XXXVII

5K 413 17
                                    

Kamidia menjerit melihat kepala Gedang mulai terkulai. Ia berlari menghampiri Satria dan mengguncang-guncang tubuh itu seraya berkata, "Kak Gedang kenapa??? Bang...!!! Kak Gedang kenapa??!! Tolongin dia....!!!"

Sementara Satria bergeming. Tapi matanya nampak awas memandang ke depan, memperhatikan sedetil mungkin pergerakan Aria maupun Gedang.

"Bang.... jangan diam aja! Tolongin Kak Gedang...." pinta Kamidia lagi.

"Tenang, Dia. Kakakmu bakal baik-baik aja," kata Satria meski tak yakin.

"Kau tak ingin mengucapkan kata perpisahan wahai Adikku tersayang?" tanya Aria Tebing seraya menguatkan cengkeramannya di leher Gedang.

"Kau tak pernah berubah, Kanda. Selalu berusaha menyakiti orang yang tak bersalah demi kepentinganmu sendiri. Lakukanlah apa yang kau mau. Biar Yang Kuasa menghukummu..." kata Satria lantas menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada sembari memejamkan matanya.

***

Cekikan Aria Tebing semakin kuat menekan lehernya. Gedang sepenuhnya sadar bahwa kekuatan mantra pelindung itu sudah memudar. Terbukti Aria Tebing bisa menyentuh bahkan menyakitinya tanpa perantara tubuh orang lain seperti yang sudah-sudah. Apa yang bisa ia lakukan untuk membebaskan diri dari cengkeraman ruh keparat itu?

Aku tak punya kekuatan apa-apa. Aku juga tak punya strategi apa-apa. Tapi aku percaya kekuatan sumpah itu bisa aku laksanakan. Tuhan, aku berserah pada-Mu. Hanya Kau yang bisa menolongku. Tolong aku! Tolong aku mewujudkan sumpah itu!!!

Tiba-tiba Gedang merasakan tubuhnya tersentak. Terlepas dari cengkeraman Aria kemudian berputar. Semakin lama semakin cepat, memasuki sebuah lorong tak berujung, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan semuanya di belakang. Sangat cepat bagai kilat. Hanya hitam putih yang tertangkap indra penglihatannya sampai tubuhnya berdebam ke tanah.

***

Perasaan Satria yang peka merasakan kekuatan lain sedang menghampiri. Benar saja. Dalam hitungan detik kilatan cahaya putih mula-mula hanya segaris lantas semakin membesar datang dari belakang Gedang dan Aria. Dengan gerakan konstan cahaya itu membesar dan menggelembung sempurna melingkupi tubuh Gedang dan Aria yang menapak di awang-awang.

Tanpa pikir panjang, dengan satu hentakan kuat Satria mendekat. Pada satu titik tubuhnya melebur menjadi angin dan ikut masuk ke dalam lingkaran cahaya menyilaukan itu.

Sementara Kamidia tersentak dan tubuhnya terhuyung ke belakang melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Begitu cepat. Bahkan napasnya masih tertahan di pangkal tenggorokan saat tubuh Satria terurai. Cepat. Secepat cahaya mahaterang itu menutup, seumpama layar yang dimatikan melalui remote control. Lenyap di bentangan cakrawala biru siang itu. Raib tak bersisa membawa tubuh sang kakak entah kemana.

***

Gedang merangkak bangun dengan susah payah. Saat ia memperhatikan sekeliling, ternyata ia berada di sebuah taman bunga yang cukup indah. Ia mengucek-ucek matanya untuk meyakinkan bahwa ia tak salah lihat. Tapi yang matanya tangkap tetap sama. Hamparan padang rumput hijau di sisi kiri dan ladang bunga di sisi kanan. Sementara di hadapannya yang letaknya tak seberapa jauh, berdiri bangunan megah menjulang. Bangunan berlatar gunung tinggi yang puncaknya diselimuti kabut itu nampak megah dengan cirinya. Terasa berbeda dan lain dibanding bangunan modern yang selama ini ia lihat.

Belum sempat ia mengenali di mana gerangan dirinya berpijak, tiba-tiba deraian tawa terdengar mendekati tempatnya berdiri dengan penuh kekaguman. Tiga orang gadis hanya mengenakan kemben dan selendang tersampir menutupi pundak mereka, berjalan melewatinya tanpa sekalipun memperhatikan dirinya. Jangankan terusik, menoleh pun tidak.

BANGSATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang