BAB 25
ADU pandang antara Sandra dan Thama terjadi selama belasan menit. Yang perempuan menatap takut-takut, sementara yang laki-laki dengan gahar menghunuskan tatapan tajam pada yang perempuan. Hanya ada dua figur itu dalam koridor lengang, oh, tak lupa kamera yang mengikuti gerak-gerik mereka, serta monitor sutradara yang tak jauh dari sana.
Kalau bisa dibilang, Thama itu seperti Sadena, minus sikap baik dan pengertiannya. Karena ketika Sadena marah, dia seperti Thama. Tapi ketika Sadena sedang baik, Thama tidak pernah bisa baik. Mungkin inilah yang membuat Sandra ikut terpaku seperti kambing bodoh di hadapan Thama, laki-laki yang memerankan Agung, salah seorang sahabat dari peran utama perempuan di film ini.
Seharusnya, scene 12 adalah scene yang lumayan imut bagi Sandra. Ini ketika Agung dan Ratu mengobrol setelah Ratu digiring ke ruangan kepala sekolah. Mereka yang terjebak dalam persahabatan, namun salah satunya memendam suka. Sandra jujur, seklise itu, sangat menyukai scene ini. Namun bagaimana caranya dia bisa tersenyum tanpa beban di hadapan Thama, bila menggerakan bibir melengkung ke atas saja sangat sulit? Maksud Sandra, lihat tatapan laki-laki berambut cokelat itu. Sudah seperti guru yang menangkap basah anak didiknya berbuat brutal.
"Ini kapan mulai take-nya?" tanya Seth sedikit jengkel karena sikap diamnya Thama pada manager laki-laki itu.
Aghi gelagapan dari tempatnya. Dia segera berlari kecil menuju Thama. "Tham, ayo mulai take."
Tanpa memindahkan tatapannya dari Sandra, Thama berbicara dingin. "Bisa gak, yang jadi Ratu bagusan dikit?"
Ini bukan pertama kali Thama tidak menyukai lawan mainnya, membuatnya banyak dibenci oleh aktor-aktris lain di belakang layar. Gosip miring yang menyatakan sikap buruk Thama juga ditutupi oleh uang keluarganya yang berlimpah. Thama bisa bebas melakukan apa saja dan tanpa perlu takut pamornya turun. Banyak hati gadis-gadis yang bisa dimanipulasi oleh wajahnya. Jadi, mengatakan hal itu tentu saja tidak mengejutkan bagi semua orang, mereka hanya menghela napas lelah, menganggap syuting ini akan mengulur waktu lebih lama lagi dibanding yang seharusnya.
Tapi, beda bagi Sandra. Ucapan Thama seperti tamparan keras di wajahnya. Ini ya, rasanya ditampar tapi tidak menyentuh fisiknya. Ternyata lebih menyakitkan. Ternyata langsung ke hati. Membuat mata Sandra panas sehingga dia harus menyekanya dengan telapak tangan.
Apa yang harus Sandra lakukan sekarang?
"Thama," panggil Seth membuat Thama terpaksa menoleh pada sutradaranya, atas dasar menghormati. "Sandra adalah aktris terbaik yang pernah saya tangani. Jangan pandang sebelah mata seseorang."
Thama menyunggingkan senyum miring dalam sepersekian detik. Wajahnya kembali datar. Kemudian perlahan telapak tangannya menutupi sebagian wajahnya, lalu menatap ke arah Sandra lagi, kini lebih dingin dibanding tadi. Dengan gerakan lambat, Thama pun menurunkan kembali tangannya. Dia kini menyeringai.
"Saya sudah pandang tanpa sebelah mata. Tetap sama."
Kata-kata itu menohok Sandra langsung. Thama hendak meninggalkan lokasi syuting, mungkin ingin menarik perannya menjadi Agung. Namun, bukan Sandra namanya bila menyerah sekarang. Dia sudah lama mengalami kegagalan dan kekecewaan. Menangani anak manja seperti Thama bukanlah urusan yang mudah, namun juga bukan urusan yang sulit sehingga tidak bisa diselesaikan.
Sandra menarik napas panjang, lalu menghembuskan napas sambil berkata. "Satu take saja. Satu take untuk membuktikan pada kamu bahwa saya sudah cukup pantas berdiri di sini."
Thama berhenti berjalan dan menoleh ke arah Sandra. Kini, ada senyum miring di sana, merasa tertantang. Dia melangkah ke arah perempuan itu hingga mereka hanya berjarak satu jengkal. Thama yang sangat tinggi dibanding Sandra menunduk ke arahnya dan berbisik di telinga Sandra.
"Oke," ungkap Thama, sedingin itu.
***
LADIT, Hana, dan Sadena duduk di sofa bersama setelah insiden kecil itu. Sadena dengan kaki menjuntai di bahu sofa, tampak santai sekaligus acuh tak acuh. Ladit duduk di sebelah sofa Sadena, memainkan tangannya dengan canggung. Sementara, Hana duduk di hadapan mereka berdua, menatap intens laki-laki yang baru pertama kali ia lihat. Yang memiliki nama seperti tokoh di novel R, Ladit. Sungguh menarik.
"Jadi, lo anaknya Pak Seth?" tanya Hana memastikan eksistensi laki-laki di sebelah pacarnya.
"Seth aja, dia gak suka dipanggil bapak," koreksi Ladit langsung. Tangannya kini tertaut lebih erat, seolah sedang berdoa atau apa.
"Lo manggil dia Seth? Bukan Papa, Ayah, Bapak, Bapake, atau apa, kek?" tanya Sadena setelah memiringkan ponsel yang ada di tangannya, ikut menatap Ladit.
"Dia maunya dipanggil Seth," ucap Ladit, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Lo kenapa, deh? Sakit?" Hana mulai heran. "Dari tadi gak bisa diem, kayak cacing kepanasan."
"Cacing gak bisa kepanasan. Kedinginan baru mati," kini Sadena mengoreksi.
"Masa sih?" Hana tersenyum kecil ke arah pacarnya. "Pinter ya, Sadena aku."
"Najis," gerutu Sadena, padahal tadi dia hanya asal bicara karena bosan dengan kalimat 'cacing kepanasan'. Dia kembali melihat Ladit yang masih canggung. "Lo 'tokoh' di novel R? Kayak, lo keluar dari novel, gitu?"
"Gue emang ada, kok," ucap Ladit kini berani menatap Sadena meski hanya sepersekian detik. "Udah Seth atur sama penulisnya. Mereka temenan baik."
"Penulisnya gak pernah ketemu sama lo, ya?" tebak Hana.
"Kok tau?" tanya Ladit kaget.
Hana terkekeh kecil. "Iya, lah. Keliatan dari sikap lo yang beda banget sama gambaran karakter yang ditulis. Di sana, Ladit tuh orangnya berani, lucu, dan pede abis, sampe malu-maluin semua orang."
Sadena yang sudah sibuk dengan ponselnya, ikut menceletuk. "Oh, riset juga, toh."
Hana langsung memutar kepalanya ke arah Sadena, tersenyum manis. "Iya dong, Sayang, masa enggak, bego, dong?"
"Aslinya bego, kan?"
"Makasih loh, Sayang, pujiannya."
"Sayang 'ndasmu," Sadena berdecak, kini turun dari sofa dan beranjak keluar basecamp. "Gue cabut."
"Eh! Mau kemana?" tanya Ladit gelisah karena tidak ingin ditinggal berdua dengan Hana.
"Ke loksyut (lokasi syuting), mau liat Sandra," jawab Sadena lugas. "Mau ikut?"
"Ikut!" seru Ladit lebih bersemangat dibanding yang seharusnya.
Sadena menatap curiga ke arah laki-laki itu. "Suka ya sama Sandra?"
"E-Eh? Enggak...."
"Ngaku lo! Suka ya lo sama dia!"
"Enggak, serius, enggak! Ya ampun, jangan makan gue, Den... Daging gue gak enak, gue vegetarian...."
Sekarang, Sadena mulai yakin bahwa Seth salah memberi makan Ladit—bukan, bukan soal vegetariannya, karena Sadena tidak mau disudutkan sama para vegetarian.
Tapi, Ladit memang berbeda. Dan mungkin, dia bisa jadi teman baik Sadena selanjutnya.
Oh, ya, jangan lupa ingatkan pada laki-laki itu satu hal.
"Awas ya lo kalo deketin Sandra!"
Nah,beres.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
S: Sadena, Sandra & Sandiwara
JugendliteraturSUDAH DITERBITKAN TERSEDIA DI TOKO BUKU Part lengkap "Mungkin bagimu sandiwara, tapi bagiku ini nyata."