Chapter 38 - Exaggerate, huh??

2.7K 89 1
                                    

Playlist : That's What I Like - Bruno Mars 🎶

***

"Chyntia .... I have a bad news for you. This is about your prince, William," ujar Cindy.

"What's happen? He's fine, right?"

"Very bad," jawab Cindy lalu menghela napas. "William mengalami kecelakaan di Miami dan saat ini William dinyatakan koma."

Chyntia membulatkan matanya lalu spontan berdiri. "Koma???"

Cindy mengangguk. "Itu semua karena Jen—si singa rabies itu."

Chyntia mengepalkan tangannya dan matanya tampak memerah karena diliputi amarah. "Dasar, bitch!"

"Kudengar Jaz dan Vivian menyusul ke Miami. Apa kau juga akan ke sana?" tanya Cindy dengan senyuman miring.

"Ya, pergilah sana. Dan kuharap lama atau lebih baik jangan kembali lagi. Biar aku yang berkuasa di sini," batin Cindy.

"Of course. Sudah cukup kesabaranku. Selama ini aku diam saja karena mereka pergi berdua, tetapi kali ini tak akan kuampuni dia karena telah mencelakai William," ucap Chyntia berapi-api.

"Good, Chyntia. Kau memang harus memberinya pelajaran dan aku mendukungmu dari sini."

"Cindy, carikan tiket pesawat ke Miami sekarang. Aku mau malam ini juga aku berangkat."

"Ok, Chyntia," jawab Cindy senang.

***

"Jaz ...."

Jaz menoleh saat telinganya menangkap suara kecil Vivi yang memanggilnya. "Kenapa?"

"Sebenarnya aku belum pernah pergi sejauh ini. Biasanya aku berpergian dan itu masih di kota Los Angeles."

"Kalau begitu, nikmatilah perjalanan ini. Anggap saja sedang liburan."

Vivian menggeleng. "Mana bisa ini disebut liburan jika keadaannya genting seperti ini, Jaz."

Jaz menghela napas lalu mengelus puncak kepala Vivian. "Lalu, apa masalahnya?"

Vivian menunduk. Tiba-tiba saja kakinya yang bersembunyi di balik sepatu boots berwarna cokelat lebih menarik dilihat.

"Aku hanya takut kau meninggalkanku sendirian di sini. Ini tempat asing dan aku buta akan kota Miami."

Jaz berdecak tak suka. "Kau gila jika berpikiran aku akan meninggalkanmu. Dengar, kau pergi bersamaku maka kau tanggung jawabku, jadi mana mungkin aku membiarkanmu jauh dari jangkauanku, bahkan aku tidak akan membiarkan barang secuil pun menyentuh kulitmu. Paham?"

Vivian tersipu mendengar penuturan Jaz yang terkesan berlebihan. Dia hanya mengangguk pelan tanpa niat untuk mengangkat kepalanya.

"Mau sampai kapan kau menunduk seperti ini, Vi? Apa lehermu tidak sakit?"

Jaz lalu meraih kepala Vivian dan menyandarkannya di bahunya. Vivi yang terkejut dengan kejadian tiba-tiba ini hanya bisa diam. Jaz menoleh dan seketika khawatir.

"Astaga! Wajahmu kenapa memerah seperti itu? Apa kau sakit?"

Vivian bernapas lega karena Jaz mengira dia sakit. Dia malu kalau sampai Jaz menyadari dampak yang membuat pipinya merah merona seperti ini.

"Ti-tidak apa, Jaz. Kau tidak perlu berlebihan begitu."

"Berlebihan, huh?! Aku khawatir padamu, Vivian," gerutu Jaz.

Vivian tersenyum kecil mendengarnya. "I'm fine. Jadi kau tak perlu khawatir, oke? Sepertinya aku mau tidur sebentar,"ucap Vivian sembari ingin menjauhkan kepalanya dari bahu Jaz, tetapi Jaz malah menahannya.

"Tidurlah dipundakku. Aku akan menjagamu."

Vivian terkekeh lalu kembali bersandar di pundak kiri Jaz.

***

Jen baru saja menghabiskan susunya dan terlonjak kaget saat menemukan Morgan duduk di depannya.

"Hai," sapanya ramah. Tetapi, Jen malah memasang wajah datar dan membuang muka.

Entah hilang ke mana rasa bersalahnya terhadap Morgan sebelum William masuk rumah sakit. Tetapi, rasanya Jen ingin menjauh dari Morgan semenjak pembicaraan mereka waktu itu di ruangan William.

"Jen .... Are you okay? Jangan terlalu memikirkan dirinya. Sebaiknya kita kembali ke apartemen bersamaku, kau harus istirahat, princess."

Jen seketika berdiri sambil memukul meja dengan keras membuat semua penghuni kantin menatap ke arah mereka. Morgan yang terkejut melihat reaksi Jen hanya dapat menutup wajahnya dengan sebelah tangan agar tidak ada yang mengenalinya.

"Di mana otakmu, hah?! Adikmu sedang merenggang nyawa di sana dan kau hanya memikirkan dirimu? Kau benar-benar pria egois yang pernah kutemui, Morgan! Dengar, aku sungguh-sungguh menyesal karena sudah termakan dengan kebaikan palsumu. Oh ... atau jangan-jangan kau penyebab William kecelakaan? Karena kau tak terima bahwa aku mencintainya, begitu?!"

Morgan berdiri dan menggeram tak suka lalu mencengkram tangan Jen dengan kuat sehingga gadis itu sedikit meringis. "Aku memang cemburu padanya, tetapi aku tidak sepicik itu, Jen! Kau tidak bisa menuduh aku yang melakukan ini! Ini semua bukan atas kemauanku!"

"Lepaskan!" teriak Jen sembari mencoba melepaskan tangannya, tetapi Morgan malah makin mengeratkan cengkramannya.

"Morgan, lepaskan Jen!"

Morgan spontan melepaskan tangan Jen lalu berbalik dan menyipitkan matanya saat melihat Jaz berdiri tak jauh dari mereka bersama seorang gadis cantik di sebelahnya. Jen segera berlari ke arah Jaz dan juga Vivian lalu tanpa sadar memeluk Jaz dengan erat. Morgan yang melihatnya bertambah marah, lalu segera menghampiri mereka. Vivian hanya menunduk saat melihat pemandangan menyakitkan di hadapannya.

"Jen ... jangan memeluknya!"

Jen melepaskan pelukannya lalu menyipit tak suka pada Morgan. "Kau tak berhak melarangku!"

Morgan berdecih tak suka. "Kau milikku, Jen. Kau sendiri yang sudah memilihku."

Jen menghela napas lalu menggeleng. "Terserah apa katamu!" ucapnya tak acuh lalu berjalan meninggalkan mereka semua.

Morgan lalu beralih menatap Jaz tajam dan mendorong dada Jaz dengan telunjuknya.

"Aku peringatkan agar kau menjauhi milikku. Aku tak peduli siapa dirimu dan seharusnya kau memikirkan perasaan kekasihmu di saat wanita lain memelukmu, bukan malah membalas pelukannya."

Setelah mengucapkan kalimat pedas itu, Morgan segera beranjak untuk menyusul Jen.

"Oh My! Sikap iblisnya tak pernah berubah," gumam Jaz.

"Jaz ...," panggil Vivian dengan suara kecilnya sambil menarik kemeja hitam Jaz.

Jaz menoleh lalu tersenyum kecil pada kekasihnya. "Maafkan aku, ya. Kamu tidak perlu mendengar perkataan Morgan. Aku membalas pelukan Jen karena rasa simpati saja."

Vivian mengangguk pelan. "Tidak perlu meminta maaf. Aku mengerti."

Jaz mengusap pipi Vivian lembut. Membuat sang gadis meleleh seketika.

"Jika kau mengerti, raut wajahmu tidak akan sendu seperti ini. Sudahlah ... sebaiknya kita Jenguk William sekarang."

Vivian hanya mengangguk lalu berjalan dengan kepala menunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipinya.





TBC

***

Jangan lupa tinggalkan jejak disini. Tinggal tekan simbol ⭐ dibagian bawah sudut kiri.

Terima kasih.

SevenTeen ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang