41.

297 10 0
                                    

“Iya kan? Padahal nama julukan itu muncul juga berkat jasa Dokter. Lagi pula, Dokter juga sudah memercayai kami. Nae, Dokter, dan timku ini sudah terhubung dan bekerja sama sampai saat ini. Kalau Nae tidak ada, sepertinya tidak menarik, kan?”

Pikiran Batz kacau, seperti ada tornado di dalam kepalanya.

“Jadi, keputusannya…?” Batz bertanya dengan suara lemah.

“Aku punya waktu untuk berpikir selama satu hari. Jadi, sekarang sepertinya aku harus pergi memanfaatkan satu hari itu untuk memikirkan masalah ini,” PD Nam tersenyum lemah dan pergi meninggalkannya.

Batz terdiam kaku di depan pintu ruang rapat yang kosong dan sedikit terbuka.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Nae? Lalu, apa yang telah ia lakukan? Ucapan PD Nam tadi sepertinya berbekas di hatinya.

Perkataan bahwa dirinya memercayai tim syuting itu. Batz kembali mengulangi pertanyaannya itu. Apa itu artinya ia juga bisa memercayai Nae?

Batz berjalan ke ruang bersalin untuk membantu pasiennya melahirkan. Setelah enam jam kemudian, barulah bayinya berhasil dilahirkan.

Batz menatap bayi yang ada di tangannya itu dan terkejut. Para perawat juga terkejut dan terbelalak menatap Batz dan bayi itu.

Batz melotot kearah para perawat itu, menyuruh mereka diam. Para perawat itu segera mengalihkan pandangan mereka dan mundur perlahan. Ibu yang baru melahirkan itu hampir dehidrasi karena kelelahan.

“Anak anda laki-laki. Karena ukuran badannya agak kecil, kami akan memeriksanya dulu lalu menunjukkan pada anda.”

Batz segera memberikan bayi itu pada Suster yang terkejut dan langsung membawa bayi itu keluar dari ruang bersalin.

Batz berdiri dari duduknya lalu memberi tanda pada suami ibu itu untuk mengikutinya.

Merasa ada sesuatu yang tidak beres, suaminya itu berkata ‘jangan khawatir’ pada istrinya lalu keluar mengikuti Batz.

Batz berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ke ruang ICU di bagian spesialis anak, tempat bayi itu di pindahkan, dan berkata pada suami pasien itu.

“Anda pasti sudah mendengar bahwa pemeriksaan kelainan pada bayi atau pemeriksaan lainnya tidak bisa mengetahui kondisi bayi dalam kandungan secara 100%.”

“Ya,” suami pasien itu menjawab dengan berat seolah sudah siap mendengar ucapan Batz.

“Putra anda saat ini mengalami sedikit kelainan di kulitnya dan hal ini sangat sulit diketahui saat masih berada di dalam kandungan ibunya.”

Batz menghentikan langkahnya di depan pintu ICU spesialis anak. Suster yang sudah datang terlebih dahulu sedang meletakkan bayi itu di dalam inkubator.

“Anak anda terkena kelainan kulit genetik yang membuat kulitnya bersisik.”

Ketika Batz selesai berbicara, Suster yang berdiri di depan inkubator berjalan ke sisi lain inkubator itu. Kemudian, tampaklah bayi berwarna kemerahan berbaring dengan kulit bersisik seperti ikan yang membungkus tubuhnya yang mungil itu. Ia bahkan belum bisa membuka matanya dengan sempurna. Suami pasien itu terkejut dan terhuyung melihat kondisi anaknya.

Batz segera memegang pundaknya.

“Tenang, jangan panik,” Batz berkata dengan tenang. Mata pasien itu sudah digenangi air mata.

“Beberapa saat yang lalu, ada berita tentang balita berumur 5 tahun dengan kelainan ini. Biasanya bayi dengan kelainan ini memang tidak bisa bertahan hidup lebih dari beberapa hari saja, namun ternyata ada yang mampu bertahan sampai sebesar itu. Kulitnya akan cepat kering karena ia tidak mempunyai pori-pori untuk mengeluarkan keringat dan panas tubuhnya. Kalau anda memperhatikan hal tersebut dan menjaganya baik-baik, ia tetap bisa tumbuh besar. Ada juga kasus di mana penyakit ini muncul saat anak berusia remaja, namun tetap bertahan hidup sampai sekarang umurnya 20 tahunan.”

Suami pasien itu memegang erat-erat tangan Batz.

“Tolong selamatkan dia. Agar saya bisa menjaganya dengan baik di rumah,” Batz merasa miris mendengar suaranya yang serak menahan tangis.

“Pasti akan saya usahakan. Tolong beritahukan hal ini pada istri anda. Kalau anda tidak mampu, biar saya….”

“Tidak. Saya akan memberitahunya terlebih dahulu. Tidak sekarang, tapi nanti setelah kondisinya pulih. Baru nanti Dokter menjelaskan lagi padanya.”

“Baiklah.”

Batz menoleh kearah bayi yang terbaring di inkubator itu. Suami pasien itu maju selangkah dan menempelkan tangannya di tembok kaca itu sambil menatap bayi itu.

Bayi itu membuka matanya sedikit-sedikit. Seketika itu juga, ayahnya melambaikan tangan padanya dan tersenyum. Air mata sepertinya tidak berhenti mengalir dari kedua matanya.

Batz yang rasanya hampir meneteskan air mata melihat pemandangan itu segera pergi meninggalkan mereka. Ini pertama kalinya ia mendapat bayi kelainan.

Batz berjalan menuju ruang praktinya dengan perasaan tidak karuan. Kemudian ia bertemu dengan PD Nam yang berjalan dengan wajah bingung.

“Kau lihat Nae, tidak?”

“Ya?” Batz sesaat panik.

“Tiba-tiba dia menghilang. Aku sudah meneleponnya untuk rapat, tapi tidak ada jawaban,” PD Nam melirik telepon genggamnya sekilas lalu menggaruk-garuk kepalanya.

“Di rental house…” Batz berkata sambil berusaha menahan jantungnya yang mulai berdetak cepat.

“Tadi aku dapat telepon dari cameramen yang mencarinya ke sana. Sepertinya ia pergi dari rumah itu. Katanya barang-barangnya sudah tidak ada.”

“Apa?” jantung Batz rasanya meledak mendengar hal itu.

“Ah, sepeda. Dia biasa pergi ke mana-mana dengan sepeda, kan?”

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang