Sepasang mata berlensa coklat itu menatap layar laptop dengan pandangan nelangsa.
"Yaelah, susah banget sih ngumpulin kata-kata doang!" Gendis menepuk jidatnya berulang kali. Berharap inspirasi datang lewat tepukan yang mungkin saja mengalir ke saraf-saraf imajinasinya.
Sudah dua jam Gendis duduk di depan meja belajarnya, menatap laptop yang menampilkan deretan kata di aplikasi wattpad. Dua jam dan Gendis cuma bisa mendapatkan delapan ratus kata, setengah dari jumlah yang biasanya ia tetapkan untuk satu part di salah satu cerita yang sedang dikerjakannya.
"Lagian, galau gini malah disuruh nulis part bahagia macem bunga-bunga bermekaran, ya susah lah!"
Gendis menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi putarnya. Gendis sepenuhnya menyadari bahwa hati dan pikirannya tak terfokus pada plot karyanya. Tapi, pada objek lain yang berhasil mengacak-acak mood Gendis hari ini.
Kejadian di tangga lantai dua tadi siang masih sangat membekas bagi Gendis. Otaknya seakan terus memutar kejadian itu dan akan berlanjut pada kejadian-kejadian lain yang melibatkan Giza di dalamnya, yang akhirnya membuat luka dalam hatinya makin terasa perih.
Udah tau sakit, tapi masih aja diinget. Ujar satu suara di kepala Gendis.
"Emang gue minta inget? Dia aja tuh yang nongol mulu di otak gue! Nggak cukup di hati gue aja, dasar sialan!"
Gendis mengacak-acak rambutnya sendiri. Gendis nggak pernah minta untuk terus mengingat Giza dan sederet kenangan yang mereka miliki. Tapi, apa daya, semua itu terus berputar di otaknya.
Kalau aja bisa, Gendis pengin sekali bersikap cuek kayak Sekar yang sama sekali nggak peduli sama masalahnya dan tetap latihan taekwondo walaupun Gendis yakin pulangnya akan terjadi pertumpahan air mata.
Suara dentuman musik elektronik yang masuk ke pendengaran Gendis melalui headset pun nggak berpengaruh banyak. Lagu-lagu karya Jack U, Avicii sampai pacar kesayangannya si Martin Garrix yang biasanya ampuh membuatnya fokus pada tulisannya, saat ini malah nggak berguna sama sekali.
"Capek gue! Kapan selesainya sih ini!"
Gendis melirik layar laptop dengan pandangan sengit. "Gue hapus aja kali nih, sepet gue, lagian nggak cocok gue nulis yang bahagia-bahagia gini. Hidup aja nggak ada bahagia-bahagianya."
Tangan Gendis sudah menjangkau tetikus, menutup tab worksnya. Lalu matanya menangkap tulisan angka-angka di bawah cover cerita buatannya.
"Nggak deh, masa gini doang nyerah. Semangat Gendis! Kalo lo nyerah sekarang, cita-cita lo akan semakin jauh! Semangat!" Gendis berusaha tersenyum lebar. Menumbuhkan semangat dalam dirinya sendiri.
Agak aneh memang. Gendis terbiasa berbicara pada dirinya sendiri, menyemangati dan bahkan adu argumen dengan dirinya sendiri. Entah sejak kapan pastinya, tapi cara itu cukup ampuh membuat Gendis kembali 'lurus'.
Masa remaja yang diisi dengan banyak hal-hal baru menuju kedewasaan, membuat Gendis memahami beberapa hal hanya bisa ia simpan sendiri. Apalagi dikelilingi orang-orang yang aktif berkegiatan dan selalu sibuk, nggak ada alasan Gendis mengeluh demi mendapatkan semangat, yang ada malah cibiran.
Gendis pernah mengalami hal itu saat SMP. Saat ia curhat tentang blognya yang sepi, tanggapan teman-temannya hanya tertawa sambil mengatakan.
"Sabar ya."
Dan itu bukan terjadi sekali tapi berulang kali. Kadang malah ditambahi kata-kata sadis yang bikin kepercayaan Gendis anjlok.
"Lebay banget sih, Ge, tulisan juga lo sendiri yang baca. Emang blog lo ada yang baca?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Blocknote
Teen FictionA wise man once said : "Magic happens when you don't give up, even though you want to. The universe always falls in love with a stubborn heart." An amazing cover by @shadriella Blocknote Elok Puspa | Oktober 2017