"Halo, Uncle ...."
"...."
"Kenapa dia bisa ada di sini? Kenapa dia berani sekali menampakkan wajahnya lagi di hadapanku?" tanya Jen dengan raut wajah kesal. Dia tengah menyetir mobil menuju rumahnya.
"...."
"Ck! Persetan dengan perasaannya itu! I don't care. Uncle harus lebih tegas lagi padanya untuk tak mengganggu hidupku lagi. Aku sudah tak mau berurusan dengan keluarga Johansson. Gara-gara dia aku harus kehilangan-ah, lupakan! Yang jelas aku membenci pria itu apalagi dia beraninya datang ke kampusku."
"...."
Jen mengerutkan keningnya tak suka. "Bagaimana mungkin aku bisa tenang? Aku yakin dia akan meneror hidupku lagi"
"...."
"Ya, terserah Uncle saja. Yang jelas aku tidak mau bertemu dengan pria itu lagi."
"...."
Raut wajah Jen seketika berubah menjadi murung dan seseorang di seberang sana tak mungkin melihatnya. "Hm ... untuk apa aku memaafkannya? Tidak ada gunanya memberinya kesempatan kedua. Dia tidak akan bisa menyembuhkan rasa sakit ini."
"...."
"Ah, sudahlah .... Kenapa Uncle malah jadi membela dia? Pokoknya sudah kutegaskan ya bahwa aku tidak mau berurusan dengan kalian lagi. Aku sedang memulai hidup yang baru. Bye!" Jen mematikan sambungan teleponnya dan meletakkan ponselnya di atas dashboard. "Morgan Johansson ...," gumamnya lirih.
***
Mobil berwarna hitam mengkilat berhenti di halaman mansion seseorang yang baru pertama kali dikunjunginya. Morgan keluar dari mobil itu dan merapikan jas yang dipakainya. Kakinya melangkah menuju pintu besar bercat putih gading dan sedikit corak berwarna keemasan menghiasi. Morgan menekan bel yang terletak di sisi kiri pintu beberapa kali. Tak lama pintu terbuka, menampakkan seorang wanita dengan pakaian berwarna hitam putih khas seorang pelayan.
"Good evening .... Maaf, Tuan mau cari siapa, ya?"
Morgan menampilkan senyum menawannya. "Saya Morgan Johansson dan mau bertemu dengan Nona Anda. Apa dia ada di rumah?"
Pelayan itu mengangguk. "Nona Chyntia sedang ada di kamarnya. Mari masuk, Tuan, biar saya panggilkan."
Morgan lalu melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam rumah. Matanya sempat terpukau dengan interior mansion keluarga Hilbert.
"Silakan duduk, Tuan .... Saya akan memanggil Nona dulu," ucap pelayan itu mempersilakan.
Morgan mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Tak lama Chyntia menampakkan batang hidungnya dan wajahnya terlihat tegang. "Sedang apa kau di sini?" tanya Chyntia dengan nada tak suka.
Morgan tersenyum miring. "Lama tidak bertemu, Ms. Hilbert."
Chyntia mendengus kesal lalu duduk di seberang Morgan yang tampak duduk dengan gaya angkuhnya. Tak lama pelayan tadi membawakan dua cangkir the, lalu meletakkannya di atas meja bundar yang terletak di antara sofa yang diduduki Chyntia dan Morgan. Setelah itu, pelayan wanita pamit undur diri dengan sopan.
Morgan meraih cangkir tehnya lalu menghirup aroma wangi dari teh tersebut.
"Jadi, untuk apa kau kemari? Jangan basa-basi lagi. Aku lebih suka yang to the point saja."
"Sssstt ... perlakukanlah tamumu dengan baik. Biarkan aku menghabiskan teh ini terlebih dahulu," ucap Morgan santai.
Chyntia spontan memelototkan matanya. "Aku tidak punya banyak waktu. Tugas kuliahku sedang menumpuk."
Morgan menyesap tehnya perlahan setelah meniup-niupnya. "Ini semua pasti gara-gara kau terus saja melakukan hal yang bukanlah tugasmu sehingga kau terus saja mengabaikan pendidikanmu."
Chyntia mendengus kesal, lalu ikut menyesap tehnya. "Apa yang kau bicarakan, heh? Aku sungguh tidak mengerti."
Morgan terkekeh kecil lalu menunjukkan seringaiannya. "Aku di sini untuk bertemu dengan adik tersayangku."
Napas Chyntia tercekat. Dia berusaha mengendalikan dirinya, lalu menatap Morgan lekat-lekat. "Bicara apa kau sebenarnya?"
Morgan terkekeh kecil lalu menggeleng. "Apa kau baik-baik saja, Chyntia Hilbert?"
***
Jen melempar tasnya asal-asalan di atas ranjangnya lalu menatap keluar jendela.
"Kehadirannya membuat pikiranku menjadi kacau. Untuk apa lagi dia kemari? Akan lebih senang kalau William yang ada di sini. Aku sungguh membenci yang namanya Morgan Johansson. Gara-gara dia aku harus kehilangan cinta pertamaku. Tetapi ... tetapi ... ini semua bukan hanya kesalahannya. Aku turut andil dalam kecelakaan yang menimpa William karena akulah orang terakhir yang berkomunikasi dengannya. Aku sama sekali tidak menduga bahwa itu adalah pembicaraan terakhir kami."
Tak terasa cairan bening yang biasa disebut dengan air mata itu jatuh membasahi pipi mulus Jen. Jen mengusapnya kasar dan teringat akan ucapan William.
"Jen ... please .... Morgan mau mengirimku ke London dan jika aku sudah menapakkan kaki di sana, aku akan sulit kembali lagi ke LA."
Jen mengepalkan kedua tangannya lalu segera berjalan ke arah ranjangnya dan membongkar isi tasnya itu. "Astaga... di mana ponselku?" gerutunya sembari mengeluarkan semua barang dari dalam tasnya. Tiba-tiba dia teringat di mana dia meletakkan ponselnya terakhir kali. Jen segera berlari keluar kamar.
Jen menutup pintu mobilnya lalu segera mencari contact seseorang yang masih tersimpan di dalam ponselnya. Jen menimbang-nimbang apakah harus menghubungi orang itu apa tidak. Tetapi jika tidak, maka dirinya akan terus dikelilingi dengan rasa penasaran.
"Sial!" umpatnya kesal lalu segera mendial nomor tersebut.
Tuttt .... Tutttt ....
Jen masih menempelkan ponselnya di telinga sisi kanan, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Tuttt .... Tutttt ....
"Kenapa tidak diangkat?" gerutunya kesal lalu menjatuhkan bokongnya di atas sofa yang ada di ruang tamu.
"Halo ...."
Jen menelan ludah kasar saat mendengar suara berat itu. "Halo, Morgan ...."
TBC
***
Aloha....
Bagaimana menurut kalian chapter ini? Bagus tidak sih?
Author pengen tahu apa pendapat kalian... Jadi tolong dijawab ya pertanyaan diatas.
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
SevenTeen ✅
RomanceCOMPLETED ✅ DON'T COPY MY STORY!!! Mohon maaf sebelumnya apabila ada kesamaan nama tokoh atau tempat. Mungkin hanya kebetulan karena ini murni inspirasi dari Author. ---------------------------------------------------- Siapa yang tidak mengenal Jenn...