Waktu seakan bergerak lambat saat tubuh Gedang mulai meluncur ke bawah. Satu persatu kenangan yang ia lalui bercampur dengan ingatan tentang sang putri melintas di benaknya. Ia juga melihat seluruh keluarganya menangis di depan tubuhnya yang membujur kaku, Ambar yang menangis tengah ditenangkan oleh Rizaldi, Madam Rosetta yang melotot tajam dengan mimik wajah marah, Roh Aria Tebing yang tertawa puas terbahak-bahak...
Melihat semua itu, Gedang menggelengkan kepalanya. Tidak! aku tidak rela melihat roh jahat itu menang!!! Bangsat, tolong aku...
***
Lelaki itu mengerjapkan matanya berkali-kali saat ia merasakan percikan air mengenai wajahnya. Ia membuka matanya sembari berdecak kesal. Apa yang menganggu tidur malamku?
Betapa terkejutnya ia saat melihat sosok berdiri di hadapannya. Wanita berambut ikal mengembang dengan hiasan selendang warna-warni di kepalanya menatap ke arahnya dengan tajam.
"Madam...?!"
"Apa???"
"Bagaimana kau bisa---"
"Kenapa? Sekarang bukan waktunya untuk bertanya tentang itu. Ada yang lebih penting lagi. Gedang!"
Lelaki yang tak lain adalah Satria itu menelan ludah mendengar nama itu disebut. "Ada apa dengan Gedang?"
"Kau masih menutup mata batinmu?! Sialan kau enak-enakan bersantai di sini, sementara aku harus terus-terusan mengawasi anak itu. Sekarang tugasku sudah selesai untuk melindungi anak itu. Kini silahkan kau urus sendiri!" cerocos Madam Rosetta seraya menjentikkan jemarinya.
"Gedang baik-baik saja kan???"
"Sudah kubilang BUKA MATA BATINMU! Dia hampir setiap saat menyebut kata Bangsat!"
"Jangan PHP ! Kau tahu bagaimana---"
"Hhhh, kalian berdua itu sama lebaynya..." desis Madam Rosetta malas. "Ngomong-ngomong, Gedang sekarang sedang meluncur ke dasar jurang untuk kedua kalinya..." sambungnya seraya memainkan kuku-kuku jemarinya dengan santai.
"APA??!!" seru Satria sambil bangkit berdiri. "Mengapa kau tidak bilang dari tadi?! Dasar wanita sialan!!!"
Mata Madam Rosetta menyipit. "BUKANKAH AKU SUDAH MEMINTAMU MEMBUKA MATA BATINMU?!" teriakannya menggelegar.
***
Satria langsung membuka mata batinnya dan saat itu juga ia mendengar suara yang begitu dirindukannya menyapa gendang telinganya.
Bangsat.
Suara itu sanggup menggetarkan seluruh urat syarafnya.
Tolong aku...
Suara itu terdengar putus asa.
Ya, Abang bakal datang. Abang pasti menolongmu..., ucap Satria dalam hati seiring dengan menghilangnya tubuhnya dari tempat ia berdiri.
Kemudian ia muncul di bibir sebuah jurang yang cukup curam. Meskipun hanya diterangi sinar rembulan dan kerlip bintang, tapi Satria mampu melihat dengan jelas sesosok tubuh yang meluncur menuju dasar jurang dengan cepat.
Gedangku, desis Satria. Ingatan tentang Gading dalam posisi serupa ratusan tahun yang lalu membanjiri kepalanya. Tanpa pikir panjang ia langsung ikut melompat mengejar Gedang. Aku tak akan membiarkannya untuk kali ini, ucapnya dalam hati seraya memejamkan kedua matanya erat. Seketika itu juga tubuhnya lenyap berubah menjadi pusaran angin dan secepat kilat mengarah ke Gedang sehingga tubuh pemuda itu masuk ke dalam lingkaran puting beliung itu, seakan-akan pusaran itu memeluk tubuhnya dan membawanya naik kembali ke atas.

KAMU SEDANG MEMBACA
BANGSAT
AcakGedang tak habis pikir kenapa orang tuanya sepertinya sangat menginginkan ia menyukai laki-laki, padahal ia sendiri adalah seorang laki-laki juga. Hal itu bukan perasaan Gedang saja. Kenyataannya orang tuanya lebih menyukai kalau dirinya membawa tem...