53.

271 6 0
                                    

“Waktu itu, kita pernah makan malam berempat kan. Katanya, tidak usah terlalu formal memanggilnya, santai saja. Toh kau juga kenal dengannya, katanya aneh kalau memanggil terlalu formal seperti itu. Jadi seperti ini, deh.”

“P’Wine,” Nae berkata dengan serius.

“P’ tidak memikirkan anak yang ada di perut P’? Kalau P’ tidak akan berhubungan lagi dengannya, sebaiknya tidak usah memanggilnya seperti itu.

Lagi pula, P’ kan juga tidak boleh terus berhubungan dengannya. P’Wine tidak tahu?”

Wine langsung cemberut dan terdiam mendengar ucapan Nae yang berapi-api.

“Benar juga. Aku tdak memikirkan hal itu. Aku hanya senang saja melihat kita berempat kumpul…”

Pasti itu karena alam bawah sadarnya menyadari ketidakhadiran sosok seorang suami. Meskipun ia berkata kalau tidak butuh ayah untuk anak ini, alam bawah sadarnya menyadari sesuatu yang berlawanan dan mau tidak mau mulai mengkhawatirkan kosongnya posisi ayah. Karena itu adalah naluri.

Apalagi jika ayah genetiknya berasa di sekitarnya, pasti ia semakin ingin menarik orang itu.

“Apa kau pindah rumah sakit lain? Aku tidak memikirkan hal ini sewaktu menjadi pasien Park. Lalu, setelah digantikan dengan dokter wanita itu, aku juga tidak memikirkan hal ini. Jadi, sewaktu diganti dengan Dokter Kim pun aku tetap biasa saja,” Wine berpikir sejenak lalu menatap Nae dengan wajah sedih.

Benar-benar kesel dan tidak sabar rasanya. Tidak ada yang bisa memahami perasaanku. Sepertinya tidak ada gunanya jika aku menyuruhnya untuk lebih hati-hati saat ini atau memarahinya. Ini tidak seperti membeli barang dan menukarnya kembali di toko. Ini menyangkut kehidupan seorang anak yang ada di dalam kandungannya. Sekarang yang paling penting adalah bagaimana ia bisa menjaga dan merawat bayinya dengan baik.

“Kau jaga saja anak itu baik-baik. Itu kan yang paling penting. Aku harus segera pergi, ada jadwal syuting. Hati-hati di jalan!”

Nae tersenyum seadanya dan menatap Wine, lalu segera melangkahkan kakinya cepat-cepat.

Tangannya terkepal geram. Ia paling tidak bisa berpura-pura tidak apa-apa.

PD Nam memberitahunya bahwa syuting tentang bayi kelainan itu bisa dilakukan.

“Sepertinya kondisi ibunya belum pulih sempurna,” Nae bergumam cemas.

“Sepertinya Dokter Batz juga membujuk kedua orang tua bayi ini dengan baik-baik.

Sebenarnya aku agak khawatir. Kita tidak tahu sampai kapan bayi ini bisa bertahan hidup tapi kalau karena alasan itu kita jadi buru-buru melaksanakan syuting ini, rasanya keterlaluan sekali.

Tadinya aku sudah ingin menyerah saja, tapi sepertinya Dokter Batz membantu membujuk keluarga bayi ini.”

Nae semakin merasa berat hati mengetahui Batz berbuat begitu baik untuk dirinya. Apa benar ia tidak bisa membiarkan Wine dan Batz menjadi bagian dalam kehidupannya, secara bersamaan?

“Kita hanya diizinkan untuk syuting selama 10 menit di ruang ICU anak. Jadi, pertama kita harus cepat-cepat merekam gambar bayi itu. Setelah itu, baru wawancara dengan orang tua bayi tersebut. Siapkan yang baik!”

“Baiklah.”

Nae berjalan ke lobi dengan susah payah sambil membawa kertas daftar pertanyaannya. Kemudian ia bertemu dengan Batz.

“Kebetulan aku sedang mencarimu. Malam ini ada waktu tidak?”

Tiba-tiba jantungnya berdetak cepat.

Seperti nya orang ini semakin terbuka memperlakukannya di rumah sakit.

Apa orang ini tidak peduli jika orang di rumah sakit tahu hubungan mereka? Padahal selama ini Nae menganggapnya sebagai rahasia.

“Ada rapat keluarga di kamar Pekae nanti malam.”

“Berarti, bayi itu ternyata… Ah, bukan saatnya aku ikut campur kan?”

Batz yang sepertinya tahu apa yang akan dibicarakan di keluarga itu menaikkan bahunya dan menggaruk-garuk kepalanya.

Sepertinya ia diam-diam mendengar saat Nae diberitahu bahwa bayi itu bukan anak Pii Sutthata.

“Nanti akan kukabari lagi begitu rapat keluarga ini selesai.” Mendengar ucapan Nae, Batz hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

Namun, Nae tidak bisa bersikap semanis itu pada Batz. Ia pura-pura tidak melihat senyum itu dan buru-buru pergi meninggalkannya.

Batz keluar dari ruang praktiknya sambil menunggu telepon dari Nae.

Kemudian, ia melihat Kim yang berjalan mendekat dari ujung koridor.

“Hei, Dokter Kim, mau ke mana?”

Batz menghalangi jalannya. Barulah Kim menoleh padanya. Wajahnya terlihat jauh lebih serius daripada biasanya.

“Kenapa? Kau kalah main game? Tidak bisa pakai healer?”

“Iya. Coba kau menjadi healer-ku dulu. Sini cepat.” Kim tiba-tiba menarik Batz ke teras.

Batz melonjak kaget mendengar ucapan Kim.

“Apa? Kau mendeteksi ada penyakit paru-paru di tubuh Wine. Kau yakin?”

“Baru pendapatku saja. Baru ditemukan di pemeriksaan bulan terakhirnya ini, entah gejala pneumonia ringan atau pleurisy yang lebih serius…” Kim membungkus kepalanya dengan kedua tangannya.

“Bukankah ia akan segera melahirkan?” Batz pun ikut cemas.

“Sepertinya Wine tidak menyadari gejala lainnya selain batuk-batuk. Penyakit ini bisa saja diobati setelah ia melakukan persalinan normal, namun aku khawatir kalau ia harus dioperasi. Apalagi sepertinya jantung bayinya juga lemah, aku jadi semakin khawatir.”

“Kenapa kau kelihatannya panik sekali seperti ini?” Batz bertanya padanya dengan tidak sabar.

Ia tahu memang sulit untuk membius pasien penyakit paru-paru yang tiba-tiba harus dioperasi.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang