Jen menghela napas lalu memijat keningnya. Dia tengah duduk bersandar di kepala ranjangnya dan membiarkan lampu kamarnya mati. Kepalanya terasa pening memikirkan permasalahannya dengan William. Apakah keputusan yang diambilnya tidak akan dia sesali nanti?
"Apa kamu bahagia sekarang?"
Jen terperanjat dan langsung menyalakan lampu. Kedua matanya terbelalak kala melihat William ada di dalam kamarnya. "Untuk apa kamu ke sini? Dan bagaimana caranya kamu bisa di sini?" tanya Jen panik.
William menaikkan sebelah alisnya, lalu menunjuk pintu balkon yang terbuka. "Lain kali kunci dulu pintunya," tegur William yang membuat Jen mengedip-ngedipkan kedua matanya.
"Ka-kalau begitu ... kamu keluar saja dulu lalu aku kunci pintunya," ucap Jen gugup.
William terkekeh pelan. "Enak saja! Sudahlah, kenapa malah jadi membahas ini." William menghela napas lalu berjalan mendekat ke arah ranjang Jen.
Jen spontan bergerak menyamping sehingga dia sudah duduk di ujung ranjang. "Jangan mendekat!" pinta Jen sembari menunjuk William dengan telunjuknya.
"Apa kamu bahagia Jen setelah memutuskan hubungan ini?" tanya William dengan suara seraknya.
"Of course. Aku senang karena bisa terbebas dari pria bastard sepertimu."
William berdecak tidak suka lalu menggelengkan kepalanya. "Gadis semanis dirimu kenapa suka sekali mengumpat, heh? Tidak bisakah kau bersikap manis layaknya tuan putri?"
Jen mendengus mendengar pertanyaan William. "In your dream, jerk!"
"Ck! Tadi bastard sekarang jerk. Apa tidak ada sebutan yang lebih baik dari kedua kata itu?"
"Tidak, karena kedua panggilan itu cocok untukmu!" bentak Jen.
William sudah menaiki ranjang Jen dan itu semakin membuat Jen ketakutan. William bisa melihatnya dari sorot mata Jen. Jen menggigit bibir bawahnya dan mulai melafalkan doa dalam hati. Tubuhnya mendadak kaku dan tidak bisa digerakkan.
"Shit! Kenapa kamu takut begitu? Seperti anak perawan saja," ucap William tanpa sadar.
Jen melotot ke arah William dan itu membuat William sadar akan ucapannya. Tiba-tiba dia tersenyum miring dan itu membuat Jen merinding.
"Are you still a virgin?"
"Tidak!" jawab Jen cepat. Dia takut kalau dia menjawab 'iya', maka William akan menertawakannya, mengingat kalau mereka tinggal di negara bebas dan biasanya gadis seumuran dirinya kebanyakan sudah tidak virgin lagi.
William tersenyum meremehkan. "Jangan berbohong, baby."
Jen menggeleng keras. "Aku tidak bohong! Aku hanya tidak sudi disentuh oleh pria bastard sepertimu."
William tersenyum geli lalu semakin mendekatkan tubuhnya. Dia lalu mendekatkan bibirnya ke daun telinga Jen dan berbisik di sana. "Perlu kuingatkan bila aku yang merebut ciuman pertamamu, my girl?"
Jen meneguk ludahnya kasar dan kali ini jantungnya berdetak lebih cepat. Jen merutuki kebodohannya dan kali ini dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
William menjauhkan tubuhnya lalu duduk bersila di depan Jen. Matanya menatap Jen dengan intens membuat bulu kuduk Jen spontan meremang.
"Apa perlu aku mengajarimu itu juga sebelum kau menjadi istriku?" tanya William sambil memasang tampang innocent.
"Aku tidak akan pernah menjadi istrimu!!!" teriak Jen histeris. Dia beranjak dari duduknya lalu melangkah mundur dan berjalan ke arah pintu.
"Mau kemana, baby? Pembicaraan kita belum selesai," tanya William datar.
"Pergi jauh dari hidupku!" Setelah mengucapkan itu Jen langsung keluar dari kamarnya. William yang mendengar itu hanya bisa menghela napas lelah.
Jen terus berlari dan tanpa sengaja menabrak tubuh tegap seseorang. Saat dia mengetahui bahwa itu Morgan, langsung saja dia memeluknya.
"Hei! What's going on, princess?" tanya Morgan heran karena tadi dia mendengar suara keributan dari dalam kamar Jen dan sekarang gadis itu memeluknya.
Jen melepaskan pelukannya lalu mendongak untuk melihat wajah Morgan. "William masuk ke kamarku," lirih Jen.
Seketika rahang Morgan mengeras dan kedua tangannya terkepal kuat. "Apa dia menyentuhmu Jen? Apa dia menyakitimu? Katakan padaku! Biar kuhabisi dia sekarang juga."
Jen menggeleng lalu mengelus tangan Morgan yang terkepal. "No! Dia tidak melakukan apa pun dan jangan bicara seperti itu, Morgan. Bagaimanapun dia adalah adikmu."
Morgan menghela napas lalu menangkup kedua pipi Jen. "Baiklah .... Kamu tenang saja karena aku akan selalu menjaga kamu."
Jen menyentuh telapak tangan Morgan yang berada dipipinya lalu mengangguk.
Morgan lalu menurunkan tangannya. "Sekarang kita cek kamar kamu," ajak Morgan.
Jen menggeleng. "Aku mau pindah kamar saja. Di sana tidak aman."
"Tidak akan ada bedanya, princess. Jika dia bisa menerebos ke dalam kamarmu, tidak menutup kemungkinan bahwa dia bisa menerobos ke kamar yang lainnya."
Jen mengerucutkan bibirnya lalu mengangguk. "Fine! Kita periksa sekarang."
Morgan tersenyum lalu merangkul pundak Jen. Mereka berdua berjalan ke arah kamar Jen. Jen menghembuskan napas kasar sebelum membuka pintunya. Mata memicing begitu pintu terbuka dan terdengar helaan napas Morgan di belakangnya.
"Dia sudah pergi."
Jen melangkahkan kakinya masuk lalu memeriksa sekitar kamarnya. Dia mendekati pintu balkon yang terbuka.
"Dia lewat sini," ucap Jen pada Morgan.
Morgan segera menghampirinya, lalu mendekati pagar pembatas balkon dan melihat ke bawah. Terlihat sebuah tangga yang digunakan William untuk naik ke atas. Morgan langsung menarik Jen masuk dan mengunci pintunya.
"Lain kali kunci pintunya jika tidak mau hal ini terulang lagi," ucap Morgan datar.
Jen mengangguk lalu berjalan ke ranjangnya. Morgan menghampiri Jen lalu mengecup pucuk kepalanya lembut.
"Tak perlu khawatir lagi. Sekarang sebaiknya kamu tidur karena aku masih ada pekerjaan yang belum tuntas."
Jen pun berbaring dan Morgan menarik selimut hingga batas leher Jen.
"Sleep tight, princess," ucap Morgan sebelum menutup rapat pintu kamar Jen.
TBC
***
jangan lupa vote dan comment-nya ya, readers...
Contact :
Instagram : (at)funggzz_
KAMU SEDANG MEMBACA
SevenTeen ✅
RomanceCOMPLETED ✅ DON'T COPY MY STORY!!! Mohon maaf sebelumnya apabila ada kesamaan nama tokoh atau tempat. Mungkin hanya kebetulan karena ini murni inspirasi dari Author. ---------------------------------------------------- Siapa yang tidak mengenal Jenn...