55.

247 6 2
                                    

Perempuan itu malah dengan sangat mencolok sengaja menghindari timing-timing ketika ia biasa bertemu dengan Batz.

Mungkin ia pikir Batz tidak menyadari hal ini, namun Batz sudah menyadari semua tingkah anehnya itu. Ada apa dengan perempuan itu?

Apa baru sekarang ia mau bermain tarik ulur denganku? Benar-benar. Oke, kalau memang itu keinginannya.

Satu jam pulang kantor, di lapangan parkir, Batz bersandar di mobilnya dan memandang pintu rumah sakit itu lekat-lekat.

Tidak lama kemudian, Nae tampak berjalan keluar dari rumah sakit dengan pundak yang tergantung lesu.

Batz terus mengawasinya. Setelah berberapa saat, barulah Nae yang berjalan dengan lelah melihat Batz dan terkejut.

Batz segera menghampirinya dengan langkah lebar-lebar.

Nae buru-buru membalikkan badannya.

“Aku penasaran sejak tadi, kenapa kau menghindariku?” Batz berdiri di depan Nae, menghalanginya yang hendak kabur.

“Menghindari bagaimana? Aku ada urusan…’’ Nae menghindari tatapan matanya.

“Kau tidak mau bicara sambil menatapku? Aku tidak biasa bicara sambil menatap sebelah wajah seseorang saja.” Batz memegang lengan Nae dan memutar badannya menghadapnya.

Nae kembali menghindari tatapan Batz dan memalingkan wajahnya.

“Kau ini sebenarnya kenapa, sih? Aku berbuat salah padamu?”

“..…” Nae menggelengkan kepalanya.

“Kenapa. Kau mau terlihat imut karena menggelengkan kepala seperti itu? Saat ini sama sekali tidak terlihat seperti itu, kau tahu tidak?” Benar-benar membuat emosi.

“Aku paling tidak tahan menghadapi perempuan saat seperti ini. Bicaralah. Jangan diam saja seperti itu,” Batz berkata dengan lemas dan melepaskan lengan Nae yang ia pegang tadi.

“Kalau aku bicara, kau akan membiarkanku pergi?” Nada bicaranya terdengar dingin, tidak seperti biasanya.

“Baiklah,” Batz menyahut singkat. Kemudian ia menatap Nae lekat-lekat. Ia menanti-nantikan apa yang akan diucapkan perempuan ini.

Perempuan yang selalu memberinya kejutan.

“Benar. Kau punya satu kesalahan,” Nae memantapkan hatinya dan berkata.

Batz mengangkat alisnya dan mendengarkan perkataannya.

“Mulai sekarang, kau tidak usah dekat-dekat denganku lagi. Lalu, jangan pernah tiba-tiba menciumku lagi seenaknya,” Nae berkata dengan yakin.

“Apa?” Batz balik bertanya padanya dengan heran.

“Kau tidak tahu? Kalau kau juga tidak pandai berciuman? Itu alasannya. Aku benar-benar benci dengan orang yang tidak bisa ciuman.”

Hah? Benci?

Seumur hidup, ini pertama kalinya ia mendengar kalau ia tidak bisa ciuman dan ini justru membuatnya penasaran ingin mencoba lagi.

Batz yang sangat terkejut dan heran dengan alasan itu tidak bisa berkata apa-apa dan hanya memandangi Nae yang menjauh meninggalkannya.

Perempuan itu benar-benar, ia mau menantangku ya?

“Kau tahu tidak, ucapanmu itu malah membuatku semakin semangat lagi? Memangnya harus seperti apa supaya hebat, hah?” Batz berteriak padanya.

Namun, Nae tidak menoleh padanya dan menghilang begitu saja.

Ciuman? Lalu aku harus bagaimana?

Wajah Nae yang mengungkapkan alasan yang tidak seperti alasan itu seketika memerah.

Makanya ia tidak berani menoleh pada orang itu lagi. Apa tidak apa-apa ia merusak hubungannya sendiri dengan alasan yang tidak masuk akal seperti ini? Tetapi, mau bagaimana lagi, ia tidak terpikirkan alasan yang lain.

Nasi sudah menjadi bubur, ucapan itu sudah terlanjur dilontarkan. Ia tidak peduli jika Batz menganggapnya seperti orang gila.

Apa ia terlalu memikirkan hal ini? Nae menekan perutnya yang tiba-tiba merasa mulas.

Sekarang sepertinya ia tidak bermasalah dengan buang air besar karena yoghurt itu.

Apa aku harus periksa ke dokter penyakit dalam?

Nae yang berjalan melewati pintu rumah sakit kemudian menemukan denah bagian dalam rumah sakit. Karena ingin pergi ke sana besok pagi, ia kemudian mencari letak spesialis penyakit dalam.

Kemudian, setelah ia menemukan lokasinya dan membalikkan badannya, dari balik tembok kaca itu ia berpapasan dengan Aom yang berjalan di lobi.

Berdasarkan informasi dari perawat, katanya ia mau pergi liburan. Sudah terlambat bagi mereka untuk tidak saling memberi salam.

Nae mengangguk singkat sambil tetap memegang perutnya.

“Kau sakit?” wanita itu keluar dari dalam lobi dan bertanya padanya.

Ia tidak mengerti bagaimana jalan pikiran wanita ini, kemarin ia berkata ketus padanya dan sekarang malah menanyakan kondisinya terlebih dahulu.

“Wajahmu terlihat pucat. Kalau kau mau ke UGD, lebih cepat lewat jalan ini.”

Apa dia baik hati karena seorang dokter?

Nae akhirnya mau tidak mau mengikutinya.

“Perut bawahku ini sepertinya… Tapi, kudengar Dokter sedang pergi liburan,” Nae berusaha berkata dengan tenang, tidak ingin menunjukkan rasa sakitnya.

“Ayahku tiba-tiba sakit, jadi aku membawanya ke rumah sakit dan mengurusnya….”

Padahal ucapannya tadi hanya sekedar basa-basi, tapi di jawab dengan lengkap sekali.

“Oh~ Baiklah kalau begitu.”

Nae yang mulai sulit berdiri karena perutnya sakit mengucapkan salam terlebih dulu untuk berpisah dengan Aom.

“Kau sudah pernah periksa ke spesialis kandungan? Wanita yang belum menikah juga harus periksa ke spesialis kandungan. Apalagi kalau bagian perut bawahnya sakit. Karena rahim kan juga ada di sana, tidak hanya saluran pencernaan saja,’’ Aom mengamati Nae dan berkata seolah mengguruinya.

“Oh, baiklah.”

Begitu rupanya. Benar juga. Tetapi aku harus berobat ke dokter siapa? Batz?

Nae terkejut dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalau kau merasa tidak nyaman dengan dokter laki-laki, mau aku yang periksa?”

“Ah, tidak. Tidak apa-apa,” Nae buru-buru menolaknya.

‘Meskipun aku sudah membuat kesalahan, bukan berarti kemampuanku ini hilang. Karena aku sedang diskors, aku tidak akan menerima uang periksamu. Habisnya wajahmu benar-benar terlihat tidak sehat.”

Sebenarnya Nae juga merasa sakit perutnya itu semakin menjadi-jadi sehingga rasanya ia harus segera pergi ke UGD saat itu juga.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang