XXXIV

5.1K 466 50
                                    

Satu hal yang paling ditakuti Gedang saat ini adalah Satria tidak mencintainya lagi. Apa yang akan ia perbuat? Tujuannya ia hidup adalah ingin menepati janji sang putri. Tapi jika janji itu ingin dipenuhinya namun Satria tak menghendakinya lagi, apa dayanya?

Sialnya, pertanyaan semacam itu baru saja terlontar dari bibir Satria.

"Gimana kalo Abang nggak mau lagi sama kamu?" pertanyaan Satria barusan membuat jantungnya berdetak keras.

"Terus kenapa kamu muncul kalo nggak mau lagi sama aku?" Gedang balik bertanya.

"Madam Rosetta yang bilang kalo kamu mau bunuh diri. Makanya aku datang. Aku nggak mungkin kan biarin kamu bunuh diri lagi... bunuh diri lagi..."

Gedang menelan ludahnya. Pahit.

"Sial... wanita itu bilang tak tahu keberadaan kamu..." gerutu Gedang. "Lagi pula aku nggak tahu kalo rasa cinta kamu pakai kadaluwarsa..." desis Gedang pelan.

"Emang kalo kamu tahu kenapa? Kamu mau ngapain?"

"Mungkin aku berpikir ulang untuk mencari kamu. Mungkin lebih baik kalo kita nggak ketemu. Rasanya jauh lebih baik nggak tahu kebenarannya supaya aku selalu punya harapan..." jawab Gedang dengan bibir bergetar.

"Kamu sadar apa yang udah kamu lakukan ke aku selama ini?"

Gedang menggigit bibirnya. Ia lantas menunduk.

"Apakah adil kalau aku menerima kamu begitu aja setelah semua yang udah terjadi?"

Mata Gedang terasa panas. Pandangannya mulai berembun. Ada sesuatu yang ingin melesak keluar dari sudut matanya, tapi berusaha ia tahan.

"Selalu saja saya yang kebagian menunggu dan memohon..." sambung Satria.

"Iya. Jika kamu kamu ingin mengungkit siapa yang paling berkorban untuk hubungan ini, aku pasti bakal kalah," kata Gedang sambil menegakkan kepalanya. "Kalau harus hitung-hitungan siapa yang paling rugi, kita udah tahu jawabannya. Tapi setahuku cinta nggak pakai sistem untung rugikan?"

"Ya. Tapi aku merasa nggak adil aja---"

"Oke. Tinggalkan aku sekarang. Silahkan Abang pergi. Aku bakal menunggu sampai aku mati. Bagaimana? Apa itu cukup adil?"

Satria tersenyum. "Aku rasa kita nggak perlu membuang banyak waktu lagi kan?" katanya sambil berjalan menuju lukisan pohon cempaka di depan tempat tidur Gedang.

"Terus? Abang maunya apa?"

Satria tak menjawab. Ia masih asyik saja menatap lukisan di hadapannya. Terakhir kali ia menatap lukisan itu, pohon cempaka di dalam lukisan itu meranggas. Tapi malam ini cempaka itu terlihat rindang. Tangkai-tangkainya memutih tertutup kuntum-kuntum bunganya yang merekah.

Tiba-tiba ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Hembusan napas yang hangat menerpa punggungnya. Ia menoleh. Gedang nampak bersandar di punggungnya.

"Aku bakal terima apapun keputusan Abang. Mungkin itulah satu-satunya keputusan terbaik yang pernah aku ambil sepanjang hidupku..."

Satria meraih kedua lengan Gedang, lantas mengangkat dan menempelkan kedua telapak tangan cowok itu ke dadanya. "Bagaimana? Kamu masih bisa merasakan debaran keras di sana?"

Gedang tersenyum sebelum menjawab, "Masih."

"Kalau begituuuu..." Satria menggantung ucapannya seraya balik badan, "Nggak perlu ada pertanyaan tentang itu lagikan?"

"Eh, emang yang nanya tadi siapa?"

Satria terkekeh. "Abang cuma mau melihat kesungguhan kamu aja kok. Abang senang banget ternyata kamu kembali cinta sama Abang..."

BANGSATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang