Maaf Yang Tertunda Dan Logika Yang Bikin Lapar

214 10 4
                                    

Gue masih bingung liat sifat Jingga. Juga masih bingung apa iya gue harus minta maaf ke Anya, atau biarin dulu liat keadaan? Bukan karena gue gak mau mau minta maaf dan mengakui kesalahan. Tetapi apa harus? Ya memang gue sudah terlanjur (atau terpaksa) bilang 'baiklah' ke Jingga untuk minta maaf. Gue takut aja malah bikin malu diri sendiri (walo udah sering kena malu dari ulah Anya) ketika bilang maaf. Eh, mungkin aja Anya jawab, "Kamu salah apa emang?"

Nah, gak lucu kan jadinya? Makanya, urusan minta maaf ini harus dipertimbangkan dan dipikir secara mendalam.

Tapi sekali lagi, mungkin ini cuma akal-akalan gue aja yang males ngaku salah. Dan malah bilang perlu dipikir mendalam segala hanya untuk mengkaui kesalahan yang pada kenyataannya kesalahan itu memang ada di gue. Apa ini yang namanya ego terlalu besar? Padahal makin lama dipikir, itu sama sekali gak bikin perasaan menjadi lega. Sebaliknya, makin kepikiran dan sulit menemukan ketenangan sebab sesungguhnya, ketenangan ada ketika kita berani minta maaf atas kesalahan yang di perbuat, sengaja atau gak sengaja. Bukan malah mencari beribu alasan supaya gak disalahin. Itu tindakan yang tidak terpuji. Lebih gak terpuji lagi, sudah tau salah, kita malah mencari kambing hitam.

Selain itu, ada juga sebagian orang, atau mungkin sekarang kebanyakannya, menggampangkan masalah dan mengganggap asal minta maaf urusan selesai. Seringnya tipe seperti ini hobi ngulang kesalahan. Orang ini rajin janji tidak akan mengulang kesalahan. Namun kenyataan berkata lain, dia selalu mengulang dan terus mengulang hingga gak ada lagi yang percaya dengan janjinya.

Kalo gue, sekali minta maaf, beneran gak mau ngulang kesalahan itu lagi. Apa lagi kalo sudah janji. Lebih lagi gue seorang lelaki, yang harus memegang omongan.

Jadi jawaban untuk kesalahan gue cuma satu, minta maaf. Urusan Anya bilang apa nantinya, itu urusan lain. Yang penting gue sudah minta maaf, perasaan tenang, dan masalah selesai.

Tapi sepertinya permintaan maaf nya ditunda dulu sampai besok. Kelamaan mikir hari sudah malam. Gue bahkan gak kerja malam ini lantaran lupa waktu. Kasian teman gue, mau gak mau dia lembur. Astaga, bukan cuma lupa waktu, gue juga lupa makan, parah. Untung belum pulang, gue mampir ke warung dulu, beli nasi goreng. Setelah bayar, gue langsung pulang.

Sesampainya dirumah, gue merasa ada sesuatu yang ganjil, tapi gak tau apa. Gue masuk kamar dan baringan, memperhatikan langit-langit kamar yang sudah lama gak mendapat perhatian dari gue, halah!

Geruruk-geruruk.

Gue nengok kanan-kiri, barusan suara apa ya?

Geruruk-geruruk.

Ups, gue baru sadar itu suara dalam perut gue. Tapi kenapa sampe keluar suara gitu ya? Emm... apa gue masih lapar? Eh, ngomong-ngomong gue sudah makan belum ya? Logikanya perut bunyi tanda lapar, atau masuk angin. Tapi dari pada dibilang masuk angin, ini lebih terasa seperti lapar. Sebentar, gue ingat-ingat dulu... hemm... ah, entah kenapa berusaha mengingat sekuat apa pun gue gak mampu mengingatnya. Ingatan gue gak nyampe-nyampe.

Mau gak mau gue bermain dengan logika lagi. Pertama, perut gue bunyi yang gue rasa ini tanda perut kosong alias kelaparan. Kedua, setelah di ingat-ingat lagi, di warung tadi gue udah bayar, artinya gue sudah makan dong? Tapi kenapa gue masih merasa lapar? Apa gue lupa makan? Atau makanannya jatuh di jalan? Ah, sudahlah. Ribet mikirin ini aja, mending gue tidur dan besok minta maaf.

Aku dan Anya [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang