BAB 13

117K 12.5K 406
                                    

"Tidak ada kesempatan kedua. Yang ada hanya terjerumus di lubang yang sama."

============

SEMUA bisa menjadi orang yang besar.

Kata Ayah, semua hal, termasuk menjadi orang besar, perlu usaha. Tidak ada hal yang instan di dunia. Tidak ada seseorang yang berdiam diri, tiba-tiba mendapat sesuatu. Ketika kita berusaha, kita bisa.

Tapi bagi Sandra, semua hal tidak semudah itu. Banyak faktor selain usaha. Kehendak-Nya pun menjadi perhitungan. Bila Tuhan tidak berkata "A", mau sekeras apa pun, kita tidak bisa. Namun bila sesulit apapun perjuangan kita, bila akhirnya Tuhan berkata "A", pasti terjadi.

Dan, setelah Sandra renungkan lagi, semua itu tergantung pada keyakinan kita.

Apakah kita yakin bahwa Tuhan berkata "A", atau sebaliknya?

Jadi, setelah pertimbangan yang matang, Sandra memutuskan untuk berusaha.

"Pa," panggil Sandra saat sampai di undakan ketiga tangga, menatap takut-takut Papa di meja kerja kecilnya yang cukup dekat dengan tempat Sandra berdiri. Papa lantas melihat Sandra dengan tatapan tanya, melepas kacamata bacanya dari makalah mahasiswa. "Besok Sandra ada audisi lagi... kebetulan hari sekolah. Jadi...."

Papa lantas tersenyum dan bangkit dari kursi kerjanya.

Sama seperti Mama, Papa juga seorang dosen di universitas swasta ternama. Papa orang yang sederhana. Memiliki baju yang itu-itu saja, tidak pernah mengikuti trend atau terlihat baru. Papa bukan orang yang menghabiskan uang meski Sandra tahu keluarga mereka dilimpahi kekayaan yang lebih dibanding yang dibutuhkan, sehingga Papa rutin membagikan nasi bungkus tiap Minggu pagi pada orang-orang di jalan. Papa juga tidak pernah menuntut Sandra menjadi pintar seperti dia dan Mama. Papa hanya memfasilitasi Sandra. Apa yang Sandra mau, asalkan itu positif, pasti setuju.

Maka dari itu, Sandra sudah mengetahui jawabannya.

"Boleh," ucap Papa simpel ketika sampai di hadapan Sandra dan menepuk-nepuk puncak kepalanya.

"Papa gak marah?" tanya Sandra takut-takut.

Sudahberkali-kali Sandra bolos sekolah karena bentrok dengan kegiatan audisinya—yangselalu gagal, tapi lebih baik jangan disebutkan gagalnya, deh, suka sakit hati.Namun, Papa dan Mama tidak pernah mempersoalkan hal itu. Malah, Sandra yangmerasa tidak enak, seperti, gimana ya ngomongnya... kayak, Sandra bukan anakyang teladan bagi mereka.    

"Ngapain marah?" malah, Papa yang menautkan alis heran. Seolah tidak ada yang dijadikan masalah dengan bolosnya Sandra.

"Papa, normal dikit, kenapa... Papa kan dosen, harusnya, Papa—"

"Loh, Sandra," Papa langsung memotong ucapan anak sematawayangnya sambil tersenyum simpul. "Sejak kapan, Papa menuntut kamu menjadi seseorang yang bukan kamu inginkan?"

Sejenak, Sandra terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kemudian Papa duduk di sofa ruang keluarga perlahan, menghela napas seolah berjalan sebentar saja sudah lelah. Tangannya yang besar dan hangat menepuk tempat di sebelahnya, meminta Sandra duduk di sana. Dan, itu yang Sandra lakukan, masih dengan wajah bingung.

"Memang, Papa enggak lihat perjuangan kamu, Nak? Kamu menghafal dialog dari sore hingga larut malam. Papa sudah selesai memeriksa tugas mahasiswa Papa, lampu kamar kamu masih menyala, dan suara hafalan dialog kamu yang terdengar. Artinya apa, Sandra?" tanya Papa.

Sandra hanya bisa menggeleng, ling-lung.

"Kamu berusaha lebih keras dari Papa yang dosen ini," ungkap Papa lugas. "Impian kamu berbeda dengan Papa dan menurut Papa itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Papa tidak masalah kamu bolos sekolah untuk audisi. Karena itu impian kamu, Papa tahu itu. Nah, Papa baru marah deh, kalo kamu bolos karena ingin jalan-jalan."

Sandra tertawa kecil melihat wajah Papa yang berusaha galak, namun garis-garis hangat dan sederhananya masih di sana, membuat Papa malah menjadi lucu. Melihat anaknya tertawa, Papa menatapnya dengan senyum kecil. Senyum yang membuat Sandra merasa sangat beruntung mendapat orangtua yang sangat menyayanginya.

"Pendidikan memang penting, Sandra, sangat penting. Papa tahu kamu bukan orang yang mengesampingkan pendidikan. Tapi, Sandra juga harus tahu, impian perlu dikejar. Dia tidak akan berlari ke arah kamu, tapi kamu yang berlari ke arahnya," ucap Papa sebelum Sandra kembali ke kamarnya dengan senyum cerah.

Sandra bersyukur memiliki orangtua seperti Papa dan Mama yang mendukung penuh setiap keputusan yang diambilnya. Memberi nasihat bila memang perlu. Memberi dukungan bila bahunya layu karena kegagalan. Dan, tidak menuntut.

Karena, hanya itu yang setiap anak butuhkan ketika mengejar angan-angan. 

============

Author Note

BAB ini diperuntukkan bagi kalian yang sedang mengejar impian dan perlu orang-orang yang mendukung. Mungkin ada yang memiliki orangtua seperti Sandra, mendukung keputusan Sandra selama hal itu positif. Namun, ada beberapa yang kurang mendukung karena berbagai faktor. 

Kita harus ingat, mungkin orangtua kita tidak mendukung bukan karena tidak sayang, sebaliknya... orangtua kita sayang sama kita. Orangtua kita gak mau, kita merasa sakit dan terluka di akhir perjuangan. Karena yang namanya mengejar impian selalu ada konsekuensi, selalu ada jalan yang berbatu. Orangtua kita gak mau kalo kita terluka ketika melewati jalanan berbatu itu.

Solusinya cuma satu, sabar, jangan emosi ketika impianmu lagi-lagi gagal atau orangtuamu tidak mendukung. Banyak-banyaklah berdoa dan berusaha, lebih giat lagi, dekatkan dirimu kepada-Nya, karena doamu pasti akan lebih didengar.

Karena, kembali lagi, semua keputusan ada di tangan-Nya.

Semangat!

P.S: Sejauh ini, bagaimana cerita Sadena dan Sandra? 

S: Sadena, Sandra & SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang