Aria Tebing berjalan mengikuti Bajinggo menuju halaman istana ketika ia teringat dengan sosok pemuda yang ia temui di kamar Satria. Sesaat sosok yang ia yakini mata-mata milik Satria itu terlupa karena perayaan kemenangannya yang tinggal di depan mata. Bagaimana kabar anak itu sekarang? Apakah ia masih akan tetap bungkam?
"Paman, silahkan Paman terlebih dulu ke sana. Aku ingin menemui mata-mata itu dulu," beritahu Aria.
Bajinggo menghentikan langkahnya. "Aria, berhentilah bermain-main. Keadaan sedang genting!"
"Aku tahu ini tak masuk akal. Aku juga merasa aneh. Tapi aku serius, Paman. Mata-mata itu benar-benar ada!"
Bajinggo menghela napasnya. "Aria, semua orang pintar tersakti sudah kita gunakan untuk melunturkan ajian halimun yang kau maksud. Tapi apa hasilnya? Nol besar! Kita tidak melihat wujud apapun!!!"
"Paman menuduh aku berbohong begitu?!"
"Aria... tolonglah..."
"Aku bersumpah paman! Dia sosok laki-laki muda, tampan, pakaiannya berbeda---"
"Cukup! Terserah kau saja!" potong Bajinggo sambil melanjutkan langkahnya.
Aria berbalik arah dan menuju ruang tahanan. Saat ia tiba, mata-mata yang maksud adalah Gedang itu sedang duduk di pojok ruangan.
"Sial, kau membuatku gila," umpat Aria.
Gedang menghela napas. "Aku sendiri juga bingung mengapa hanya kau yang bisa melihatku."
"Aku dan Satria," tambah Aria. "Benarkan?"
Gedang memilih tak menjawab.
"Bicaralah baik-baik. Apa sebenarnya yang sedang kau rencanakan dengan Satria?"
"Tidak ada."
"Mungkin kamu akan berubah pikiran jika tahu bahwa hidup dan matimu hanya tergantung padaku sekarang? Cobalah bersikap baik padaku, anak muda. Satria sudah meninggalkan istana ini. Ia sudah menjadi buronan sekarang."
"Apakah Pangeran Satria diusir dari istana? Jadi raja percaya bahwa dalang di balik penyerangan itu adalah sang Pangeran???" Gedang bangkit dan mendekati jeruji di depan Aria.
Aria mengernyitkan dahinya. "Terlalu banyak mulut sepertinya di sini," katanya kemudian sambil memperhatikan sekitar. Beberapa prajurit terdengar bercakap-cakap di luar.
"Tanpa mereka mengatakan apapun, aku sudah tahu itu akan terjadi. Kau dan Pamanmu yang licik itu sudah merencanakan semua ini sejak lama," kata Gedang.
"Benarkah? Sayangnya apa yang kau ketahui tidak berguna sama sekali. Semuanya sudah diwujudkan dan impianku sebentar lagi akan tercapai..."
"Silahkan saja sesumbar, Aria. Kita lihat saja sampai akhir, apakah keberuntungan akan tetap berpihak padamu, atau justru kehadiranku di sini akan membawa sial untukmu."
Aria Tebing terbahak. "Apa yang bisa diharapkan dari anak muda yang terlihat aneh sepertimu? Apakah kau seorang kesatria? Orang sakti mandra guna? Menjadi seorang prajurit saja kau tak layak. Jadi apa yang harus aku takutkan dari dirimu? Sebaiknya pikirkan saja bagaimana caramu bisa keluar dari sini atau kematian akan segera menyambutmu. Satu-satunya yang kau harapkan adalah Satria. Tapi si pengecut itu sudah meninggalkan istana secara sukarela. Ia melarikan diri meninggalkan sekutunya yang tampak lemah seperti dirimu. Hahahaha. Kau bisa aku jadikan senjata untuk memperdayai Raja. Mungkin jika semua orang tidak bisa melihat wujudmu, tapi aku yakin jika Ayah bisa juga melihat dirimu, sebagaimana aku dan Satria bisa melihat dirimu. Mungkin hanya keluarga raja yang bisa melihat wujudmu? Aku tak sabar ingin mendengar apa yang Raja katakan tentang dirimu. Beliau pasti akan percaya bahwa Satria benar-benar berkhianat dan makar pada istana..."
KAMU SEDANG MEMBACA
BANGSAT
DiversosGedang tak habis pikir kenapa orang tuanya sepertinya sangat menginginkan ia menyukai laki-laki, padahal ia sendiri adalah seorang laki-laki juga. Hal itu bukan perasaan Gedang saja. Kenyataannya orang tuanya lebih menyukai kalau dirinya membawa tem...