, itu artinya bayinya memang sudah membesar, makanya kelihatan,” Nae menggerutu sambil melirik foto itu dengan ujung matanya.

Hah! Samar-samar ia seperti melihat foto Batz junior dari foto USG itu. Bibirnya yang tertutup rapat itu benar-benar mirip.

“Cepat simpan lagi, nanti rusak, lho,” Nae buru-buru mendorong tangan Wine yang memegang foto itu.

“Iya kan? Pasti ini anak laki-laki. Kim memang tidak memberitahuku, tapi kemarin ia memberikan hadiah bayi laki-laki untukku.

Memangnya dokter boleh ya member hadiah sesuai jenis kelamin anaknya seperti itu? Hihihi.” Wine terlihat sangat bahagia. Kemudin ia batuk-batuk ringan.

“P’Wine flu?” Nae bertanya dengan cemas.

“Sepertinya,” Wine menyahut seadanya.

“Hati-hati, P’ harus jaga kesehatan. Ibu hamil kan tidak boleh minum obat flu,” Nae mendecakkan lidah.

“Kim juga tadi khawatir. Tapi katanya sih tidak terlalu berbahaya bagi bayinya.”

“Maksudnya?”

“Ia bilang sih belum pasti, tapi sepertinya jantung bayi ini lemah. Bagaimana kalau ternyata betul-betul seperti itu?” Wine yang tadinya sangat senang mendadak murung.

“Bukankah banyak orang yang lahir dengan jantung lemah? Bisa saja kan tidak menganggu kehidupan sehari-harinya. Atau malah membaik setelah ia besar nanti.”

Rasanya ia sudah menjadi setengah Dokter.

“Iya. Kim juga kemarin berkata seperti itu. Katanya tidak usah terlalu khawatir dulu.”

Benar juga perkataannya. Tetapi…

“P’Wine sejak kapan memanggil Dokter Kim itu dengan namanya saja?”

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang