43.

274 6 0
                                    

“Oh, saya seorang reporter nama saya Nae Sutthata. Sedang membuat acara dokumenter di bagian spesialis kandungan rumah sakit ini,” Nae menyahut dengan sopan.

“Oh iya, aku pernah dengar. Kau syuting juga di sini?” Tatapan wanita itu kembali mengarah kepada bayi yang ada di dalam inkubator itu. Tatapannya mendadak murung.

“Namanya Damai, bayi itu…” Nae berkata pelan sambil menatap bayi itu.

“Damai… cantik sekali namanya,” wanita itu mengulang nama bayi itu.

Nae menyadari bahwa suara wanita itu tercekat seperti menahan tangis.

Seolah seluruh perhatiannya tersedot oleh bayi itu, wanita itu terus menatap bayi.

Bibirnya bergetar. Meskipun tidak tahu alasannya, Nae rasanya tidak bisa membiarkan wanita yang kelihatannya tidak bisa menenangkan dirinya itu begitu saja.

Nae berlari menuju ke kafetaria dan datang kembali sambil membawa sekaleng the gandum hangat.

Ini murni karena ibu Batz menangis, bukan karena Batz-nya. Ketika Nae tiba di ruang ICU anak itu, Ibu Batz baru saja melangkah keluar dari ruangan tersebut.

Ia masih menyeka air matanya dengan tisu yang sudah basah semua.

“Ibu, silakan minum ini,” tanpa sadar, Nae memanggil wanita itu dengan sebutan ‘ibu’. Baru pertama kali ini ia menyebut kata ‘ibu’ dari mulutnya.

Nae yang panik mendengar ucapannya sendiri tidak tahu harus berbuat apa.

Ibu Batz yang melihat Nae seperti itu hanya tersenyum.

Nae memberanikan diri mendekati wanita itu dan memberikan kaleng hangat itu padanya.

“Mumpung masih hangat. Silakan diminum,” Nae berkata buru-buru sambil memegang tangan wanita itu.

Tubuh Ibu Batz terasa hangat, sehangat senyumannya.

“Terima kasih. Aku akan meminumnya.” Ibu Batz tersenyum dan melihat ke minuman yang ada di tangannya.

Nae mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan wanita itu.

“Tunggu,” Kali ini Ibu Batz berseru memanggil Nae.

Nae segera menoleh padanya.

“Aku ingin jalan-jalan sebentar di luar, bisa menemaniku? Kalau kau membuat doc
Kumenter di bagian spesialis kandungan, harusnya kau familiar dengan anakku, kan?

Terlalu familiar sampai aku bosan.

“Kau ada janji ya? Sepertinya kau mau pergi ke suatu tempat,” wanita itu berkata dengan nada bersalah sambil mengamati ekspresi Nae.

“Ah, tidak. Kebetulan saya juga sedang jam istirahat,” Nae buru-buru menggoyangkan tangannya dan tersenyum pada wanita itu.

Nae duduk bersebelahan dengan Ibu Batz di kursi taman di atap rumah sakit.

“Bagaimana tempat ini? Waktu ayah Batz masih hidup, ia membuat taman di atap rumah sakit ini sebagai tempat istirahat para dokter atau pasien. Pembuatannya memakan waktu yang cukup lama. Syukurlah, taman ini masih terawat dengan baik.”

Ibu Batz menyeruput teh kaleng yang sudah dibukakan oleh Nae dan memandang ke sekelilingnya.

Sementara Nae memegang sekaleng kopi yang tadi di belikan oleh Ibu Batz di mesin penjual kopi.

“Apa bayi tadi itu juga masuk ke acara dokumenter itu? Makanya kau datang ke sana?” Ibu Batz bertanya dengan penasaran.

“Ah, itu masih belum…” Nae tidak bisa mengatakan bahwa dirinya akan berhenti dari acara itu atau bahwa acara itu akan dihentikan.

“Saya hanya penasaran. Sepertinya baru pertama kali ini ada bayi kelainan yang lahir di rumah sakit ini.”

“Padahal bukan pertama kalinya…” Ibu Batz berkata pelan.

Nae menoleh dengan heran, namun wanita itu tidak melanjutkan ucapannya. Ekspresi wajahnya kembali murung.

Merasa harus mengatakan sesuatu, Nae lalu berkata, “Tadinya saya tidak tahu kalau ada ruang ICU khusus untuk anak-anak. Saya memang kadang-kadang menonton dokumenter tentang spesialis anak, tapi tidak pernah terbayang kalau bayi-bayi yang bermasalah itu di letakkan ke dalam inkubator dan dikumpulkan dalam satu ruangan ICU seperti ini. Kasihan sekali melihat mereka,  sejak lahir sudah harus menderita seperti ini."

Saat itu, air mata kembali menetes jatuh di punggung tangan Ibu Batz.

"I... Ibu... " Nae panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya mengamati wajah wanita itu.

"Maaf. Padahal kita baru kenal begini... " wanita itu berusaha berbicara di sela isak tangisnya. Nae yang bingung kemudian merangkul pundak Ibu Batz yang badannya sedikit lebih rendah dari Nae.

Kemudian ia menepuk-nepuk pundaknya perlahan tanpa berkata apa-apa. Tiba-tiba, isak tangis wanita itu semakin keras.

Wanita itu menggigit bibirnya sekuat tenaga, namun kesedihan itu tetap keluar dari bibirnya. Nae jadi penasaran, kesedihan apa yang ia alami, sampai bisa menangis di depan orang asing seperti saat ini.

Tetapi, ia tidak berani bertanya. Ia bersyukur karena setidaknya masih bisa menjadi tempat bersandar bagi wanita ini.

Beberapa saat kemudian, Ibu Batz yang susah payah menenangkan dirinya itu berkata dengan suara serak.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang