"Lihat dulu keburukan diri sendiri sebelum menilai keburukan orang lain."
=================
TIDAK ada yang tahu hal ini, bahkan sahabat Sadena sekalipun, tapi laki-laki itu sangat suka dengan suasana pagi. Menurut Sadena, pagi berarti satu hari yang melelahkan sudah dilewati. Pagi, berarti Sadena masih diberikan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, tidak mengulang kesalahan yang sama, dan bersyukur. Sadena selalu suka pagi lebih dari apapun, karena di momen saat matanya terbuka dari lelapnya tidur, Sadena punya keyakinan, “Hari ini harus lebih baik dibanding sebelumnya. Jangan ulang dosa yang sama.”
Karena itu, Sadena selalu menyempatkan waktu untuk jogging sekitar setengah jam, setelah subuh.
Embun menyambutnya ketika Sadena membuka pintu rumah, seiring Sadena bersyukur letak rumah orangtuanya cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta sehingga Sadena masih bisa merilekskan pikiran. Bayangkan bila Sadena harus berada di hiruk pikuk ibukota selama 24 jam. Bisa-bisa, Sadena terus mengomel.
Sadena mengambil sepatu olahraganya di rak, memakainya di bangku teras dengan tekun, kemudian berdiri. Matanya mengamati setiap jengkal kehidupan di depannya. Ayam berkokok, daun-daun bergerak sesuai arah angin, dan langit berwarna kuning kebiruan.
Sadena memulai joggingnya setelah membaca doa keluar rumah.
Tiap kali Sadena berlari kecil, pikirannya terus menguar ke segala arah, mereka ulang kejadian yang ia alami seminggu terakhir. Sadena merasa bodoh karena yang teringat di sana sebagian besar adalah dua perempuan, seolah mereka menyita banyak waktunya.
Hana.
Sandra.
Sejak Hana memutuskan hubungan secara sepihak, Sadena serasa kehilangan arah tujuan. Tiap hari dirinya dirundung mendung meski bibirnya mengulum senyum. Sadena terlalu terjebak akan keputusan Hana. Mereka... mereka sudah bersama lebih dari satu tahun, kenapa secepat itu memutuskan sesuatu?
Dan, untuk Sandra, Sadena tidak tahu harus darimana dia menjelaskan. Terhadap janji-janji yang terucap, rasa sesal, dan semua hal yang sudah terlalu usang untuk dikembalikan.
Sadena berhenti berjalan. Tiba-tiba merasa sesak ketika menyadari satu hal. Hari ini, audisi pemilihan pemeran utama perempuan film R berlangsung dan Sadena harus ikut serta di dalam sana sebagai juri.
Sadena berharap Sandra mengikuti permintaannya.
Tapi, sambil tertawa pilu, Sadena menggeleng kepalanya. Jangankan dimaafkan, berharap saja, Sadena tidak berhak.
***
"PESERTA nomor 97, masuk," ucapan staff yang memegang walkie talkie menyadarkan Sadena dari lamunannya.
Sadena melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa dirinya sedang di ruangan casting bersama sutradara dan tim kreatif. Sambil mengusap kedua matanya yang ngantuk, laki-laki berkaus abu-abu itu melihat coretan di kertasnya. Hanya gambar iseng, tidak ada tulisan apa-apa mengenai penjurian ini.
Menyadari itu, sang sutradara menepuk pundak Sadena. "Belum ada yang cocok?"
Sadena menoleh, kemudian menggeleng sambil tersenyum kecil.
Sutradara yang saat itu mengenakan kemeja putih gombrong tampak seumuran dengan Sadena. Entah kenapa, aura yang ia keluarkan seolah masih sebaya dengannya, dan itu bukan hal aneh. Septian, atau akrab disapa Seth, memang berjiwa muda. Orang mungkin bisa salah mengira kalau Seth masih duduk di bangku kuliah.
Seth menyandarkan duduknya dan memainkan pulpen. "Hmmm, iya, sih. Bayangan Ratu di mata gue belum ada yang cocok."
Peserta nomor 97 masuk ke dalam ruangan casting, membuat semua mata kini tertuju padanya. Tatapan gugup dan jemari yang tertaut erat membuktikan bahwa dia sedang demam panggung. Apalagi ketika melihat Sadena berada tak jauh darinya. Maka dari itu, Sadena lantas memutuskan–yang ini juga tidak mungkin. Sehingga selama casting, Sadena tidak memperhatikan dan malah mencoret kertasnya. Tidak tahu berapa lama Sadena berkutat hingga staff menyebutkan peserta ke-99, peserta terakhir.
Sadena memasang tatapannya tepat di muka pintu. Berharap kepada satu persen yang membuat perutnya melilit. Percuma, Sandra tidak akan muncul, tidak akan muncul, tidak akan–
Muncul.
Sandra muncul dengan seragam putih abu-abu dan senyum percaya diri. Rambutnya dikucir satu dengan rapi. Jam tangan berwarna hitam melilit pergelangan tangannya. Sementara, sepatunya sewarna dengan sepatu Ratu di novel R.
Aura dan penampilan Sandra, persis seperti Ratu.
Dan membuat semua orang, tak terkecuali Sadena, menahan napas.
"Halo!" ucap Sandra, bahkan intonasi suaranya sama persis seperti yang diinginkan.
Tanpa sadar, Sadena mengulum senyum.
Author Note
And the story begin
KAMU SEDANG MEMBACA
S: Sadena, Sandra & Sandiwara
Fiksi RemajaSUDAH DITERBITKAN TERSEDIA DI TOKO BUKU Part lengkap "Mungkin bagimu sandiwara, tapi bagiku ini nyata."