PADA praktiknya, ternyata, Thama sangat panik karena akan melanggar aturan. Namun ketika Thama sudah sampai di lift yang bergerak naik, Thama tahu hal yang harus ia lakukan adalah menghadapi misi yang Sadena embankan padanya ini.
Ponsel Thama berdering.
Sadena: Udah sampe?
Cowok gak sabaran itu.
Thama: Kenapa gak lo aja?
Thama tidak mendapat balasan, membuatnya memberengut kesal. Tepat saat itu, lift berdenting dan perlahan pintunya membuka.
Wajah Sandra yang pertama kali Thama lihat.
Tubuh Thama seketika membeku. Mulutnya sulit mengucapkan kata-kata yang sudah ia rangkum. Perhatiannya tersedot pada Sandra. Melihat Sandra dan memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja sudah membuat Thama sangat lega.
Wajah Sandra tampak pucat, namun masih ada sedikit rona merah di pipinya. Menandakan kondisi Sandra mulai membaik. Ada seberkas rasa syukur di hati Thama melihat itu.
Pintu lift beranjak menutup. Dengan refleks, Thama memencet tombol untuk menahannya. Sandra ikut terkesiap, seolah tadi dirinya telah kehilangan arah dan melamun begitu lama.
Masih tidak ada yang berbicara, hingga Sandra mendorong rodanya menuju lift. Thama melihatnya tidak percaya, tapi Sandra diam seribu bahasa. Setelah lima menit tak berbuat apa-apa, Thama memencet lantai ground. Lift bergerak turun. Lantai demi lantai dilalui dengan hening. Hingga sampai pun, Sandra mendorong dirinya sendiri ke luar lift, seolah tidak mengenal Thama sama sekali.
Thama mengikutinya. Awalnya, Sandra salah masuk, dia malah ke ruang tunggu pengambilan obat. Sandra berbalik arah dan ternyata dia menuju kantin. Membeli minum. Lalu kembali ke lift.
Thama mengamati Sandra dalam diam selama lift kembali naik mengantarkan Sandra kembali ke kamar rawatnya. Ketika Sandra hendak pergi, Thama menahannya.
"Aku lega, kamu gak apa-apa. Aku ngerti kamu masih marah sama semuanya. Dan aku akan tunggu sampai kamu siap. Nggak harus sekarang, gak apa-apa. Aku akan selalu tunggu," ucap Thama pelan. Thama bingung mengatakan apa lagi yang membuatnya lantas menutup pintu lift.
Thama menyangka pintu akan tetap menutup dan Thama akn pulang dengan tangan kosong. Dugaan Thama salah. Lift kembali membuka. Thama terkejut melihat Sandra menatapnya, dengan mata berlinang. Sandra tidak mengatakan apa-apa, tapi ekspresinya yang terluka sudah menjelaskan segalanya. Thama bergerak maju, berjongkok di depan Sandra, dan membuka lengannya, memeluk Sandra dengan hati-hati.
Sandra balas memeluknya. Erat.
Dan Thama tidak pernah selega ini sebelumnya.
***
SADENA menatap kosong ke jalanan yang terlihat di luar jendela. Hingar bingar pesta yang ada di ruangan ini tidak ia acuhkan. Sadena ingin sekali pergi, tapi tidak mungkin ia melanggar janji dari seorang Hanna Syafira. Tidak ketika Sadena sudah berjanji untuk terus di sampingnya.
Hanna muncul dengan cengiran lebar, sudah jelas sekali ia menikmati pesta ini, membuat Sadena terpaksa melengkungkan senyum kecil.
"Abis ini ke pestanya Evelynn, ya!" seru Hanna sambil mengalungkan lengannya di leher Sadena.
Sadena hanya mengangguk kecil. Melihat minimnya respon, alis Hanna tertaut. "Kamu gak suka?" tanya Hanna tersinggung.
Sadena mengerjap heran. Apa wajahnya terlihat bete dan menyebalkan sekarang? Oh, bagus, Sadena akan kesulitan menjaga image di depan umum lagi.
"Suka, kok," jawab Sadena sambil memaksakan senyum lebih tulus. "Mau langsung ke Evelynn?"
Hanna hanya berdiri di sana dengan wajah kesal untuk waktu yang cukup lama hingga ia berbalik ke luar rumah. Sadena mengikuti langkah Hanna dan menahan lengan perempuan itu.
"Aku cuma capek, Na," pinta Sadena. "Please."
Hanna membalikkan badannya agar berhadapan dengan Sadena. Ada kegelisahan nyata dalam ekspresinya. Membuat Sadena kehabisan kata.
"Kenapa kamu gak bisa lupain dia?" tanya Hanna. "Kenapa gak bisa kamu liat aku aja?"
"Na...," panggil Sadena.
"Aku udah lakuin apa yang aku bisa buat kamu balik lagi ke aku. Tapi gak satu pun berhasil. Gak satu pun," seru Hanna degnan menepis tangan Sadena yang ingin meraihnya. "Aku selalu memberi dan kamu yang selalu menerima, kan, Sadena?"
Ketika Hanna berderap menyusuri kompleks yang sepi ini, Sadena mengikuti di belakang.
"Hanna, pulang sama aku, ya? Jangan gini," pinta Sadena. "Aku gak mau kamu kenapa-kenapa, Na. Udah malem."
"Kalo dengan aku 'kenapa-kenapa' bisa bikin kamu jadi mikirin aku kayak kamu mikirin Sandra," ada jeda, sebelum Hanna mempercepat langkahnya. "Akan kau lakuin, Sadena."
Sadena menarik napas panjang, setia menemani Hanna sampai mereka berdiri di jalan raya. Hanna melambaikan tangan kepada taksi-taksi yang hanya melewatinya dengan laju kencang, sudah ada penumpang.
"Na," panggil Sadena seraya mengeratkan jaket di tubuhnya. "Dingin. Ayo balik, aku antar kamu pulang."
Hanna diam, bersikeras di sana. Sadena mengembuskan napas berat sebelum mengambil langkah ke samping Hanna. Sadena menarik tangan Hanna dan menggenggamnya erat.
"Maafin aku," ucap Sadena. "Na?"
Hanna menatap mata Sadena dan di momen itu, ia tahu bahwa meski Sadena memiliki seribu kesalahan, Hanna akan tetap memaafkannya. Benar-benar memaafkannya. Bukan karena Hanna Syafira menginginkannya, tapi karena ia tahu, ia tidak bisa tanpa Sadena.
"Ke pestanya Evelynn, ya?" pinta Hanna, sedikit merajuk.
Sadena tertawa kecil, menatap Hanna hangat dan tersenyum. "Iya, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
S: Sadena, Sandra & Sandiwara
Teen FictionSUDAH DITERBITKAN TERSEDIA DI TOKO BUKU Part lengkap "Mungkin bagimu sandiwara, tapi bagiku ini nyata."