BAB 23
MAMA selalu mengajarkan pada Sandra untuk tetap melakukan sesuatu ketika menunggu, terutama ketika audisi—karena audisi menunggu seharian, eksekusinya kurang dari lima menit. Sandra sering iseng membuat puisi di buku kumpulan tulisannya, yang akhirnya sekarang jadi menumpuk di kamar. Sandra juga sering membaca Al-Quran dalam hati menggunakan aplikasi di ponselnya. Dia bahkan pernah merajut sweater untuk kado ulangtahun Yudith.
Jadi, ketika Sandra diminta menunggu hingga jam dua sore, Sandra memanfaatkan waktunya untuk melatih aktingnya, berkali-kali, dengan ekspresi yang lebih mantap dibanding sebelumnya.
Karena waktu yang terbuang itu percuma bila hanya diisi dengan memandang layar gadget tanpa tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan pada benda itu.
Tapi, ada yang aneh. Seharusnya, manager Hana berada di lokasi syuting, bukannya berada di basecamp. Perempuan bertubuh gempal dengan kacamata tebal itu sudah dua kali mengatakan pada Sandra bahwa Hana harus syuting lebih dulu sehingga Sandra kebagian jam dua sampai jam sembilan malam. Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan ucapan tim kru yang mengatakan bahwa tiap scene akan ada pergantian pemain utama perempuan.
Sandra sudah terbiasa dengan orang licik semenjak duduk dengan Zanna. Inilah yang membuatnya tidak tahan ketika manager itu mengatakan bahwa Sandra harus menunggu sampai jam tiga sore. Sandra berdiri dari duduknya dan melangkah ke pintu keluar.
"Mau kemana?" tanya manager Hana, menghadang dengan sigap langkah Sandra.
Sandra memasang wajah polos. "Cuma mau cari sinyal. Di sini sinyalnya kurang bagus."
"Pakai Wi-Fi di sini saja!" ucap manager Hana dengan nada gelisah dan terburu-buru.
"Oh, bukan untuk internet. Saya mau telepon Mama."
"Pakai hape saya saja!"
Sandra menaikkan satu alisnya. Lebih heran lagi karena menyadari bahwa hanya mereka berdua di basecamp ini. Seolah si manager ini menjadi tameng akan sesuatu.
"Oh, gitu, ya. Boleh pinjam?" tanya Sandra sambil tersenyum manis. Si manager itu mencari ponselnya di kantung celana, memberi kesempatan bagi Sandra untuk menyelinap dari balik bahu manager.
Sandra melangkah ringan keluar ruangan itu dengan seruan demi seruan manager Hana. Senyum di wajahnya tersungging. Mungkin, Hana berpikir bahwa Sandra tidak melihat apa yang ia lakukan. Namun, Sandra tahu di pagi itu. Ketika Hana berbalik menuju meja riasnya, Sandra melihat Hana mengusap tangannya yang berjabat tangan dengan Sandra.
Sandra mungkin baik, tapi ia tidak bisa dibodohi semudah itu.
Sandra tahu siapa yang ia lawan sekarang.
***
SADENA memiliki feeling yang lumayan akurat. Contohnya, ketika Sadena memilih pulang ke rumah karena memiliki feeling bahwa Ibu masak makanan yang ia suka, ternyata benar. Kemudian ketika Sadena memiliki feeling kalau jadwal syuting diganti sehingga Sadena memilih di rumah, ternyata memang jadwalnya mendadak diganti. Sekarang, ketika sudah lebih dari lima scene Sadena berakting dengan Hana, Sadena tahu bahwa terjadi sesuatu pada Sandra.
Sadena melirik tim kru yang berbisik dengan sutradara. Setelahnya, Seth melihat jam tangan, alisnya tertaut heran. Seth lantas melihat ke arah Hana, seolah bisa menembus pikiran perempuan itu. Hana sendiri tampak acuh tak acuh menunggu take selanjutnya dimulai.
"Take dengan Hana sudah cukup sampai di sini," ucap Seth membuat Hana lantas terkejut. "Sekarang istirahat lima belas menit, kemudian Sadena harus take dengan Sandra."
Hana tampak gelagapan. Dia sendiri yang akhirnya maju ke arah Seth. "Tapi, Sandra kan masih ada urusan di sekolahnya...."
Iya. Tadi, tim kru mengatakan pada Seth bahwa Sandra tadi pagi mendadak pergi ke sekolahnya karena ada urusan yang tidak bisa ditinggal. Sebagai sutradara yang memberi tenggang rasa, Seth pun membiarkan Hana mendominasi lokasi syuting selama lebih dari delapan jam ini. Namun, Seth mulai curiga akan sesuatu.
Sadena yang kini fokusnya teralihkan pun ikut menuju meja kerja Seth. Berdiri dan mengawasi gerak-gerik Hana yang mencurigakan. Semakin hari, sifat asli Hana semakin terlihat jelas. Licik.
"Coba tim kru hubungi Sandra," ucap Seth tanpa menggubris ucapan Hana.
"Ponselnya mati! Manager saya yang menelepon tadi. Dia memberi nomor baru, tapi tidak aktif juga," ucap Hana lagi, kini tampak semakin gelisah.
Seth terdiam cukup lama, lalu menoleh kembali pada tim kru. "Kalau gitu sekolahnya...."
"Sandra tidak bisa ikut syuting!" seru Hana, kini sudah tidak bisa membendung kegelisahannya lagi. "Dia tidak bisa ikut syuting. Tidak mungkin ikut syuting..., ada keperluan mendadak hari ini, jadi dia—"
"Siapa yang tidak bisa ikut syuting?"
Serempak, semua kepala menoleh ke asal suara. Di sana, Sandra, berdiri tak jauh dari mereka, napasnya tidak beraturan, mungkin berlari untuk sampai ke sini. Sandra berjalan mendekat, menatap Hana cukup lama sebelum menatap tepat ke arah Seth.
"Pak, mohon maaf. Kapan giliran take saya? Saya menunggu dari pagi karena kata tim kru, take antara saya dan Hana bergiliran," tanya Sandra sopan.
Kini, semua mata menatap ke arah Hana. Ada ribuan pertanyaan di sana. Namun satu kepastian yang ada dalam benak mereka di lokasi syuting saat itu.
Dunia ini memang licik.
Sementara, di balik tatapan menghinanya ke arah Hana, Sadena tersenyum tipis.
Sandra bukan lawan yang bisa lo anggap remeh, batin Sadena puas.
Sadena kini melihat ke arah Sandra yang tampak teguh berdiri di hadapan mereka.
Dan besarrasa itu memumpuk di diri Sadena.
***
Author Note: JANGAN MACAM-MACAM KAU HANA / 19-12-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
S: Sadena, Sandra & Sandiwara
Fiksi RemajaSUDAH DITERBITKAN TERSEDIA DI TOKO BUKU Part lengkap "Mungkin bagimu sandiwara, tapi bagiku ini nyata."