“Aku memutar ulang lagu yang kamu nyanyikan untukku, sampai aku bosan, sampai lagu itu tidak ada artinya lagi untukku.”
===================
SANDRA memainkan kuku jemarinya gelisah. Bukan hanya jemarinya, seluruh badannya mengatakan hal itu. Membuat Olip yang duduk di sampingnya merasa sangat risi. Maksud Olip, Sandra tadi hanya ke toilet sebentar karena kebelet pipis–kelakuannya yang super biasa dan membuat sahabatnya ini memaklumi. Tapi, memang ada apa di toilet hingga Sandra seperti ini. Ya paling, cuma ada seonggok tissue yang nyempil di lantai, kan? Masa ada cowok ganteng lewat?
“Kenapa sih, lo? Ayan?” tanya Olip setengah berbisik ketika batas kesabarannya habis melihat Sandra mengetukkan jemarinya di meja.
Sandra berhenti mengetukkan jemarinya. Kemudian menoleh pada Olip. “Lip, pulang aja, yuk....”
“Loh, kenapa? Acaranya belum selesai loh, San. Bahkan Sadena belum muncul ke panggung,” Olip melihat panggung yang masih sepi, kemudian ke arah Sandra. “Premiere kali ini privat, jadi cuma orang yang diundang yang bisa dateng. Harusnya lo bersyukur bisa tatap muka langsung sama Sadena.”
Sandra menarik lengan Olip kencang kemudian berbisik. “Masalahnya itu. Mana berani gue tatap muka langsung sama orang itu?”
“Ya terus, lo maunya gimana?” tanya Olip sambil menghela napas. Mungkin dia lelah.
Pertanyaan Olip tidak pernah Sandra gubris karena di atas panggung muncul Sadena dengan sutradara filmnya. Sandra seolah kaku di sana, terbebat oleh tali-tali yang mengelilingi sekujur tubuhnya sehingga mengeluarkan napas pun sulit.
Sulit.
Sadena di sana tampak bersahaja. Tersenyum sangat menawan hati siapa saja yang melihat. Aura bintang itu tidak bisa Sandra tepis–bahwa selama ini, Sadena memang sudah ditakdirkan menjadi seseorang yang ‘besar’.
Baik Sadena maupun sutradara memberi sepatah dua kata untuk memulai premiere film ini. Uniknya, film yang diputar itu ditonton di ruang makan, saat itu juga. Seolah bangku bioskop dan deretan kursi yang berjajar terlalu kuno di sini. Semua orang bisa nyaman menonton sambil makan di titik-titik meja mereka.
Dari ekor mata, Sandra melihat Sadena duduk di sebelah Hana. Sadena menautkan jemarinya pada Hana, sesekali tertawa kecil, seolah beberapa menit lalu, tidak ada yang pernah terjadi.
Dan, mungkin memang tidak memberi pengaruh yang begitu besar pada Sadena.
Tanpa Sandra sadar, ketika ia memalingkan wajahnya, Sadena menengok ke belakang. Memastikan satu objek yang membuat hatinya gusar, namun tidak bisa ia ungkapkan pada siapapun. Sadena menghela napas panjang dan melepas tautan jemarinya dengan Hana.
Kenapa di saat seperti ini dia baru muncul?
Kenapa, ketika Sadena sudah berusaha melupakan semuanya?
"Lip," panggil Sandra ketika mereka sampai di pertengahan film.
Olip menyeka ingus yang menjuntai akibat perasaan haru birunya menonton film, melihat ke arah Sandra dengan tatapan terganggu.
"Gue kebelet lagi...," ucap Sandra. "Temenin...."
"Sendiri aja, sana!" bisik Olip keras. "Serius ini lagi sedih banget, San.... Sadena mati...."
"Lip...," Sandra masih berusaha, namun Olip sudah fokus kembali menonton, membuat Sandra pasrah dan bangkit dari mejanya.
Langkahnya tertatih-tatih di atas sepatu hak tingginya. Apalagi perutnya sudah semulas itu. Sandra berjuang mati-matian sampai di toilet dan akhirnya menghela napas lega ketika sampai di koridor yang sama, yang satu jam lalu dia lewati.
Setelah menyelesaikan acara menghilangkan sakit perutnya, Sandra keluar dari toilet. Rasa lega yang baru dirasakan harus ia lumat kembali karena satu sosok jangkung sedang bersandar di dinding, dengan kedua tangan di saku celana, menunduk menatap sepatu pantofelnya. Ketika menyadari keberadaan Sandra, laki-laki itu refleks mendongak.
"San," panggilnya.
Sadena.
Laki-laki itu masih sama. Memiliki warna mata yang bening dan bisa membuatmu terhipnotis bila betah melihatnya. Garis wajahnya yang tegas namun menyisakan kelembutan membuat Sandra bingung bagaimana dirinya harus bersikap di hadapan laki-laki itu.
Sadena membingungkan.
"Kenapa?" tanya Sandra, tiba-tiba, tenggorokannya terasa sangat kering hingga Sandra harus menelan ludah berkali-kali.
"Gue gak nyangka ketemu lo di sini," ungkap Sadena, satu-satunya hal yang terpikir di otaknya, saat itu juga.
Sandra tersenyum kecut. "Kenapa? Karena lo gak yakin kalo gue bisa jadi aktor kayak lo juga?"
Mata Sadena melebar. "Bukan gitu, Sandra."
"Lo mau menertawakan gue waktu di audisi itu, kan? Lo berpura-pura gak kenal gue. Gue gak tau kalo lo sejahat itu, Sadena," ujar Sandra dengan suara sekecil mungkin. "Kalo lo mau bersikap gak kenal gue, go ahead. Mulai sekarang, gue udah kebal."
"Kebal?" tanya Sadena sambil mendengus geli. "Sandra, gue punya alasan."
"Iya, gue tahu. Gak usah dibahas. Capek," ucap Sandra sambil berjalan melewati Sadena. Meski ucapan Sandra terdengar solid, langkah kaki perempuan itu berkata sebaliknya.
"San, nanti jatoh bahaya," ucap Sadena. "Udah, istirahat dulu. Gue temenin."
Sandra menoleh ke arah Sadena dengan tampang paling judes yang pernah ia tunjukkan. Seolah semua kemarahan dan ketidakberuntungannya ini ia lampiaskan pada laki-laki itu. Namun, tiba-tiba salah satu haknya tidak kuat menopang, membuatnya oleng dan jatuh seketika.
"San! Tuh, kan," Sadena berdecak. "Kebiasaan."
Sandra meringis, perih menjalar di telapak tangannya yang lecet akibat menahan tubuhnya dari lantai marmer. Perlahan, Sandra bangun dengan bantuan Sadena. Dan, demi semua kentang goreng di muka bumi, Sandra tidak pernah sepanik ini karena jaraknya dan Sadena pupus.
"Sandra," panggil Sadena lagi.
Sandra melepas pegangan Sadena di bahunya, kemudian bersandar di dinding, mengatur ritme napasnya.
"San," panggil Sadena lagi.
Sandra menatapnya jengkel. Membuat Sadena tersenyum miring dan mendekatkan wajahnya.
"Lo mau ikut audisi?" tanya Sadena tiba-tiba. Sandra lantas menaikkan alisnya dengan pandangan tanya.
"Maksud lo?"
"Audisi minggu depan. Peran Ratu di film R."
Author Note
Oke... ini pendek banget. Tapi aku lagi mampet banget untuk nulis. Istilahnya kalo lagi flu nih, ya, ingusnya susah keluar... ya itu pengandaian yang menjijikan tapi intinya kamu ngerti kan...
30 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
S: Sadena, Sandra & Sandiwara
Fiksi RemajaSUDAH DITERBITKAN TERSEDIA DI TOKO BUKU Part lengkap "Mungkin bagimu sandiwara, tapi bagiku ini nyata."