"I found you in a heartbeat, then I lost you in a tick of time."
========================
SEJAK dua jam lalu, ibu Sadena, Kanita, melihat anaknya diam saja di sampingnya. Baik di rumah maupun di mobil. Seolah Sadena memiliki dunianya sendiri dalam pikirannya, yang kali ini tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.
Kanita melirik Lulu di bangku depan, sedang menyisir boneka Barbie dengan giat. Kemudian melirik Sadena yang sudah rapi dengan setelan jas dan rambut disisir ke belakang, sedang menatap pemandangan di luar jendela.
Tanpa Kanita sempat menduga, Sadena menoleh ke arahnya. "Bu, dulu Abang SD dimana, sih?"
Kanita nyaris tersedak mendengar pertanyaan Sadena yang super absurd itu. Maksud Kanita, mereka sedang dalam perjalanan menuju premiere film kedua Sadena, merupakan salah satu film terpenting yang bergengsi, dan di sini Sadena, menanyakan dia dulu bersekolah dasar di mana.
"Kenapa, Bang?" tanya Kanita heran dengan alis tertaut.
Sadena memangku tangannya dan kembali melihat ke arah jendela. "Ya, gak apa-apa, nanya aja."
"Ibu juga lupa, nanti Ibu liat-liat folder lama, ya. Abang kan beberapa kali pindah sekolah karena gak cocok sama lingkungannya," ungkap Kanita dan hanya itu percakapan yang terjadi di antara mereka.
"Sadena, nanti jangan lupa ya, setelah film selesai, kamu masih harus wawancara media," ungkap Kak Mail yang kini menjadi supir mereka.
Sadena mengangguk. Sadar bahwa Kak Mail tak melihatnya, dia bergumam pelan.
Selama premiere film berlangsung, Kanita melihat Sadena hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Tersenyum, berbicara, dan tertawa seadanya. Seolah ada yang mengganggu pikiran Sadena, lebih dari biasanya dia bersikap di publik. Sungguh membingungkan.
Bahkan, Sadena tetap terdiam ketika sutradara ternama mendatanginya saat mereka duduk menunggu di lounge. Membuat Kanita yang harus meladeni ucapan sutradara tersebut dan mengatakan bahwa besok Sadena bisa ke production house tempat sutradara itu bernaung. Tentu saja, ini kesempatan emas Sadena untuk meraih gelar aktor muda terbaik.
Ketika sang sutradara pergi, Kanita langsung menatap anaknya heran sekaligus jengkel. "Abang kenapa, sih?"
Dari bangku depan, Lulu melihat mereka sekilas, kemudian menunduk, memainkan boneka Barbie-nya lagi seolah tidak menyaksikan apapun.
"Kenapa, Bu?" tanya Sadena sambil menoleh, ikut heran.
"Abang kok diem aja dari tadi?" Kanita menjelaskan maksud pertanyaannya. "Ibu gak suka, kalo Abang sediam itu pas ada Pak Septian. Pak Septian itu sutrada besar, Sadena. Abang gak boleh kayak gitu."
Sadena mengangguk, merasakan lagi-lagi beban berat yang harus ia pikul seiring mendengar ucapan Kanita. Kemudian, Sadena mendongak lagi, menatap ibunya serius. "Emang, Abang berapa kali pindah SD?"
Kanita mendengus mendengar pertanyaan itu dilontarkan lagi. Apa sih, yang menjadi momok permasalahan Sadena sehingga dari tadi menanyakan hal itu?
"Gak tau, terserah," jawab Kanita jengkel. "Inget-inget aja sendiri."
"Yah, ngambek," gumam Sadena.
Kanita melotot. "Kedengeran, ya."
"Abang mau ke toilet dulu," Sadena menggerek kursinya ke belakang, mengambil ponsel di meja, kemudian menaruhnya di saku. Kaki kanannya bergerak duluan keluar meja makan, lalu diikuti kaki kirinya. Langkahnya tegap, ditatap oleh banyak pasang mata, dan Sadena berusaha tidak menghiraukannya.
Lorong sepi toilet yang diperuntukkan tamu undangan dan aktor itu tampak sepi. Membuat Sadena sedikit lega karena tidak ada penyusup. Bukan karena Sadena tidak menyukai fans-nya, tanpa mereka Sadena bukan apa-apa, tapi, semua orang perlu privasi.
Setelah menyelesaikan keperluannya di toilet, Sadena keluar dan menginjakkan kakinya ke ubin yang berbeda dengan toilet. Kemudian dia belok ke kiri, dan langkahnya terhenti, saat itu juga. Seolah sesuatu yang ia lihat di hadapannya membuat Sadena terkejut.
Ah, bukan sesuatu, seseorang.
Seorang perempuan menatapnya balik dengan mata bulatnya itu. Wajahnya sama terkejut, sama-sama membatu, dan tidak tahu apakah dia harus melewati Sadena atau berbalik saja, menganggap tidak pernah ada yang terjadi di antara mereka.
Kemudian, Sadena mengambil satu langkah, langkah kedua, dan ketiga. Sampai akhirnya mereka berhadapan.
"Kemana aja?" tanya Sadena, lebih menjurus ke bisikan yang membuat perasaannya seperti dibobol oleh air bah, meruntuhkan seluruh pertahanannya selama ini.
Perempuan itu tergagap, air mukanya berubah tat kala Sadena ternyata menyadarinya. Menyadari eksistensinya.
"Kenapa," yang perempuan meneguk ludahnya, menunduk perlahan. "Baru sekarang?"
Lidah Sadena kelu untuk menjawab hal itu. Dua anak adam itu terdiam untuk waktu yang cukup lama hingga ponsel di saku Sadena bergetar. Dia melihat ke arah perempuan itu sekali, kemudian menarik napas panjang dan melangkah pergi.
Ya, pergi. Begitu saja. Seperti biasanya.
========================
Author Note
Aku sesedih itu gak bisa update sesuai jadwal. Tapi semoga ritmenya mulai ada, ya. Semoga juga, malam ini bisa update lagi, jadi bisa ngejar hari Kamis dan Sabtu yang aku janjikan akan update
#Ask3: misalkan Sadena dan Sandra pernah kenal sebelumnya, hubungan mereka apa, dan kenapa mereka pisah? DAN, VIBES RAJA DAN RATU ADA DI SINIIII, WGWGWGW AKU SUKA
22 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
S: Sadena, Sandra & Sandiwara
Novela JuvenilSUDAH DITERBITKAN TERSEDIA DI TOKO BUKU Part lengkap "Mungkin bagimu sandiwara, tapi bagiku ini nyata."