XXX

4.6K 526 42
                                    

Keesokan harinya...

Sepulang sekolah, Gedang memacu motornya lebih cepat dari biasanya menuju kompleks perumahan Gading Cempaka. Di perjalanan ia memarahi dirinya sendiri yang tidak meminta kontak si security kemarin. Dengan begitu ia tidak perlu tergesa-gesa seperti ini.

Ternyata Gedang sudah ditunggu sang security di gerbang rumah. Gedang langsung membuka helm seraya memberi salam.

Sang security mengangguk dengan kaku.

"Satrianya sudah datang?" tanya Gedang.

"Dia sudah datang sejak beberapa waktu yang lalu. Oh, iya motor kamu masukkan saja ke dalam..." kata si security sambil membuka pintu gerbang. Lalu menutupnya kembali setelah Gedang memasukkan motornya ke samping pos jaga.

"Selagi Satria di sini, pos jaga ini tidak berfungsi," kata Gedang pada sang security.

Si security lagi-lagi mengangguk.

"Oh, iya, nama Bapak siapa? Kok nggak dipasang nama di seragamnya?"

"Guntoro."

"Saya Gedang," balas Gedang. "Satrianya lagi apa ya?" tanyanya saat mereka berdua berjalan menuju teras rumah. Sementara suasana rumah saat itu terasa sangat sepi. Gedang pun bertanya-tanya dalam hati apa hubungan Gedang dan penyewa rumah saat ini.

Memasuki rumah yang dulu pernah ditinggalinya membuat Gedang jadi bernostalgia. Semua memori yang pernah ia alami bersama Satria di sini kembali membanjiri benaknya. Hal itu membuat ia semakin tak sabaran ingin bertemu dengan lelaki itu.

"Satrianya di mana?"

"Di atas."

"Bapak tahu apa hubungan Satria dengan penghuni rumah yang sekarang?"

"Saya nggak tahu. Teman bisnis mungkin."

Gedang mengangguk seraya mengatur napasnya yang mulai terasa sesak karena deg-degan. Saat ia melewati pintu kamarnya dulu, moment ketika Satria menciumnya melintas dan membuat pipinya terasa panas. Ya Tuhan, ia menginginkan moment itu kembali.

Mereka berdua berjalan menuju balkon. Gedang merasakan dadanya bergemuruh. Seumur hidupnya, ia belum pernah merasakan hal semacam ini. Sulit untuk mengungkapnya dengan kata-kata. Hatinya serasa melompat-lompat keluar dari rongganya. Sedikit lagi mungkin dadanya akan meledak.

Namun letupan-letupan gairah bercampur rindu di dada Gedang seketika hilang saat ia mendapati balkon yang kosong. Ia menatap Guntoro meminta jawaban. "Mana?"

"Hmm, kok nggak ada? Apa sudah ke bawah ya?"

"Tunggu dulu, penghuni rumahnya kok nggak muncul? Dari tadi perasaan sepi banget..." tanya Gedang.

"Penghuni rumahnya cuma satu orang. Sama kayak Tuan Satria dulu."

"Sendirian? Cowok? Masih lajang?" kentara sekali kepanikan dalam suaranya.

"Ya."

"Hah?!" Gedang terperanjat kemudian hatinya mencelos saat pikiran yang tidak-tidak melintas di kepalanya.

"Adik tunggu di sini dulu.Biar saya cari ke bawah," kata Guntoro.

Gedang mengangguk tak bersemangat. Hatinya masih terusik dengan fakta yang baru saja diberitahu Guntoro. "Rekan bisnis beneran bukan sih? Cowok masih lajang? Tinggal di rumah Satria... Satria bela-belain datang pula... Kok aku ngerasa ada something ya... Ah, apa aku pulang aja daripada sakit hati?" benaknya berkecamuk seraya berdiri di tepi balkon dan menatap ke bawah.

Lagi-lagi Gedang merasa rumah ini terasa asing sejak bukan lagi Satria yang menghuninya. Dari balkon itu, ia melihat taman samping yang dulunya dipenuhi hamparan bunga cempaka sekarang dibiarkan kosong. Gedang sangka saat Papanya menyuruh para pekerja menebangi pohon cempaka beberapa waktu yang lalu, taman ini akan diganti dengan tanaman hias yang lain. Ternyata hanya dibiarkan menghijau dengan rumput yang dibiarkan tumbuh begitu saja tak terawat.

"Ternyata penghuni baru ini tidak menjaga rumah ini dengan baik..." gerutu Gedang. Disaat itu pula ia teringat ucapan papanya yang mengatakan sertipikat rumah ini sudah balik nama atas nama dirinya. "Kalau penyewa rumah ini macam-macam, aku bisa mengusirnya kan?"

Gedang masih sibuk dengan pikirannya saat seseorang melingkarkan lengan ke lehernya dari belakang. Gedang langsung menoleh, namun tiba-tiba lengan itu menekan lehernya dengan kuat. Gedang tercekik sampai melotot. "Siapa nih? Ada apa nih?" tanya hatinya mulai waspada.

Gedang meronta sambil berusaha melepas lengan---yang baru disadarinya mengenakan sarung tangan---itu. Otaknya berputar cepat untuk memahami situasi yang sedang terjadi. Dari warna lengan baju yang membelitnya, Gedang tahu itu adalah Guntoro. Saat itu pula ia sadar bahwa Satria tak ada di sini. Gedang menduga semua ini tentu saja ulah Roh Aria yang merasuki tubuh Guntoro. Ya Tuhan, kenapa aku tak memikirkan kemungkinan ini dari awal? Sesalnya.

Cekikan yang amat kuat itu membuat Gedang tak dapat bernapas. Pandangannya mulai terasa gelap dan telinganya berdenging. Ia tak bisa menahan sesak yang mau meledakkan dadanya ini lebih lama. Tubuhnya mulai melemas. Di ambang batas kesadarannya, Gedang tahu Guntoro mengangkat tubuhnya hingga melewati pembatas balkon.

Sedetik kemudian, Gedang merasakan tubuhnya bebas. Tak ada lagi cekikan di lehernya. Namun seakan tak terkendali, tubuhnya melayang ke bawah dengan gerakan cepat sehingga ia tak berani membuka matanya dan memilih pasrah. Menanti tubuhnya menghantam lantai...

***

Lelaki itu kembali membuka matanya entah untuk keberapa kalinya. Ia tak tahu kenapa sore ini ia tak mampu berkonsentrasi dalam semedinya. Ia tak mampu memusatkan pikirannya. Ia merasakan gelisah menghinggapi hatinya. Hingga akhirnya ia pasrah dan berjalan keluar anjungan kecil tempat semedinya itu.

Lelaki itu berjalan menuju pohon cempaka yang tumbuh rimbun di tepi kolam ikan. Beberapa ranting-ranting pohon menjuntai di atas kolam. Beberapa kuntum bunga yang berguguran nampak mengambang di atas air. Ketika menyaksikan pemandangan itu, semakin gelisah pula hatinya.

Ia memetik sekuntum cempaka terdekat, menciuminya berkali-kali seraya berbisik, "Gading....Gedang.... Gading.... Gedang... bagaimana kabarmu??? "

###

Sorry cuma secuil. Happy reading. Btw, sorry gak bisa balas komennya atu-atu. Tapi semua komen kalian gue baca kok. Terima kasih buat yang udah kasih bintang, komentar dan kritikan. Semoga ke depan lebih baik lagi :) cheers!

BANGSATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang