XIV

7.4K 542 47
                                    

Gedang berlari keluar kamar dengan HP masih digenggaman. Ia mencari-cari Satria di ruang santai. Tapi yang dicari tak nampak batang hidungnya. Ia harus memastikan kali ini Satria sungguh-sungguh dengan ucapannya. Sang pangeran benar-benar tidak akan mengganggu hubungannya dengan Ambar.

Mendapati yang dicari tidak ada di sana, Gedang memakai jalan pintas. "Bang Sat..." desisnya.

Seketika berdiri Satria di hadapannya dengan pisau di tangan.

"Eits! Abang mau ngapain...???" Gedang kaget.

"Justru harusnya aku yang nanya kamu ngapain manggil aku?"

Gedang menunjuk pisau yang berkilat di tangan Satria. "Bisa nggak pisaunya jangan diarahkan ke aku?"

Satria menurunkan tangannya yang memegang pisau. "Ada apa?"

"Uhm..." Gedang ragu-ragu ingin mengutarakan maksudnya.

"Apa?"

"Bisa nggak pisaunya diberikan ke aku dulu?"

Satria mengernyitkan dahinya.

"Jaga-jaga aja siapa tahu Abang kalap setelah dengar omongan aku nanti..." terang Gedang.

"Abang nggak perlu pisau ini untuk bunuh kamu," jawab Satria.

Nyessss! Gedang merasakan hatinya seperti diguyur seember es mendengar ucapan Satria barusan. Spontan ia memegang dadanya.

"Buruan, mau ngomong apa?"

"Pertama makasih udah balikan fotonya seperti sedia kala. Kedua, omongan abang bisa dipegangkan? Abang beneran nggak bakal ganggu hubunganku dengan Ambar?"

"Iya."

Gedang tersenyum lebar.

Clink! Satria hilang.

Gedang langsung merengut. "Dia ikhlas nggak sih..." gerutunya.

***

"Ikhlas? Enak aja...!" gerutu Satria sambil menebas salah satu pokok ranting cempaka. Iya, saat Gedang memanggilnya untuk pembicaraan tidak penting tadi, ia sedang merapikan pohon-pohon cempaka di taman.

"Aku gak akan mengalah untuk seorang gadis berumur belasan tahun itu...! Hah! Aku gak akan membiarkan 674 tahunku sia-sia...!" tekadnya.

Tentu saja Satria harus mengganti strategi untuk membuat Gedang jatuh hati padanya. Jika ia tidak bisa menggunakan paksaan atau larangan, berarti ia harus menggunakan cara halus yang tidak disadari oleh anak itu.

Maka dari itu, keesokan harinya, saat Gedang pergi sekolah, Satria pura-pura tidak perduli. Ia menampilkan ekspresi tenang. Bahkan sangat tenang saat Gedang berpamitan. Ia mengantar Gedang sampai ke pintu. Sampai motor anak itu menghilang dari pandangan. Setelah itu barulah ia bergerak cepat. Mengganti piyamanya dengan kaos dan celana jeans. Tidak lupa jaket bomber yang tengah in ikut melengkapi penampilan sempurnanya. Setelah itu ia bergegas keluar kamar mengikuti Gedang. "Melepas dia sendiri di jalan terlalu beresiko. Emang gadis itu bisa menjaga dia apa???"

Satria benar-benar makan hati melihat kebersamaan yang diciptakan Gedang dan Ambar. Selama dua kali jam istirahat mereka selalu bersama. Makan di kantin bersama, duduk di taman sambil bercanda, berselfie ria, gandengan tangan menuju kelas, dan ditutup jalan bareng sepulang sekolah.

Kali ini Gedang membawa Ambar ke danau Ceria. Sebuah danau buatan yang baru saja dibuka. Di sana pengunjung bisa bebas menjelajahi luasnya danau menggunakan perahu kecil ataupun getek-getek. Pilihan lain juga bisa menyeberangi danau lewat jembatan berayun. Atau duduk-duduk santai di tepi danau sambil menikmati hembusan angin ditemani menu cafe yang menawarkan aneka makanan dan minuman penggugah selera.

BANGSATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang