Interlude #2 : Rachel & Samuel

2.7K 87 2
                                    

Rachel POV

Aku tengah duduk sendirian di sebuah taman kota, tidak berani pulang ke rumah. Nanti apa kata Mama kalau melihat putri sulungnya bolos sekolah, jadi lebih baik menyendiri di sini.

Dadaku sesak seperti ada sebuah tangan yang meremasnya kuat. Hatiku sakit seperti ada ribuan jarum yang menusuk tepat ke ulu hati. Rasanya perih seperti luka yang disiram dengan cuka. Semua kejadian pagi ini terus berputar di otakku, seolah sebuah film yang baru playing di bioskop. Aku sungguh tak menduga bahwa semuanya akan menjadi runyam seperti ini.

Tadi saat Sam memintaku untuk mengulangi apa yang kuucapkan, hatiku menjerit 'Aku mencintaimu', tetapi kepalaku malah menggeleng. Entah apa yang salah.

Tadi saat Sam mengira aku mempermainkannya, hatiku menjerit 'Tidak' dan ingin menjelaskannya, tetapi tubuhku malah diam membeku.

Come on! Di mana Rachel yang tangguh dan berani? Seorang Rachel Simsons yang jago taekwondo menangis hanya karena seorang pria? Mungkin semuanya menganggap aku lemah atau apalah. Namun, bukankah menangis itu manusiawi?

"Hei!"

Aku hanya diam. Aku tidak tahu siapa yang menegur. Namun, jujur ... aku sedang tidak ingin diganggu.

Tiba-tiba terdengar suara decitan kursi, seseorang yang menegur tadi duduk di sampingku. Aku pun menoleh ke samping dan refleks menghela napas.

"Kenapa kau di sini? Apa kau mengikutiku, Jen?"

Jen tampak menyipitkan kedua matanya ke arahku. "Aku tidak mungkin membuang waktuku hanya untukmu, Rachel. Entah ini kebetulan atau apa, tetapi yang jelas aku memang berniat bolos hari ini, bahkan aku belum menginjakkan kaki di sekolah sama sekali. Jadi, bagaimana mungkin aku mengikutimu?"

Aku menghela napas lagi lalu menatap lurus ke depan. "Kalau kamu memang tidak berniat mengikuti, kenapa karena kamu duduk di sini?"

"Ini tempat favorite-ku. Dan jika kamu hendak sendiri, kamu bisa pergi dari sini."

"Kenapa tidak kamu saja yang pergi? Aku yang lebih dulu di sini."

Jen menatapku dengan tatapan tak suka dan aku tidak peduli.

"Karena kau lebih dulu di sini bukan berarti kau berhak mengusirku."

Aku kembali menatap Jen dan memasang wajah sedatar mungkin. "Dan bukan karena ini tempat favorite-mu kau bisa seenaknya."

Jen berdecak lalu memakai headphone-nya. "Bangku ini milikku, Rachel. Kamu yang menumpang harusnya tahu diri."

Aku membulatkan mata. Astaga! Ingin rasanya menarik rambut panjangnya itu, gerutuku dalam hati. Aku pun mencoba sabar dan berkata "Ini tempat umum, siapa saja boleh duduk di sini. Lagipula di sini tidak tertulis milikmu."

Jen menyeringai lalu melipat kedua tangannya. "Siapa bilang tidak ada? Berdirilah dan lihat sendiri."

Sejujurnya aku sedikit enggan membuktikannya karena bisa jadi dia menipuku dan berteriak 'ZONK', tetapi aku juga penasaran. Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk melihatnya. Mataku seperti hendak melompat keluar dan bergelinding di rerumputan ini saat melihat goresan-goresan yang membentuk tulisan 'Jennifer Anlikie' tepat di bagian yang kududuki tadi.

"See," ucapnya terkesan sombong, "jadi minta maaflah pada tuan rumah sekarang," pintanya.

"Tidak akan. Lagipula hatiku sedang berduka dan kamu malah semakin membuatku kesal."

Seketika raut wajah Jen berubah menjadi datar. "I don't care about your problem." Setelahnya dia menyetel lagu Playing with fire yang dinyanyikan girlband asal korea—BlackPink.

"Aku ingin mengikuti saranmu, tetapi semuanya malah kacau seperti ini," gumamku sambil duduk kembali.

Jen hanya diam. Sepertinya dia tidak mendengarku karena dia sengaja menaikkan volumenya.

"Hatiku sakit mendengar Sam mengira aku mempermainkannya. Diriku juga kecewa karena Sam seorang perokok. Dia bahkan tahu aku sangat membenci rokok."

Air mataku mulai menetes lagi. Astaga! Kenapa aku harus menangis di depan Jen? Dia pasti menertawakanku, batinku. Namun, apa daya? Air mata ini tidak bisa dibendung.

"Apa dia seperti ini karena aku?" tanyaku pada diri sendiri.

Jen menekan pause untuk memberhentikan lagunya. Lantas melepas headphone-nya dan menatapku.

"Sejujurnya aku tak peduli. Namun, yang perlu kukasih tahu adalah William and his friends are bad boy. Bukan seperti apa yang kamu pikirkan."

"Namun, selama aku mengenalnya, dia tidak terlihat seperti bad boy, Jen," rengekku.

Samuel Dirgara adalah laki-laki paling baik yang pernah kukenal, bahkan aku merasa beruntung karena dicintainya, tetapi di sisi lain aku juga takut.

"Dasar payah! Dasar lemah! Listen to me, harusnya kamu bersyukur karena kamu sudah lihat sikap aslinya sebelum kalian menjalin hubungan."

Aku menggeleng. "Aku mencintainya, Jen." Aku mengigit bibir bawahku untuk menahan tangisku.

"Ya sudah, terima apa adanya saja," ucap Jen santai lalu kembali memakai headphone berwarna putih susu.

Hatiku mencelos mendengarnya. Kenapa dia selalu menganggap semua masalah itu gampang? Dia pasti belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta.

"Ini tidak segampang kamu mengucapkannya, Jen. Apa kamu tidak pernah merasakan yang namanya cinta sama sekali?" protesku.

Jen tersenyum masam, lalu kembali menyetel lagunya. "Sudah dari lahir aku tidak merasakan yang namanya cinta."

Aku terdiam mendengarnya. Rupanya benar. Aku segera menghapus air mata sialan ini dengan kasar lalu melihat Jen.

"What do you mean?"

"Aku sedang tidak mood membahas masalah ini dan aku tidak suka membahas masalah pribadi dengan orang asing."

"Bukankah kita teman?"

"Really?" tanya Jen dengan senyum remeh.

Aku menghembuskan napas berat. "I will go. Aku akan menerima beasiswa untuk sekolah di Belanda."

Jen mengerutkan keningnya tanda bingung. "Beasiswa? Belanda? Tetapi, kenapa?"

"Sam sudah membenciku. Jadi, untuk apa aku tetap di sini? Sebaiknya aku memikirkan masa depan," lirihku. Aku juga tidak tahu apakah jalan ini benar atau tidak. Aku dilema. Siapa pun tolong bantu aku agar tetap bisa berdiri.

Jen tampak menggeram kesal. "Stupid!" umpatnya, "kau menerima beasiswa itu untuk melarikan diri dan kuyakin Sam tak tahu akan hal ini. Kau mau pergi dengan masalah yang belum selesai itu, Rachel?"

Aku hanya diam lalu berdiri. "Aku pergi dulu. Bye!" Aku benar-benar pergi kali ini dan Jen juga tidak mencegahku.

TBC

***

Siapa yang setuju Rachel menerima beasiswa ke Belanda itu? Berikan alasannya ya.

Thank you.

SevenTeen ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang