#9

1.1K 141 28
                                    

Banyak orang mengira, Gendis sangat berpengalaman soal cinta. Teman-temannya selalu mencarinya tiap butuh motivasi tentang asmara. Para pembacanya di wattpad bilang kalau mereka baper dengan kisah-kisah yang Gendis tulis dan mengira ia sendiri mengalami hal itu.

Padahal pengalaman cinta Gendis sangat minim. Gendis cuma pernah pacaran sekali saat SMP dalam rangka coba-coba dan nggak mau kalah sama teman-temannya.

Tapi, terakhir kali Gendis jatuh cinta lah yang akhirnya membuat Gendis jadi sosok melankolis yang tahu seluk-beluk masalah perasaan. Cinta yang harus berakhir dengan bertepuk sebelah tangan.

Memang benar kata orang kalau patah hati adalah saat terbaik untuk berkarya.

Gendis sudah membuktikan hal itu. Dalam kurun waktu satu tahun masa patah hatinya, sudah tiga cerita yang Gendis publish di wattpad, tiga cerita yang diunpublish dan hampir sepuluh draf cerita tersimpan di akunnya.

Menulis bukan lagi soal hobi dan cita-cita. Bagi Gendis sekarang, menulis adalah caranya untuk melampiaskan segala kegundahan hatinya. Semua kegundahan yang bermuara pada satu orang yang sama.

Giza Ramadhan.

Satu nama yang sangat sakral bagi seorang Gendis. Jantungnya langsung berhenti berdetak sedetik tiap nama itu disebut dimana pun. Gendis bisa langsung tak berkutik tiap sosok itu ada di sekitarnya.

Giza selalu jadi pusat perhatiannya. Dimana pun dan kapan pun. Gendis bisa mengenali sosok itu hanya dari punggung tegapnya atau rambut hitamnya yang selalu berpotongan sama. Gendis bisa tahu dimana keberadaan Giza walaupun cowok itu tak pernah tahu ada dia di sana.

Gendis menyimpan perasaannya dalam diam. Berusaha untuk tahu diri bahwa sampai kapan pun sosok itu tak akan pernah bisa terjangkau olehnya.


Gendis menatap barisan kata yang baru saja ditulisnya di lembar kosong blocknote miliknya.

Jam istirahat ini seperti biasa, Gendis duduk kursi panjang tepi koridor aula, bersama blocknotenya.

Niat awalnya yang ingin mengamati para cowok ganteng untuk kepentingan proyek bad boy-nya malah beralih jadi nostalgia penuh nestapa gara-gara seseorang yang tengah tertawa bahagia di koridor depan lab sana.

Jangan tanya kenapa dari jarak sejauh ini Gendis masih bisa melihatnya. Karena sejak dua tahun lalu, seluruh kerja tubuhnya akan otomatis terfokus pada sosok itu tiap mereka ada di lokasi yang sama.

"Jadi galau gini sih. Ah elah!" rutuk Gendis sambil mengetukkan pulpen standart warna biru pastel miliknya ke dahi.

Matanya kembali tertuju pada sosok itu. Bibirnya berubah manyun.

"Bisa-bisanya lo ketawa bahagia kayak gitu sedangkan gue di sini ngegalauin lo yang nggak pernah sadar kalo gue galauin lo. Dasar sialan."

Bibir Gendis yang komat-kamit menggerutu itu kontan berhenti saat sosok itu juga balik menatapnya.

Dari jarak yang melebihi sepuluh meter itu reaksi tubuh Gendis masih sama. Jantungnya berhenti sekian detik, lalu buru-buru kepalanya menunduk menghindari tatapan mata hitam itu dan terakhir Gendis berusaha memutar tubuhnya ke arah koridor untuk menyamarkan keberadaannya.

"Ge!"

Gendis tersentak. Kepalanya mendongak menatap ke arah cowok yang berdiri di depannya.

"Kenapa lo?" tanya Rikza melihat Gendis yang hanya bengong menatapnya.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang