Taruhan

379 23 7
                                    

"Empat..."
"Lima..."
"Empattt..."
"Limaaaaa..."
"EMPAT!!"
"LIMA!!"

Gue dan Anya bukan sedang belajar berhitung. Melainkan bersikeras membenarkan ingatan masing-masing tentang sebuah adegan film. Tepatnya film Harry Potter. Lebih tepatnya lagi adegan Harry dan Cho Chang ciuman. Gue yakin ada di film ke-4. Sementara Anya sangat yakin ada di film ke-5.

Karena gue merasa benar, Anya juga gak mau ngalah. Akhirnya gue tantang dia taruhan. Anya mau-mau aja karena katanya dia yakin seyakin-yakinnya bahwa adegan itu memang ada di film ke-5, doi ngotot sampai ngomong dengan nada tinggi, bahkan sampai nampak urat lehernya. Tampaknya Anya gak takut kalah. Baiklah, kalo dia seyakin itu. Gak ada pilihan lain, gue harus meng-deal-kan taruhan. Toh yang ngajak gue sendiri. Gue langsung tegaskan pada Anya dari awal, jangan nyesel kalo kalah.

Taruhannya kalo dia menang dia minta belikan sepatu baru. Katanya dia ada ngincer sepatu yang baru di pajang di toko sepatu langgaganannya beberapa hari lalu. Sebaliknya, kalo gue yang benar gue minta seperangkat costume Captain America buat cosplay.

Gak menunggu waktu lama, setelah sepakat, tinggal nyalain DVD buat membuktikan siapa yang benar. Karena yang di cari adegan itu, nonton dipercepat. Pertama periksa film ke-4. Gak nyangka, gue mencium bau kekalahan lantaran dari awal sampai credit tittle gak ada penampakan adegan yang di maksud. Anya tersenyum jumawa, merasa sudah pasti menang. Padahal belum tentu juga adegan itu ada di film ke-5. Sapa tau malah di film pertama?

Namun malang tak bisa di tolak, takdir tak bisa dirubah. Kenyataannya gue kalah telak. Adegan itu memang adanya di film ke-5. Anya tersenyum lagi sambil natap gue dengan tatapan "Tuh kan, apa kata Anya..."
Hari ini Anya menang, hari ini juga dia ngajak ke toko sepatu, katanya takut gue lupa belikan. Gue mau jawab sejak kapan gue pelupa, namun gak jadi karena sebelum nya memang sempat lupa bayar makan.

Di toko sepatu Anya gak perlu nunggu aba-aba dari gue, dia langsung nyambar sepatu untuk di bayar di kasir. Gue menghela nafas, tapi gakpapa sih dari pada nanti dia berubah pikiran malah pilih sepatu lain yang lebih mahal? Bisa tambah banyak pengeluaran.

Gue ngeluarkan uang dari dompet buat bayar, namun di kagetkan dengan Anya malah bayar sendiri? Waduh... jangan - jangan Anya marah gara-gara gue kayak gak ikhlas buat bayar nih! Tapi masa karena itu aja dia marah? Kalo dipikir selama pacaran gue memang gak pernah liat Anya marah, apa lagi ke gue. Gue mikir lagi, masa iya karena lambat bayar ya... atau ada hal lain yang tanpa gue sadari malah memicu perasaannya untuk marah. Apa karena taruhan ini ya? Yang menang kan dia, masa menang marah? Harusnya yang kalah dong?

Sampai dalam perjalanan pulang mengantar Anya, gue diam seribu bahasa. Gak bercanda seperti biasa. Atau ngajak ngobrol gak jelas. Gue masih mikir salah gue apa... sementara diboncengan Anya gak kalah diam nya. Pikiran gue benar - benar jadi kacau!

Gak terasa ternyata sampai juga di depan rumah Anya. Anya mengulurkan tangan.
"Hah?" bengong gue belum konek atau gak ngerti apa arti uluran tangannya.
"Minta uangnya aja."
"HAH?" astaga... apa sih yang gak aneh dari pacar gue ini? Gue udah mikir panjang, dag dig dug bingung. Bahkan hampir stress mikir. Mengira dia marah. Pada akhirnya ternyata dia mikir cara minta mentahnya aja untuk uang sepatu tadi. Waduh... Anya - Anya...

Aku dan Anya [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang