#22

829 124 37
                                    

"Jadi, gara-gara nyokap lo denger kata temennya yang anaknya patah tulang abis tanding taekwondo terus parno lo kenapa-kenapa?"

Sekar mengangguk. "Lebay sih, tapi tetep aja terharu. Gimana gue nggak nangis coba, pas nyokap bilang takut gue kenapa-kenapa. Padahal selama ini gue ngapain juga dia diem aja, gue bonyok-bonyok tiap latihan dulu juga malah diketawain."

Sekar membersit hidungnya sekali lagi dengan tisu yang diberikan Mara.

"Tuh kan, nyokap lo tuh sayang sama lo walaupun selama ini nggak pernah bilang. Dia nunjukin lewat perhatiannya."

"Nggak bilang bukan berarti nggak sayang. Kadang kasih sayang yang tulus itu nggak bisa diungkapin lewat kata-kata."

Sekar menganggukkan kepalanya. Mata bengkak dengan pipi yang berlelehan air mata itu menjadi pemandangan yang Gendis yakin nggak akan dilewatkan Mara atau pun Manda. Mereka berdua nggak pernah melihat Sekar menangis.

"Iya, terus tadi dia ngomel kenapa gue nggak minta maaf dari kemarin dan bujukin dia. Lah gue mana tau, kan gue kira dia marah, taunya cuma ngambek doang."

"Kok baru baikan sekarang?" tanya Gendis mengingat waktu hari kedua class meeting Sekar sudah bertekad berbaikan dengan sang mama.

"Waktu itu bolu talesnya habis jadi nggak jadi. Tadi udah gue beliin dua aja, nyokap bilang kurang," jawab Sekar dengan tawa kecil sembari mengusap air matanya.

Sontak hal itu membuat Gendis, Manda dan Mara tertawa lebar. Bakat melawak Sekar diturunkan dari sang mama rupanya.

"Di rumah gue lagi banyak makanan tuh, Kak Tari lagi eksperimen resep baru. Lo nggak bilang sih, kalo bilang kan gue tambahin," seloroh Mara menyebutkan nama kakak perempuannya yang memiliki toko kue membuat Sekar langsung tersenyum lebar.

"Tau gitu kita nginepnya rumah Mara aja pas banyak makanan. Di sini kasian mbak-nya Manda masak mulu buat kita."

Lagi-lagi jawaban Sekar memicu derai tawa dari ketiganya. Dalam keadaan apa pun Sekar selalu saja bisa jadi pembangkit suasana, nggak peduli dirinya sendiri habis menangis dan menghabiskan setengah tisu yang baru dibuka milik Manda.

"Gue minta maaf."

Tawa mereka otomatis berhenti. Kini ganti Manda yang jadi pusat perhatian mereka.

Cewek itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga lalu tersenyum kecil. "Maaf, selama ini jarang cerita ke kalian. Bukan berarti gue nggak percaya, gue cuma nggak mau ngebebanin kalian."

"Kita semua tau lah, ada hal yang bisa dan nggak bisa diceritain ke orang lain, sedeket apa pun kita," lanjut Manda yang diangguki Mara.

"Tapi." Manda kembali berbicara. Gendis, Sekar dan Mara menunggu kelanjutan kalimat Manda.

"Menurut gue lebih enak kalo hal-hal yang bisa diceritain itu ya diceritain aja. Seenggaknya dengan begitu akan ada yang support, akan ada yang nemenin nangis dan yang paling penting nggak bikin temennya kelihatan bego karena nggak tau apa-apa soal temen deketnya sendiri."

Gendis merasa semua tatapan tertuju padanya dan kata-kata Manda itu jelas menyindirnya.

"Kok gue?" tanya Gendis dengan wajah polos.

Jitakan Sekar langsung mampir di puncak kepalanya. "Kok gue lagi jawabnya. Heh, gula-gula pasar malem, lo kalo nanyain orang ada masalah aja sampe maksa tapi giliran lo sendiri ada masalah aja nggak pernah cerita."

Omelan Sekar itu diangguki Manda dan Mara. Sedangkan Gendis tertawa lebar. Kata-kata Sekar selalu berhasil membuatnya merasa seperti ditelanjangi karena mengandung unsur kebenaran, tapi anehnya Gendis selalu bersyukur untuk itu, dari Sekar ia belajar untuk mengintrospeksi dirinya sendiri.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang