60.

269 4 0
                                    

Batz kembali ke ruang praktinya dengan ragu.

Kalau ia meneleponnya lebih dulu dan sok akrab lagi, pasti nanti wanita itu akan marah lagi.

Batz yang tidak tahu harus berbuat apa melemparkan telepon genggamnya ke atas meja dan berdiri dari kursinya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya sampai ia teringat pada Aom.

Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan Aom di luar rumah sakit seperti ini. Batz dan Aom duduk berhadapan di sebuah coffee shop.

"Bagaimana kondisi ayahmu?''

"Sempat diopname sebentar, tapi sekarang sudah pulang. Rencananya aku ingin mencari suster untuk merawatnya di rumah. Aku khawatir kalau ia di rumah sendirian." Wajah Aom terlihat sedikit dingin.

"Padahal waktu itu aku berjanji akan menjamunya," Batz merasa bersalah baru ingat kembali dengan janjinya itu.

"Tidak apa-apa. Toh kau dan aku sudah bukan apa-apa lagi," terdengar nada menyesal dan sedih dari ucapannya itu.

"Maafkan aku."

"Sudahlah. Toh kita juga belum berhubungan serius, kan. Banyak kok pasangan yang gagal saat baru memulai. Kau ini kenapa sih, seperti amatir saja..." Aom tersenyum padanya.

Namun senyumnya itu terlihat pahit.

"Ada yang ingin kutanyakan..."

Aom menyeruput kopinya sambil menyimak perkataan Batz.

"Nae, pernah periksa denganmu ya?"

Tangan Aom yang hendak meletakkan cangkir kopinya terdiam sesaat. Kemudian, terdengar suara cangkir kopi yang berdenting dingin saat diletakkan di meja.

"Katanya aku salah diagnosis?"

"Bukan, bukan itu?" Batz panik menghadapi Aom yang tiba-tiba mnejawab dengan sinis.

"Lalu? Kau khawatir padanya? Benar-benar... Ternyata seperti yang di gosipkan para perawat itu, kau memang punya hubungan khusus dengannya?"

Tatapan Aom seolah menyerangnya.

Batz tidak senang melihat Aom yang seolah menginterogasinya itu.

"Aku hanya mengkhawatirkannya."

"Katanya syuting di rumah sakit sudah selesai? Kenapa kau masih khawatir?" Nada bicara sinis, seolah berkata 'tidak usah buang-buang waktu mengurusinya'.

"Kenap nada bicaramu seperti itu?" Batz balas menyahut dengan sinis pada Aom.

"Maaf saja, tapi aku tidak terlalu suka dengan wanita itu."

"Kenapa?"

"Kau tidak tahu?" Tatapan Aom tiba-tiba penuh dengan rasa dikhianati.

"Kau, jangan-jangan... kau masih menganggap kecelakaan waktu itu semua gara-gara Nae?"

"Tidak sepenuhnya salah. Gara-gara dia, aku sampai masuk media massa. Menurutmu aku bisa tidur tenang?"

"Siapa ya yang bisa menghindari tuntutan berkat wanita itu?" Batz mengerutkan alisnya.

"Memangnya situasi bisa lebih buruk lagi saat itu? Toh banyak juga dokter yang pernah di tuntut oleh pasien," Aom menyahut dengan santai. Namun wajahnya terlihat kalau ia berusaha untuk santai.

"Dokter yang tidak pernah di tuntut juga banyak. Setelah berbicara denganmu, entah kenapa aku jadi ikut merasa malu menjadi seorang dokter."

Mendengar ucapan serius Batz, Aom menutup bibirnya rapat-rapat, seolah menyadari bahwa ia telah salah bicara.

"Fiuh... aku menyesal telah menemuimu. Kupikir kau sudah melupakan masalah itu. Jadi, tadinya kau ingin bertanya dan mengobrol santai denganmu," Batz menyesal.

Sepertinya ia bertanya terlalu terus terang pada Aom.

"Lupa? Apanya? Aku malah rasanya seperti datang ke pesta dan di beri sapu untuk bersih-bersih, sementara bungkusan hadiah utamanya sudah jatuh ke tangan wanita lain," sinar mata Aom terlihat sangat menyesal.

"Memangnya apa hadiahnya dan apa sapunya? Perbandinganmu ini aneh sekali."

"Kau adalah hadiahnya dan kecelakaan itu adalah sapunya. Kau mengerti sekarang?"

"Itu kan menurutmu saja." Batz tidak ingin merasa kecewa terhadap wanita yang pernah ia percayai melebihi ibunya itu.

"Iya, benar. Tadi nya aku pikir bisa mendapat hadiah kalau aku bersih-bersih dengan sungguh-sungguh...."

Aom mengalihkan wajahnya dari Batz dan menyeka ujung matanya dengan jarinya tangannya.

Batz kembali panik dan tidak tahu harus melakukan apa. Kalau dulu, mungkin ia bisa memegang tangannya dan memeluknya, tetapi kini tidak bisa lagi. Hatinya sudah beralih ke wanita lain dan kalau badannya saja yang berbuat seperti itu, sepertinya tidak sopan bagi wanita ini.

"Setelah kupikir-pikir, anak yang sudah membuat masalah memang biasanya tidak mendapat hadiah. Mungkin hanya dimaafkan dan mendapat kesempatan kedua. Tapi kesempatan itu pun kini hilang. Menurutmu, bagaimana perasaanku mengetahui hal itu? Wanita itulah yang sudah mencuri kesempatanku, yang mendapat hadiah itu."

Sebenarnya seberapa besar wanita ini menyalahkan Nae?

"Kau, waktu kau mengatakan sudah mengklarifikasi artikel pada wartawan yang mewawancaraimu itu... Itu semua bohong, kan?"

Sesaat Aom terlihat panik.

"Aku bertemu dengan wartawan itu. Ketika aku bertanya mengapa ia menolak permintaanmu, katanya kau tidak pernah bicara apa-apa padanya. Saat itu, kau sengaja berkata seperti itu saat bertengkar dengan Nae? Karena kau tahu aku mendengarkan percakapakan kalian? Kau mau membuatnya terlihat lebih buruk lagi?" Batz menatanya tajam.

Ketika ia mendengar ucapan wartawan itu, ia pikir salah satu diantara mereka pasti berbohong. Ia hanya berharap bukan Aom yang berbohong.

"Aku pikir cara itu berhasil, ternyata tidak," Aom mendengus pelan.

"Kalau kau sudah seperti itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk menghiburmu," Batz berkata pelan.

Tiba-tiba Aom tertawa.

"Kau pikir aku akan terhibur? Padahal kau sudah sebegitu khawatirnya terhadap wanita lain?"

"Kalau kau sudah tahu, cepat katakan. Apa yang kau katakan untuk menakut-nakutinya?" Batz mengernyitkan dahinya.

"Kubilang kalau mungkin saja ia tidak bisa punya anak. Endomertriosis kan memang begitu. Pengobatannya juga belum pasti, kemungkinan penyakit itu kambuh lagi juga besar, bahkan bisa sampai rahimnya di angkat... Aku bukan menakut-nakutinya," Aom berkata dengan datar.

Keterlaluan. Jangan-jangan ini alasan Nae mengajakku putus?

"Kau memberitahu itu semua padanya? Kau bilang itu bukan menakut-nakutinya? Padahal ia juga belum menjalankan pemeriksaan yang lain, kenapa kau berkata semudah itu? Aku benar-benar tidak habis pikir padamu, Aom Sushar Manaying," Batz tidak bisa menahan emosinya dan berdiri dari bangkunya.

"Kemungkinan itu kan ada. Tentu saja ia harus tahu. Karena ia tahu secara teori saja, jadi aku menjelaskan tentang penyakit itu lebih lanjut, supaya ia bisa berhati-hati," nada bicaranya benar-benar seolah tidak mrasa bersalah sedikit pun.

"Masih untung ia tahu secara teori, padahal sebagian pasien datang ke rumah sakit setelah penyakitnya parah dan mereka masih tetap tidak tahu apa penyakit mereka. Kau mau jadi dokter yang tidak manusiawi, yang langsung berkta 'anda akan segera mati' pada pasien, hah? Kalau saja kau ini Kim , pasti aku sudah menghajarmu!"

Batz menatap Aom dengan marah dan keluar meninggalkannya. Ia segera mengemudikan mobilnya menuju rumah Nae.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang