63.

232 6 0
                                    

Batz yang mendengar bahwa Nae pergi dengan pakaian biasa kemudian segera menyiapkan jaket, selimut serta sejumlah makanan dan segera pergi mencarinya.

Orang-orang di pondok itu sempat melarangnya, mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berbahaya daripada berjalan di gunung yang diguyur hujan badai di tengah malam.

Semua orang juga tahu akan hal itu. Namun, memikirkan Nae yang mungkin tersesat dan mengalami kesulitan sendiri di tengah gunung itu membuat Batz ingin segera mencarinya dan tidak bisa menunggu lagi.

Ia juga bukannya tidak pernah menjelajahi gunung jiri ini. Ketika ia ikut perkumpulan pecinta alam di kampus nya, gunung jiri adalah tujuan pendakiannya setiap tahun.

Batz berjalan dengan terburu-buru di jalan setapak yang masih di guyur hujan badai. Ia merasa langkah kakinya itu masih cukup lambat jika mengingat Nae yang bisa saja menangis karena panik, ketakutan, atau kesakitan karena terluka.

Selama ia berjalan dengan badan yang telah basah kuyup oleh hujan, pikiran nya hanya tertuju pada wanita itu dan saat itulah ia menyadari bahwa wanita itu telah menguasai hatinya jauh lebih kuat daripada yang ia duga.

Mulai dari pertemuan pertama mereka sampai bekerja sama dirumah sakit dan bersama-sama berlari di samping pasien gawat darurat, perasaan itu rasanya semakin kuat.

Semakin meningkat layaknya cairan merkuri di dalam termometer yang semakin meningkat yang terus meningkat itu sepertinya akan meledak dan pecah.

Batz semakin mempercepat langkahnya. Ia berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada wanita itu dan semoga saja ia sudah bisa berlindung di pondok berikutnya. Batz menerobos angin kencang yang menghalangi jalannya dan berjalan secepat mungkin mendaki gunung itu.

Pintu itu masih terus bergetar. Lalu, sepertinya ganjalan pintu itu hampir patah atau terlepas dari pintu itu. Nae yang ketakutan segera berlari kearah pintu itu dan menahan pegangan pintunya.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar.

"Apa di dalam ada orang?"

Sepertinya ia kenal dengan suara itu. Tapi tidak mungkin ada orang yang berjalan-jalan di tengah cuaca seperti ini.

Berarti....? Ah, tapi aku benar-benar tidak ingin berkomunikasi dengan penunggu gunung ini.

Nae menggigit bibirnya lalu memasang telinganya baik-baik. Mendengarkan apakah suara seseorang itu muncul lagi.

"NaeNae! Kau ada di dalam?"

"Astaga!"

Ia sampai tahu namaku? Berarti benar-benar penunggu gunung ini?

"Ah, terima Kasih, tuhan! Ini aku, Phicyka Batz!  Cepat buka pintunya!

Phyickya Batz? Saking terkejutnya, pegangan Nae pada pegangan pintu itu terlepas begitu saja.

"Ka, kau kenapa..."

Menyeramkan. Membayangkan orang itu berada di sini saja cukup menyeramkan. Tetapi kalau ternyata ini hanya tipuan penunggu gunung itu, itu lebih menyeramkan lagi. Ia rasnya ingin menyuruh orang itu memperlihatkan tangannya.

"Kenapa apanya. Aku tidak tahan karena khawatir padamu. Cepat buka pintunya!"

Tiba-tiba, lampu di pikiran rasioanl Nae seolah menyala. Sampai saat ini, jika ia membiarkan laki-laki itu masuk, maka bisa saja ia akan kembali menjalin hubungannya. Pikiran rasionalnya kembali menguasai.

"Tidak! Pergi kau!" Nae berteriak. Ia tidak bisa melepaskan pintu ini. Ditengah situasi ini, rasanya ia tidak akan bisa berpikir secara rasional jika melihat wajah Batz.

"Kau menyuruhku pergi di tengah cuaca seperti ini? Padahal aku datang dari seoul khusus untuk mencarimu karena mengkhawatirkanmu!"

"Kenapa?"

"Kenapa! Kau ini, masih tidak sadar juga? Aku tidak pernah mengiyakan waktu kau mengajakku putus!"

"Jadi..." Nae meneteskan air matanya, menyalahkan pikiran rasionalnya yang begitu kuat mengendalikan dirinya. Jika pintu ini terbuka sekarang, maka ia seolah akan menyerah begitu saja. Ia tidak ingin seperti itu.

"Jadi? Aku tidak mau berpisah denganmu, sangat tidak masuk akal! Aku tidak tahu bagaimana akhirnya nanti, kita kan juga baru mulai sekarang ini. Aku ingin berpacaran serius denganmu! Kita jalin hubungan ini dengan sungguh-sungguh!"

Hah! Batz baru saja meneriakkan apa yang juga ingin ia lakukan. Apa ini yang namanya telepati atau kontak batin?

"Tidak bisa!" Nae berteriak dengan suara yang hampir menangis.

"Kenapa? Karena aku tidak pandai ciuman? Kalau begitu, kau yang ajari aku! Aku akan berlatih tanpa banyak tanya!"

Benar-benar ucapan yang mengharukan. Nae yang sudah berkaca-kaca itu kemudian tertawa pelan.

"Tetap saja tidak bisa! Kau dan aku, hubungan kita tidak akan bisa berhasil!" Nae berteriak keras sampai suaranya menggema di pondok itu.

"Kau ini, benar-benar membuatku tidak mau melepaskan mu, ya? Kalau aku bisa membuka pintu ini, pokoknya tidak akan kubiarkan kau!"

"Cih! Memangnya kau mau apa? Kau pikir aku takut?"

"Kau sebegitu takutnya padaku sampai berkata seperti itu? Aku tahu kalau kau hanya pura-pura galak seperti itu. Baiklah, kuakui keberanianmu! Tapi aku tidak bisa membiarkanmu lagi!" Batz tidak kalah berteriak pada Nae.

"Aku..." Batz berhenti sejenak lalu berkata dengan pelan.

"Aku ingin kau menjadi yang terakhir bagiku. Entah kenapa, aku merasa kau adalah wanita terakhir bagiku. Makanya aku tidak bisa melepaskanmu. Kau masih tidak percaya juga?"

Ditengah suara angin yang menyayat hati itu, Nae tahu kalau ucapan Batz itu benar-benar jujur dari dalam hatinya. Hatinya sakit. Dirinya pun pasti akan merasa bahagia melebihi siapa pun jika Batz adalah yang terakhir baginya.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Karena jika ia menuruti perasaannya itu, sesuatu yang mengerikan akan menantinya.

"Tetap saja.... Tidak bisa," Nae yang memegang pegangan pintu erat-erat dengan kedua tangannya itu menunduk dan berkata pelan.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang