Rumah Satria sangat besar dan megah. Bangunan bergaya klasik itu dicat putih. Di sekitar rumah banyak ditanami pepohonan dan tumbuhan perdu. Halamannya luas lengkap dengan taman yang ditata rapi. Tapi berhubung malam, jadi Gedang tak bisa memperhatikan secara detil. Pandangannya terbatas dibantu pendar cahaya lampu.
"Kamarmu di sebelah sana," Satria menunjuk sebuah kamar yang menghadap ruang santai.
"Oke..."
"Kamar ini khusus buat kamu," kata Satria sambil membuka pintu.
"Oh ya? Kamu udah nyiapin kamar buat aku?" tanya Gedang sinis.
"Iya, dong!" Satria menyunggingkan senyum lebar.
Gedang berjengit kesal.
"Ya sudah, silahkan istirahat. Abang ke kamar Abang dulu."
"Iya," jawab Gedang sambil memutar gagang pintu.
"Kalo ada apa-apa, panggil Abang."
Gedang tak merespon. Ia sibuk memperhatikan interior ruangan kamar yang akan ditempatinya. Kamar ini lebih luas dari kamar nya di rumah. Sebuah kamar bergaya minimalis dan didominasi warna putih. Mulai dari cat ruangan sampai perabotan yang terdapat di dalamnya rata-rata berwarna putih. Yang paling menarik perhatian, tentu saja sebuah lukisan yang di pajang di atas ranjang. Lukisan pohon cempaka yang berbunga lebat. Dibingkai dengan figura emas. Cempaka lagi, cempaka lagi... desis Gedang dalam hati.
Gedang menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia menatap langit-langit. Pikirannya menerawang. Ia tak menyangka, memasuki usia tujuh belas tahun hidupnya akan mengalami semua kejadian tak masuk akal ini. Hidup sebagai reinkarnasi seorang putri dari masa lalu, bertemu dengan seorang pangeran yang berumur ratusan tahun demi mencari belahan jiwanya, diburu roh jahat, dan malam ini keluar dari rumah meninggalkan keluarganya. Kejutan apa lagi setelah ini?
Tok...tok....
"Masuk! Ada apaaa?"
"Belum tidur?" Satria menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Sebentar lagi. Ada apa?"
"Ngecek aja," Satria tersenyum. "Ya sudah, selamat malam."
Gedang bangun dari tidurnya. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Ia juga ingin menggosok gigi. Setelah itu keluar kamar. Saat melintasi jendela, tak sengaja ia menoleh ke luar. Hatinya tergelitik untuk melihat keadaan di luar. Ia menyingkap tirai jendela. Di keremangan malam, ia masih bisa melihat kuntum-kuntum cempaka yang bersinar terkena bias rembulan dan lampu taman.
Gedang geleng-geleng kepala. Apakah cuma Cempaka yang bisa tumbuh di taman ini? Gerutunya.
Ia kemudian naik ke tempat tidur. Tapi baru saja hendak menarik selimut, sudah terdengar ketukan lagi.
"Ada apa?"
"Nggak. Cuma mastiin kamu baik-baik aja."
"Baik."
"Oke. Good nite!"
Gedang pikir itu ketukan untuk terakhir kalinya malam ini. Ternyata berlanjut pada ketukan-ketukan berikutnya di pintu kamarnya. Hal ini membuat Gedang kesal. "GIMANA AKU BISA TIDUR KALO DIGANGGU TERUS?!"
"Abang cuma mau masti—"
"Bodoh!" potong Gedang. "Kalo ada apa-apa aku pasti teriak...!"
"I-iya, abang cuma khawatir. Abang nggak bakal ganggu lagi."
"Dia bego atau apa sih..." gerutu Gedang kesal sambil membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha memejamkan matanya. Hanya saja kantuknya sudah hilang entah kemana. Tiba-tiba muncul ide nakal di benaknya. "Mendingan aku balas kerjain deh..." gumamnya geli.

KAMU SEDANG MEMBACA
BANGSAT
AcakGedang tak habis pikir kenapa orang tuanya sepertinya sangat menginginkan ia menyukai laki-laki, padahal ia sendiri adalah seorang laki-laki juga. Hal itu bukan perasaan Gedang saja. Kenyataannya orang tuanya lebih menyukai kalau dirinya membawa tem...