BAB 7

130K 13.4K 552
                                        

"Maybe for you, it doesn't matter. But, for someone, it's his world."

=================

SADENA mengusap puncak kepala adik perempuannya yang tekun menonton kartun di televisi, sambil berjalan menuju dapur dimana ibunya sedang memasak makan malam. Tas selempangnya ia taruh di meja makan, kemudian dia salim kepada sang ibu, Kanita.

"Pulangnya tumben cepet?" tanya Kanita, mencuci tangannya yang penuh minyak dan kemudian mengelapnya di celemeknya. "Mau makan apa? Mama masak banyak hari ini soalnya Adek ulang tahun."

Sadena melempar pandangan ke arah adiknya, Lulu, yang masih diam membatu di depan televisi. Tampak ada yang berbeda dari sang adik. Rambutnya yang biasa dikucir kuda kini dikepang dua, dengan pita di ujung atasnya. Kemudian Lulu memakai piyama, namun masih ada lekukan di piyama itu yang menunjukkan bahwa Lulu baru memakainya, seolah selama ini, adiknya memakai baju yang lain. Tapi karena terlalu lama menunggu, akhirnya, Lulu menggantinya.

Sadena tidak menyadari Kanita memanggil namanya hingga lengannya disentuh sang ibu.

"Ya?" tanya Sadena.

Kanita tersenyum. Kemudian dengan dagunya, dia menunjuk Lulu. Ibunya cukup mengerti dirinya untuk tahu apa yang sedang Sadena pikirkan, dan kadang, itu menyeramkan.

Sadena berjalan ke arah Lulu, berlutut di hadapan perempuan berumur sembilan tahun itu. Meski Sadena sudah berada di hadapan Lulu, perempuan itu tetap fokus menonton.

"Sopo Jarwo lebih ganteng dari Abang, ya?" tanya Sadena.

Lulu menggerutu, membalikkan posisinya hingga Sadena tidak mampu melihat ekspresi sang adik.

"Ini Abang pulang cepet, emangnya buat siapa?" tanya Sadena lagi, kali ini sedikit lebih keras dibanding yang seharusnya.

Jengkel, Lulu melihat ke arah Sadena, dan tangan mungilnya mendorong sang kakak menjauh.

"Lulu," peringat Sadena. "Kok gitu?"

Wajah Lulu semakin merasa bersalah, kesal, dan sedih menjadi satu. Perlahan satu isaknya muncul, kemudian disusul isakan lain, membuat Lulu memukul bahu Sadena sambil menangis kencang. Kanita muncul dan langsung memenangkan yang kecil. Sementara Sadena duduk di sofa yang tadi Lulu duduki, dan menghela napas keras.

"Percuma juga gue pulang cepet," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Rasanya pusing sekali mendengar sang adik menangis sekencang itu, lagi-lagi karena kesalahannya.

Lewat gesturnya, Kanita menyuruh Sadena untuk ke kamar dan itulah yang segera Sadena laksanakan. Tubuhnya yang remuk redam ia hempaskan di kasur, berada dalam posisi telungkup sekitar belasan menit, sebelum akhirnya berguling dan menatap langit-langit. Sadena tahu ini salahnya, namun egonya yang tinggi tidak ingin disalahkan seperti ini.

Sadena menarik ponselnya dari saku celana, mengecek kolom chat-nya. Nama Hana di baris paling pertama masih belum membalas pesan atau membacanya.

Sadena mengetikkan pesan kepada Hana.

Sadena: you don't want to break up, do you?

Itu pesan Sadena yang ke-39.

Menunggu sepuluh menit.

Tetap tak ada jawaban.

Sadena: han, kasih tau gue, gue harus apa?

Menunggu lagi. Kali ini, Sadena yakin bahwa Hana tidak akan membalas pesannya, seperti yang sudah-sudah, namun tanda bahwa pesannya dibaca membuat jantung Sadena seperti berlari di perlombaan sprint.

Hana: tell everyone the truth.

Sadena: han....

Hana: gabisa kan? ya udah.

Jantung Sadena mencelos.

Sadena: ya udah apa?

Hana: ya udah.

Hana: putus.

=================

Author Note

Mungkin karena masih awal, feel-nya belum kerasa banget. Tapi semoga ke depan, sudah bisa dibentuk ya feel-nya!

13 Oktober 2017

S: Sadena, Sandra & SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang