Chapter 20 - Rivalry

3.4K 112 1
                                    

Haloooo.... I'm back.... 😁

Siapa disini yang setia menunggu update-an SevenTeen???

Bagi yang belum baca cerita pertama author "My Destiny is You"... Mampir yukkk...

Oke langsung saja baca SevenTeen...

***

Vivian lari terbirit-birit saat mendengar suara bel pintu yang terus berbunyi. Vivian berusaha mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan. Dia mengintip dari Jendela dulu untuk melihat siapa yang bertamu dan matanya membelalak kaget saat melihat siapa yang datang. Buru-buru Vivian merapikan penampilannya dan membuka pintu perlahan-lahan.

"Hai ...."

Vivian tersenyum kikuk lalu membuka pintunya lebar-lebar. "Mari masuk," ucapnya.

Orang itu tersenyum ramah lalu masuk ke dalam rumah Vivian. Vivian memeriksa ke luar rumah dulu dan tidak melihat siapa pun. Berarti orang itu datang sendiri. Vivian menghela napas lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, di mana tamunya tengah duduk. Vivian berjalan ke arah dapur dan tak lama keluar dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan cookies. Vivian menyajikannya di atas meja lalu duduk di seberang tamunya.

"Silakan diminum," ucap Vivian mempersilakan.

"Nanti saja. Ada yang ingin aku bicarakan."

Vivian mengerutkan keningnya lalu bertanya, "Apa yang ingin kau bicarakan, Jaz?"

"Kamu 'kan dekat dengan Jen. Aku mau kamu mendekatkan kami berdua."

Vivian melongo tak percaya. Lalu, menepuk kedua pipinya untuk menyadarkan bahwa apa yang baru didengarnya bukan mimpi.

"Aku tahu apa yang ada di dalam otak kecilmu itu. Ya, aku menyukai Jen dan aku ingin merebut Jen dari William."

Vivian segera menutup mulutnya sebelum ada nyamuk atau sejenisnya masuk. Matanya berkaca-kaca. "Kenapa tidak kamu sendiri saja yang mendekati Jen?"

"Aku tidak bisa. William bisa tahu nanti dan akan lebih baik kalau aku mendekati dia dari dalam."

"Tetapi, itu sama saja kamu berkhianat pada William!" protes Vivian.

Jaz melipat kedua tangannya lalu menyandar pada sofa. "I don't care .... Asal kamu tahu, aku juga ingin membantu Jen lepas dari William. William hanya memperalat Jen dan aku harus bertindak sebelum Jen menyerahkan hatinya pada William. Kau tahu, William itu akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan aku tidak mau Jen menderita karenanya."

Vivian segera menghapus air matanya yang jatuh sebelum Jaz melihatnya. "Bukankah William itu temanmu, lalu kenapa kamu malah menjelek-jelekan dia?"

Jaz menghela napas lalu memijat pelipisnya. "Kamu masih belum paham, ya?"

Vivian menggeleng cepat.

"Walaupun kami teman, aku tentu boleh menentang keinginannya yang menurutku bisa merugikan orang lain. Aku hanya mau melindungi gadis yang kusukai."

"Kalau tadi orang yang dipilih William bukanlah Jen. Apa kamu akan membiarkan orang lain jadi boneka William?"

Jaz tertawa kecil lalu menggeleng. "Jadi, apakah kamu mau membantuku? Jika kamu memang menganggap Jen temanmu, maka kamu pasti bersedia."

Vivian tampak berpikir sejenak sambil memejamkan matanya.

"Siapa saja yang sudah setuju?"

Jaz tersenyum kecil.

***

Jen membuka pintu kamar William perlahan lalu mengintip sedikit. Terlihat William sedang berdiri di balkon membelakanginya. Jen segera membuka pintu itu lebar-lebar. Dia melangkahkan kakinya perlahan.

"Untuk apa kamu ke sini?"

Suara dingin itu menghentikan langkah Jen seketika. Jen menghela napas lalu duduk di atas ranjang king size William.

"Kamu benar-benar marah ya sama aku?"

"Tidak!"

Jen memejamkan matanya sembari memijat pangkal hidungnya. "Lalu, kenapa kamu mendiamkanku?" tanya Jen frustrasi.

William menjatuhkan puntung rokoknya lalu menginjaknya. William berbalik sambil menatap Jen tajam.

"Sejak kapan kau merokok William?" tanya Jen sambil bersidekap.

"Bukan urusanmu."

Jen memiringkan kepalanya sedikit. "Bukan urusanku, heh? Baiklah ...." Jen lalu berdiri dari duduknya hendak pergi. "I Will go." Jen berjalan ke arah pintu, tetapi tiba-tiba sepasang tangan kekar mendekapnya erat dari belakang.

William meletakkan dagunya di bahu Jen sambil menghirup wangi khas Jen. "Stay with me ...."

Jen melepaskan tangan William lalu membalikkan badannya. "Apa maumu, William? Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di dalam benakmu."

William menghela napas. "Aku tidak mau kehilangan kamu, jadi jangan pernah berpikiran untuk pergi dariku. Aku tidak akan pernah mempermudahnya."

Seketika jantung Jen berdetak tiga kali lipat lebih cepat dari biasanya.

"Kenapa, William?" tanya Jen frustrasi. "Apa kamu mencintaiku?"

William tersenyum masam lalu mendekatkan wajahnya. Jen membulatkan matanya, tetapi perlahan matanya tertutup. William mencium Jen lembut, sangat lembut ....

Setelah keduanya kekurangan oksigen. William segera menjauhkan dirinya.

"Aku tidak tahu kenapa, tetapi kamu sudah menjadi canduku, Jen." William menarik Jen ke dalam pelukannya.

Jen masih diam membeku. Dia bingung dengan semuanya.

***

"Sabar ya, Vi. Aku tahu ini berat buat kamu," ujar Rachel sambil mengelus punggung Vivian.

Vivian tadi menelepon Rachel untuk menemaninya dan sekarang Rachel sudah ada di dalam kamar Vivian dengan Vivian yang menangis.

Vivian menggenggam tangan Rachel, berharap dia mendapatkan kekuatan dari sahabatnya. "Hel ... kenapa harus Jen yang Jaz sukai? Dan kenapa juga Jaz meminta tolong padaku? Rasanya sakit, Hel."

"I know ... Lagipula kenapa kamu tidak langsung terus terang saja pada Jaz tadi bahwa kamu sudah lama mencintainya."

"A-aku terlalu takut mendengar kenyataan secara langsung, Hel. Mendengar penolakan secara tidak langsung dari dia saja sudah membuatku hancur."

Rachel menghela napas kasar lalu meraih ponselnya. "Kalau begitu biar aku saja yang memberitahunya."

Vivian yang terkejut mendengar keinginan Rachel langsung merebut ponsel Rachel. "Jangan pernah kamu lakukan itu!"

Rachel mengacak rambutnya frustrasi. "Kenapa?!"

"A-aku juga ingin menolong Jen. Jen tidak baik berhubungan dengan William. Tetapi jika dia bersama Jaz, aku yakin dia aman. Untuk kali ini aku akan berkorban untuk dia karena Jen adalah temanku. Jen juga tidak seburuk yang orang kira."

"Bagaimana jika Jen sudah mencintai William?"

Vivian menghela napas lalu menegakkan tubuhnya. "Kita harus cari tahu dulu perasaan Jen terhadap William itu seperti apa sebelum kita menduga-duga."

Rachel mengangguk setuju. "Semoga saja kita belum terlambat."




TBC

***

Adoo... makin gaje ya?

Maaf ya.. author lagi kekurangan ide.

Contact?
Instagram : (at)funggzz_

SevenTeen ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang