46.

294 9 0
                                    

"Maafkan Ibu. Selama ini ibu pura-pura tidak tahu, padahal kau sangat penasaran sampai-sampai merasa kesal. Ibu pikir, ini adalah suatu resiko yang harus ibu tanggung seorang diri. Ibu tidak tahu kalau kau juga merasa sakit hati sejak kejadian itu. Maafkan ibu, Batz."

Mata Ibunya berkaca-kaca.

"Ibu..." Batz panik. Ibunya lalu melanjutkan ucapannya dengan wajah penuh haru dan rindu.

"Tentang kejadian adikmu itu, ibu tidak bisa berkata apa-apa karena ayahmu bilang bayi itu langsung meninggal begitu ia lahir."

Batz terkejut bukan main. Ayahnya mengatakan kalau bayi yang baik-baik saja itu mati? Rasanya segala rasa benci dan rasa dikhianati yang selama ini ia tujukan ke ibunya kini beralih ke ayahnya.

"Tolong ceritakan lebih detail lagi. Kenapa ayah berkata seperti itu?"

"Tadi ibu dengar saat mampir di rumah sakit. Katanya lahir bayi... kelainan? Katanya kau yang menangani..." suara Ibunya bergetar dan air mata terlihat menggenang di matanya.

"Iya, tadi pagi..." Batz berusaha menjawab dengan tenang meskipun hatinya sangat tidak tenang.

"Adikmu dulu juga kelainan."

"Apa?"

Adiknya yang dulu terbaring di inkubator itu juga bayi kelainan? Batz berusaha menahan jantungnya yang seolah akan meledak saat membayangkan adiknya yang ia lihat sewaktu ia kecil dan bayi kelainan yang ia lihat hari ini. Sepertinya terlihat sama, tetapi sepertinya terlihat berbeda juga. Ia sangat terkejut sampai kepalanya tidak bisa berpikir dengan tenang.

"Saat itu, pertama kalinya lahir bayi kelainan di rumah sakit Thailand. Para ahli medis berkata kalau bayi itu akan segera meninggal, makanya ayahmu mengatakan bahwa adikmu itu meninggal sejak baru dilahirkan. Khawatir ibu akan semakin shock saat itu."

Batz mengepalkan tangannya dengan geram. Ia tidak terima dengan segala rasa salah paham yang ia alami selama ini.

"Ibu pikir ibu terkena depresi karena kehilangan anak itu. Oleh karena itu, ibu tidak bisa menjagamu dengan baik saat itu. Setelah ayahmu meninggal, ibu baru sadar kalau hari peringatan kematian adikmu itu 20 hari setelahnya. Katanya ia meninggal empat hari setelah dilahirkan karena menderita penyakit yang tidak jelas asal-usulnya. Kalau bayi itu tetap hidup, barulah ayahmu akan memberi tahu ibu dan ia yakin kalau ibu bisa memahami hal itu. Tetapi, ternyata bayi itu meninggal."

Ibu yang berusaha untuk tetap tenang saat berbicara, meneteskan air mata.

"Lalu, katanya ayahmu menyesal. Toh meskipun bayi itu tetap akan meninggal, ia menyesal karena tidak bisa membuat bayi itu melihat wajah ibunya. Ia hanya memikirkanku saja, takut ibu terkena shock, ia tidak memikirkan betapa bayi itu juga pasti ingin melihat wajah ibu yang mengandungnya. Bagaimanapun, ibu tidak menyalahkanmu yang selama ini marah pada ibu. Ayahmu menyembunyikan hal ini juga demi ibu, sehingga pada akhirnya, ini pun kesalahan ibu. Ibu juga merasa bersalah karena sepertinya ibu yang menyebabkan anak itu lahir seperti itu. Apa lagi yang bisa ibu katakan mengenai anak yang meninggal tanpa mengenal tangan ibunya?"

"Ibu berpikir kalau ibu akan memeluknya sampai puas di alam sana nanti, tapi ibu pikir, bagaimana caranya ibu mencari anak yang tidak pernah ibu lihat. Seandainya ayahmu yang sudah pergi lebih dulu mencarikan anak itu untuk ibu... Setiap hari peringatan kematiannya, ibu berdoa di gereja seharian. Semoga ia tumbuh besar di atas sana dan mirip dengan ibu. Ibu sepenuhnya mengerti mengapa kau marah pada ibu sehingga ibu tidak bisa beralasan apa-apa.

Namun, hari ini ibu mendengar kalau ada bayi kelainan yang lahir di rumah sakit dan ibu hampir tidak percaya rasanya. Bagaimana mungkin tanggal kelahirannya bertepatan dengan hari peringatan kematian adikmu? Ibu tidak bisa tidak melihat bayi itu karena teringat akan adikmu. Makanya ibu tadi pergi ke ruang ICU di spesialis anak. Rasanya seperti melihat bayi yang kulahirkan sendiri, bayi yang tidak pernah ibu lihat. Bayi itu terlihat sangat kasihan, sampai ibu rasanya ingin segera memeluknya... Di sanalah ibu bertemu dengan Nae."

Ibu yang berlinang air mata itu menatap Batz dan tersenyum.

"Dia bilang seperti ini pada ibu. Katanya, coba saja ibu yang mengajakmu bicara terlebih dahulu. Kalau ibu mendekat padamu, maka kau juga mau tidak mau akan mengikuti ibu. Karena kau adalah anak yang seperti itu. Meskipun ketus, tapi sebenarnya hatimu hangat. Berkat anak itulah ibu sekarang berani berbicara seperti ini padamu. Kalau tidak ada anak itu, mungkin ibu akan menyesal seperti ayahmu dulu. Menyesal karena tidak memberitahumu sejak awal. Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan rasa terima Kasih ibu padanya. Sepertinya kalian berdua cukup akrab, ajak saja dia main kerumah kapan-kapan."

Batz memperhatikan tatapan ibunya yang berbicara sambil terpaku pada tangan Batz. Seolah ia ingin menggengam tangan anaknya itu, tetapi merasa jarak mereka selama ini tidak cukup dekat untuk melakukan hal itu. Selalu seperti itu. Bukan sekali dua kali ibunya mengulurkan tangan pada Batz yang segera di abaikan dan di jauhi oleh Batz.

"Maafkan aku, ibu."

Batz menggengam erat tangan ibunya dengan kedua tangannya. Seolah perasaan ibunya itu tersampaikan pada Batz, seketika itu juga Batz meneteskan air matanya. Batz meletakkan tangan ibunya di dahinya dan menangis terisak-isak. Ibunya memeluk Batz dan menepuk-nepuk punggungnya dengan sangat perlahan, dengan lembut. Batz memeluk ibunya erat-erat setelah sekian lama ia tidak bisa memeluk ibunya.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang