Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya Gedang dan Satria sampai ke wilayah Hutan Mayang. Saat itu tubuh Gedang semakin bertambah letih. Bahkan sesekali ia merasakan anggota tubuhnya kebas. Bahkan beberapa kali ia merasakan jari-jemarinya menghilang. Ia tak tahu itu nyata atau halusinasinya saja.
"Dulu kalian memilih tempat di dekat mata air, di tepi sebuah tebing yang banyak ditumbuhi pohon cempaka," beritahu Gedang.
"Baiklah. Itu hulu Sungai Serut. Tempatnya cukup jauh masuk ke dalam hutan," terang Satria sambil menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan memperhatikan tubuh Gedang yang nampak makin lemah. Ia lantas jongkok di hadapan Gedang. "Biar kamu aku gendong," katanya kemudian.
Gedang ragu.
"Ayo. Percaya sama aku. Bukankah kamu bilang mau cepat-cepat menyelesaikan semua ini? Kamu ingin kembali ke rumah kan?"
Gedangpun naik ke punggung Satria masih dengan ragu-ragu.
Gedang melingkarkan tangannya ke leher Satria. Ia bisa merasakan otot-otot bahu Satria yang keras. Ingatannya pun kembali ke masa-masa indah bersama Satria di rumah.
"Bobot tubuh kamu ringan ya," kata Satria.
Gedang tak menyahut. Pipinya menempel ke bahu Satria. Pandangannya yang sayu menatap dedaunan hijau yang mereka lalui. Sementara pikirannya terus berputar mengingat apa saja yang sudah ia lalui selama hidupnya. Ia tak pernah menyangka akan menghadapi situasi seperti ini. Waktu dan keadaan menjungkirbalikkan jalan hidupnya sedemikian rupa. Terasa begitu cepat. Secepat ia merasakan tubuhnya yang tiba-tiba saja melemah dari waktu ke waktu.
Entah berapa lama mereka menempuh perjalanan. Gedang tertidur di gendongan Satria. Tapi di suatu kesempatan Satria tak sengaja memperhatikan lengan Gedang yang jatuh terkulai di samping lehernya. Ia melihat lengan itu menghilang. Satria mengerjapkan matanya. Lengan itu utuh lagi. Tapi sesaat kemudian hilang lagi. Rasa letih yang mendera mungkin membuatnya melihat yang tidak-tidak. Hal ini membuat Satria berhenti. Ia membaringkan Gedang dengan hati-hati.
Gedang terbangun dan membuka matanya. "Kita sudah sampai?" tanya Gedang.
"Sebentar lagi."
Gedang menghela napas. Ia beringsut bangun. Satria bergegas membantunya.
"Ada satu hal yang belum aku ceritakan padamu," kata Gedang pelan.
Satria bergeming. Ia menunggu Gedang melanjutkan ucapannya.
"Apakah pangeran pernah bertemu dengan sang putri?"
"Ya. Suatu kali aku ikut ayahanda raja melawat ke negeri Sungai Serut."
"Ayah kalian berdua berniat untuk menjodohkan kalian..."
"Ayahanda pernah membicarakan itu. Tapi aku belum memutuskannya. Sebab Kanda Aria menaruh hati padanya. Ia pernah mengirimkan lamaran pada sang putri tetapi ditolak."
"Atas penolakan itu pula Aria menyerang kerajaan Sungai Serut bukan? Bahkan beberapa prajurit diminta Aria membawa sang putri secara paksa ke istana kalian. Hal itu pula yang menyebabkan sang putri melarikan diri..." terang Gedang.
"Kasihan sang putri..." desis Satria.
"Ya. Ternyata aku tak bisa merubah jalan hidup sang putri sejauh ini. Di masa lalu ia juga mengalami hal ini. Tapi ada sedikit suka cita yang kurasakan karena bukan sang pangeran yang menyebabkan malapetaka pada diri sang putri..."
"Aku belum sepenuhnya mengerti apa yang kau ucapkan."
"Seharusnya penyerangan ke istana Sungai Serut dipimpin olehmu sang pangeran. Kau yang harusnya bertanggung jawab atas penyerangan itu yang mengakibatkan dirimu harus diusir oleh sang raja keluar dari istana. Kemudian Putri Gading Cempaka membuat sumpah akan membalaskan dendamnya pada orang yang bertanggung jawab atas kematian keluarganya..." Gedang menceritakan semua yang dialami Satria dan Gading Cempaka.

KAMU SEDANG MEMBACA
BANGSAT
De TodoGedang tak habis pikir kenapa orang tuanya sepertinya sangat menginginkan ia menyukai laki-laki, padahal ia sendiri adalah seorang laki-laki juga. Hal itu bukan perasaan Gedang saja. Kenyataannya orang tuanya lebih menyukai kalau dirinya membawa tem...