57.

307 5 0
                                    

“Kau ini memang berbakat di acara dokumenter ya? Banyak sekali ide barumu?” PD Nam menanggapi usul Nae dengan positif dan menatapnya kagum.

Selesai rapat, Nae segera menelepon wine.

“P’Wine, sebelum memilih Dokter kandungan, waktu ini P’ membuat daftar spesialis kandungan di berbagai rumah sakit , kan? Yang paling bagus di mana?”

“Dokter kandungan yang paling bagus? Kalau itu di rumah sakit yang paling dekat.”

Jawaban yang tidak nyambung. Nae lalu berkata dengan ragu.

“Bukan untuk melahirkan, tapi hanya untuk periksa saja. Aku tahu P’ membuat daftar rumah sakit yang mewah-mewah seperti itu.”

“Kenapa? Kau juga mau ikut punya hidup mewah sepertiku?”

P’Wine ini lama-lama benar-benar menyebalkan.

“Jawab saja pertanyaanku, jangan tanya yang aneh-aneh!” Tanpa sadar Nae berteriak keras kepada seorang Ibu hamil.

“Ah, maaf. Aku lupa kalau P’ sedang hamil.”

Apa ini akibat rasa cemasnya pada rahim yang selama ini ia pikir baik-baik saja namun ternyata malah bermasalah? Rasanya seperti mimpi buruk. Pantas saja setiap hari perutnya sakit, meskipun selama ini ia meyakinkan dirinya bahwa ini bukan apa-apa.

Mengapa ia mengabaikan hal ini? Padahal bisa saja ia berpikir ada sesuatu yang tidak beres di tubuhnya.

Semua ini gara-gara sembelit itu. Tentu saja ia mengira ini semua karena sembelit, tidak memikirkan kemungkinan lain.

Nae merasa dirinya sangat bodoh karena menyalahkan segala sesuatunya pada sembelit yang ia alami.

Dasar bodoh! Tolol! Perempuan yang tidak tahu kalau ada organ lain selain pencernaannya! Nae meremas rambutnya sendiri dengan kedua tangannya.

“Ayo kita bicara.”

Tiba-tiba Batz memegang tangan Nae yang masih meremas rambutnya dan menariknya keluar teras.

“Bicara apa?” Nae mengusap-usap lengannya dan memalingkan wajahnya.

Ia benar-benar tidak bisa melihat wajah laki-laki ini karena hatinya akan seketika luluh seperti terkena sinar matahari musim semi.

“Nah, sekarang kenapa kau tidak bisa menatapku seperti itu?”

“Karena aku tidak ingin melihatmu.”

“Kenapa? Ada masalah apa sebenarnya? Kau punya salah padaku? Kau kemarin tidak bisa tidur kan karena malu setelah mengajakku putus hanya gara-gara kemampuan ciumanku?”

Tahu dari mana dia?

“Aku memang sedikit kesal karena kau menghinaku seperti itu, tapi kalau memang tidak sesuai dengan gayamu, kau kan bisa memberitahuku. Aku kan bisa mengubahnya juga. Tidak masuk akal kan kalau kita berpisah hanya gara-gara hal itu?” Batz mulai emosi.

“Bodoh sekali,” Nae bergumam pelan.

“Apa?” Batz terkejut melihat reaksi Nae itu.

“Masa kau langsung merengek-rengek seperti ini pada perempuan yang mengajakmu putus. Kau ini kan seorang dokter. Punya gen yang diinginkan semua orang.”

“Kau ini bicara apa?”

“Kau tidak cocok denganku. Kau tidak tahu? Kau ini lebih cocok dengan Dokter Aom. Aku hanya seorang reporter yang memiliki satu program tetap, yang masa depannya juga tidak jelas. Kau mau menjadikan orang sepertiku ini sebagai pendampingmu? Kau gila? Kau pikir ibumu akan setuju?”

Saat itu, barulah Nae berani menatap mata Batz. Matanya terlihat bergetar dan panik.

Tatapannya terlihat curiga, seolah ia tidak memercayai apa yang baru saja ia dengar.

“Sepertinya kau terlalu menganggap segala sesuatunya sulit. Setiap ujian, pasti kau selalu lama kan mengerjakannya? Di ujian yang mudah sekalipun.”

Lagi-lagi ia menyindirku tepat sasaran.

“Sudahlah. Aku tahu kau pintar dan selalu mendapat 100 di setiap ujian. Kau pasti tidak mengerti perasaan orang yang mendapat nilai 50 sepertiku ini.”

“Oh ya? Di pelajaran apa?”

Batz memasang wajah kecewa.

Nae tahu bahwa ia berusaha bergurau dengannya untuk mengganti suasana, namun hal ini membuatnya semakin geram.

“Aku tidak ingin berdebat mengenai hal ini lagi denganmu. Sebaiknya kita sudahi saja hubungan ini, mumpung luka yang mungkin timbul ini masih bisa cepat pulih. Aku akan selalu bersyukur pernah bisa berpacaran dengan orang sepertimu, meskipun hanya sebentar,” Nae berkata dengan dingin dan pergi meninggalkannya.

“Siapa bilang seperti itu? Siapa bilang luka ini bisa cepat pulih?” Batz bertanya sinis pada Nae yang membelakanginya.

Nae menghentikan langkahnya.

“Jadi, kau seperti itu? Berhubungan dengan seseorang hanya sampai sebatas bisa melepaskan orang itu dengan mudah? Makanya kau seperti ini padaku? Tapi aku tidak merasa seperti itu.”

Ucapan Batz yang berkata ‘tidak’ menusuk hati Nae.

“Aku, seperti itu.”

Aku harus kuat. Tidak boleh berbalik lagi padanya.

Nae melangkahkan kakinya dengan pasti meninggalkan teras. Ia tidak ingin menyalahkan takdir yang membuatnya terpaksa mencampakkan pria yang dianggap sempurna dan ‘all-kill’ di antara orang sekitarnya itu.

Ia menggertakkan gigi menahan air matanya.

Sesaat ia merasa mara pada Wine. Kenapa segala sesuatunya harus terjadi di rumah sakit ini, mungkin takdir mereka tidak saling bersangkutan seperti ini.

Mau bagaimana lagi, yang namanya takdir memang saling bersangkutan seperti ini.

Akhirnya, pembuatan dokumenter itu selesai. Bayi kelainan itu tetap berada di dalam inkubator nya sambil tetap mendapat tatapan hangat dari kedua orang tuanya. Untunglah mereka tidak merekam saat-saat terakhir bayi itu.

Tim syuting dan tim dokter dari rumah sakit itu berdiri berhadapan dan mengucapkan salam.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang