#3

1.6K 205 85
                                    

"Ge, lo suka warna pink ya?"

Gendis melesatkan tatapan tajamnya sekali lagi pada cowok absurd di sebelahnya. Sejak memaksa duduk di sampingnya yang akhirnya Gendis nggak bisa nolak karena guru yang mengajar keburu masuk, Rikza selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Gendis sakit kepala.

Dari pertanyaan nggak penting sampai pertanyaan super nggak penting. Gendis berusaha keras untuk nggak menendang Rikza dari kursi sebelahnya itu dan memilih mengabaikannya. Tapi, bukannya berhenti Rikza malah terus bertanya.

"Sejak kapan sih lo jadi kayak wartawan? Nanya mulu! Balik sana ke bangku lo!" usir Gendis dengan nada kesal.

"Iya maaf sih, kan biar nggak krik Ge, jangan ngegas dong."

"Bodo amat!" balas Gendis getas.

Lalu suara Rikza tak lagi terdengar. Gendis mendesah lega dalam hati, ia bisa melanjutkan menulis tugasnya.

"Penulis favorit lo siapa, Ge?"

Gendis memejamkan mata sejenak. Lalu menoleh dramatis dan menatap sinis pada Rikza yang menampakan wajah tak berdosa itu.

"Gue suka nulis dari SD, gue suka nulis fiksi dan sajak bebas dari pada puisi, gue suka lagu-lagu EDM, gue nggak suka pelajaran MTK karena gue bego ngitung, gue nggak suka sejarah tapi suka geografi, dan gue nggak suka warna pink! Penulis favorit gue itu Esti Kinasih! Udah puas lo?!"

Rikza menatap Gendis dengan mata melebar. Tatapan tak percaya dengan mulut sedikit terbuka.

"Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu?!" sentak Gendis melihat reaksi Rikza yang cuma melongo menatapnya.

"Wow!"

Gendis mendecak kesal sebelum kemudian geleng-geleng kepala. "Nggak jelas."

"Lo ngomong sepanjang itu dengan satu tarikan napas, Ge! Gila!" ujar Rikza masih dengan tatapan takjubnya.

"Dan lo hapal semua pertanyaan gue yang dari tadi lo diemin! Gila mantep banget lo!"

"Terserah lo! Ter-Se-Rah!"

Gendis memalingkan wajahnya dari Rikza dan mengabaikan tatapan takjub juga celetukan-celetukan aneh cowok di sebelahnya.

"DJ favorit lo siapa, Ge?"

Cukup sudah! Gendis benar-benar kesal sekarang.

"Berisik Rikza!" sentak Gendis dengan volume penuh.

Seluruh isi kelas mendadak hening. Semua mata tertuju pada keduanya. Gendis yang menyadari itu cuma bisa mendecak.

"Gendis, Rikza, kalian bisa belajar di perpustakaan, sekarang!"

Gendis mendesah kesal, matanya menatap tajam Rikza yang masih terdiam dengan mulut terbuka.


"Ge, maafin sih. Gue kan cuma nanya."

Gendis bergeser dari duduknya. Menjauhi Rikza dan menyibukkan diri membaca buku paket Bahasa Indonesia dengan materi yang sedang diajarkan Bu Fia di kelas.

Setelah bentakannya pada Rikza yang membuat seluruh kelas hening itu, Bu Fia yang sedang mengajar pun langsung menyuruh mereka untuk pindah ke perpustakaan dan di sini lah mereka berada sekarang.

"Ge, jangan marah dong," ujar Rikza pelan agar penjaga perpustakaan nggak mengusir mereka.

Gendis menggeleng samar. Sudah cukup, meladeni Rikza hanya akan membuatnya makin kesal. Makanya ia akan berusaha menulikan diri dan setelah istirahat tiba, ia akan berusaha menjauh sejauh-jauhnya dari Rikza.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang