BAB 42

82.2K 10.8K 938
                                    

MUNGKIN, karena akhir-akhir ini Sandra sibuk mencemaskan banyak hal, tanpa ia sadari, Sandra jadi sangat menyukai jalan kaki di malam hari. Perasaannya merasa lebih tenang ketika permukaan kakinya menyentuh bumi. Sandra akan beralasan pergi ke minimarket terdekat untuk membeli cemilan—meski memang akhirnya Sandra membawa cemilan, tapi tujuannya adalah berjalan kaki menyusuri kompleks perumahannya. Seperti malam ini, setelah lelah latihan akting, Sandra memutuskan mengambil hoodie-nya dan keluar rumah.

"Jangan, deh," cegah Mama ketika Sandra sedang memakai sepatunya di teras.

Sandra menoleh ke arah Mama sebelum fokus mengikat tali. "Sebentar aja kok, Ma. Sandra janji cuma sepuluh menit."

Mama menyilangkan tangannya. "Mama anter?"

"Ma, Sandra udah gede," balas Sandra. "Gak akan kenapa-kenapa."

"Tapi, San," protes Mama. "Kamu kan udah jadi artis—"

Sandra kini tertawa geli. "Ya ampun, Mamaaa, Sandra artis dari mananya? Sandra cuma aktris. Aktris. Naik daun aja belum. Tenang aja, Ma. Mama juga tahu sendiri, jalanan sekitar sini terang."

Meski ada perasaan gelisah yang tidak bisa dijelaskan, Mama akhirnya mengangguk setuju. Wanita paruh baya itu melihat Sandra dari balik jendela hingga figurnya hilang di tikungan jalan. Mama menghela napas seraya geleng-geleng kepala. "Atuhlah Sandra..., meuni teu nurut ka indung."*

Udara malam ini terasa lebih dingin dibanding biasanya, membuat Sandra mengeratkan jaketnya seraya terus berjalan menembus angin. Sandra sedang memikirkan cemilan apa yang kali ini akan ia beli ketika terdengar langkah kaki di belakangnya. Sandra berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. Karena ucapan Mama barusan, Sandra jadi parno sendiri. Melihat tidak ada siapa-siapa, Sandra kembali melanjutkan langkahnya dengan ringan.

Ponsel Sandra tiba-tiba berdering. Seraya masih berjalan, Sandra mengangkat teleponnya. "Yaaa?"

"Hepi banget lo," suara Zanna yang Sandra dengar. "Besok mau gue anter, gak?"

Sandra tersenyum kecut. Dia pura-pura bahagia karena dia bahkan tidak tahu bagaimana bahagia yang sebenarnya. Yang penting, jangan sampai, orang-orang mengetahui bahwa dalam hatinya sekarang sedang terpuruk, sangat terpuruk. Dan kalau Sandra pikir lagi, tak ada yang menjalani hidup tanpa kerikil bahkan hujan badai, kan?

"Enggak usah," jawab Sandra berusaha memaksa dirinya untuk berhenti melamun. "Ada taksi online, kan, Zann."

"Ya iya taksi online, tapi jam tiga pagi gitu loooh," seru Zanna. "Bahaya."

"Abang-Abang taksi online sudah membantu hidup gue lebih dari setahun tanpa masalah. Jangan salahin Abang-Abang taksi online," balas Sandra dengan nada bercanda. "Lagian besok lo harus sekolah."

"San, dengerin gue, ini serius," suara Zanna menunjukkan kecemasan yang nyata. "Kemarin gue denger berita. Ada artis pendatang baru yang tiba-tiba hilang. Terus tadi sore, gue nonton berita lanjutannya di TV."

"Terus?" tanya Sandra karena Zanna tiba-tiba berhenti bercerita, entah karena apa.

Zanna menghela napas berat. "Mayat artis itu ditemukan di toilet rest area. Dia dibunuh."

Jantung Sandra terasa mencelus untuk sesaat. Dia bahkan tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kejadian tersebut. Bagaimana sang artis tidak menyadari bahwa hari itu adalah hari terakhirnya. Bagaimana reaksi orang-orang terdekatnya, terutama orangtuanya. Siapa pun yang melakukan hal itu, dia pasti sangat kejam, apa pun alasannya.

"Kabar miringnya, dia punya masalah sama artis lain. Lo tau, masalah senioritas dan sebagainya itu. Gue bener-bener gak habis pikir kalo beneran masalah itu," ucap Zanna, kemudian nada suaranya semakin serius. "Besok gue jemput, ya?"

"Zann," Sandra menghela napas lelah. "Nyokap gue aja ngebolehin gue naik taksi online."

"Gue gak masalahin Abang-Abangnya! Kalo di jalan ada yang jahat ke lo, gimana? Bisa keriting ni rambut gue!"

Sandra tertawa mendengar kegelisahan Zanna di ujung telepon. Setelah meyakinkan Zanna berkali-kali kalau dia akan baik-baik saja, Sandra pun menutup telepon dan melihat ke sekitar. Suasana jalanan malam ini tampak lebih sepi dibanding biasanya. Mungkin karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Sandra juga harus bergegas membeli cemilan di minimarket dan kembali pulang.

Setelah berjalan sekitar lima menit, akhirnya Sandra sampai. Sandra mengambil cemilan yang sudah ia pikirkan tadi ketika berjalan, membayarnya di kasir, kemudian berjalan ke pintu. Ketika Sandra keluar, ada bayangan di balik gedung, yang sekelebat langsung menghilang setelah mendengar denting khas minimarket. Sandra mengenyahkan pikiran kalau ada seseorang yang mengikutinya dan kembali berjalan pulang.

Ponsel Sandra berdenting di tengah jalan. Kali ini, Sandra melihat layar, dan nama Thama di sana entah kenapa membuat hati Sandra menjadi gelisah dan tidak karuan. Setelah lama berdebat dengan dirinya, Sandra mengangkat telepon.

"Kalo hubungin kamu, harus nelepon, ya. Gak bisa chat. Temen-temen kamu juga pasti mikir yang sama," cetus Thama langsung ketika teleponnya diterima. "Tapi gak apa-apa, deh, biar ada alasan nelepon kamu."

Sandra entah kenapa tidak bisa menahan cengiran di bibirnya. Tanpa Sandra sadari, seseorang benar-benar mengikutinya, dan orang itu kini berdecak kesal karena targetnya berjalan dengan menelepon. Hal itu membuatnya sulit untuk menerjang ke arahnya tanpa meninggalkan jejak.

Orang itu menyeringai sinis melihat betapa bahagianya perempuan itu sekarang, tanpa tahu bahwa hidupnya akan berhenti dua hari lagi.

Dua hari lagi.

Orang berjaket hitam itu berbalik, melangkah pergi meninggalkan Sandra. Besok, Sandra akan pergi jam tiga pagi dengan taksi online.

Nanti di pertengahan jalan, orang itu akan mencegat taksi itu.

Membunuh supirnya.

Kemudian membawa Sandra.

Orang itu tersenyum keji.

Dua hari lagi.

(*): Yaampun, Sandra. Sangat tidak mendengarkan ucapan Ibu

S: Sadena, Sandra & SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang