Di Gramedia

190 21 7
                                    

Pukul delapan pagi gue terbangun dengan pemandangan tenda kemping Radith terbentang luas dalam kamar bak sarang laba-laba raksasa. Radith memang aneh, gue tau itu. Tapi apa harus dia tidur bertenda padahal jelas-jelas ini dalam kamar? Kalo pun harus menggunakan barang semacam tenda, kenapa gak pake kelambu aja? Oh, mungkin Radith gak punya. Kalo itu alasannya ya bisa di maklumin. Tapi apa dia pikir kamar gue berbahaya hingga harus membangun tenda demi melindungi diri dari serangan hewan buas dan beracun semacam harimau, singa, lipan, kalajengking, ular, dan sebangsanya. Gak sekalian nyalain api unggun Dith?

Sepertinya gue harus membuat peraturan baru, jangan memasang tenda kalo mau nginap di rumah. Apa lagi jangka berapa lama Radith nginap disini belum ketahuan, masa tiap malam dia makan tempat dengan tenda ajaibnya? Mengganggu kenyamanan hidup dalam kamar aja. Ya, gue harus mengatakannya, mau gak mau, suka gak suka. Peduli amat dia nurut atau gak. Kalo gak suka, dia tinggal angkat kaki dari rumah gue, dan misi gak jelasnya, batal!

Radith keluar tenda dengan wajah cerah merona. Dan gue tau apa yang harus gue katakan. Bukan, bukan 'selamat pagi sayang'. Tapi...

"Dith, begini..."
"Gak usah Say, gue udah bawa air panas buat bikin kopi sendiri."

HAH? Yang nawarin ngopi siapa? Dengan pedenya dia ngomong soal kopi. Gue garuk-garuk alis. Dan ngelus-ngelus hidung. Sabar... sabar...

Radith ngeluarin termos bawaannya, lengkap dengan kopi sachet-an dari tas kempingnya.

"Dith."
"Kenapa? Mau juga? Ntar gue bikinin sekalian."

Buset! Masih aja seenak udel nyimpulin sendiri padahal gue belum ngomong.

"Gak, langsung aja, sampe kapan loe mau tidur disini?"
"Sampe semua yang gue pengen tahu dari pemantauan ini selesai." Radith menyesap kopinya yang masih panas sehingga membuatnya menjulur-julurkan lidah, kepanasan.

Kayaknya kalo gue ladenin, ini gak bakal selesai. Daripada gue tambah gila menghadapi mahluk menjengkelkan satu ini. Gue memilih mandi dan pergi menemui Anya...

Masalahnya Radith malah gak mau pergi. Dia masih mau tinggal disini, katanya daripada dia ikut jalan? Mendengar itu ya memang lebih baik dia di rumah gue. Toh gak ada barang berharga yang bisa dia curi. Lagian, orang sekaya dia, mau nyuri apa dari orang semiskin gue? Yang penting gue bebas sejenak dari dia.

Kayaknya soal Radith tinggal di rumah gue harus dirahasikan dari Anya. Daripada pacar gue yang ajaib itu marah gak jelas. Gue gak mau aja akibat mahluk setingkat Radith, hubungan gue dan Anya menjadi kaku, berantakan, kemudian berakhir...

Sesampainya di rumah Anya, gue langsung ngajak dia jalan ke Gramedia. Gue pengen liat-liat novel dan komik, sapa tau khilaf borong. Namun sebelum pergi, Jingga nagih janji soal ngajak dia. Terpaksa gue tolak lagi. Jingga merengut lagi. Gue janji lagi di lain hari aja.

Kalo dipikir-pikir, ternyata ini kali pertama gue bawa Anya ke Gramedia. Dan ini membuat jantung gue deg-deg-an hati tak tenang. Apa lagi kalo bukan karena takut Anya kumat dan bikin malu. Tapi moga aja gak ya, hehe.

Merahasiakan sesuatu memang bukan keahlian gue. Termasuk merahasiakan dari orang yang gue sayang. Itu membuat gue bisu, gak banyak ngomong. Seperti sekarang, gue banyakan diam sambil milih komik dan novel. Dan Anya bukan cewek bodoh meski otaknya ajaib. Dia membanya kelainan gue hari ini...

"Say... kamu halangan?"

GUBRAKKKKK!

HALANGAN APA ANYA? GUE KAN COWOK!!

"Haha, becanda kamu... ya gak mungkin lah."
"Masa? Habis kamu kayak lain aja gitu hari ini."
"Lain gimana, aku tetap Say." Gue ngeluarin dompet dan nunjukin KTP, "Nih, Say kan?" haha, gue tahu, bercanda gue yang ini garing banget, alias receh.

Anya menghela nafas.

Gue buru-buru memyambar beberapa komik dan novel, lalu membawanya ke kasir agar Anya gak banyak nanya, gue takut keceplosan jujur.

"Selamat siang. Mau beli Negeri 5 Menara juga?" tanya Mbak Kasir nawarin buku karya A. Fuadi yang fenomenal dan bahkan sekarang cetak ulang dengan cover baru. Sayangnya sebelum gue jawab, Anya nyeletuk.

"Mbak, cowok saya ini miskin. Bisa beli komik dan novel ini aja sudah untung. Gak usah di tawarin sebuah negeri, ya gak mampu beli lah."

Gue gelagapan sendiri, malu.

"Lagi pula, kenapa jual negeri di toko buku?" ujar Anya lagi menambah merah muka gue. Dan gue tahu apa yang harus dilakukan, meralatnya.

"Haha, maaf Mbak. Pacar saya ini memang suka becanda, yaudah Mbak ya. Makasih, hahah..."

Gue menarik Anya dibarengi dengan tatapan kasian dari Mbak Kasir...

Aku dan Anya [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang