Dua tahun berlalu.
Gendis disibukkan dengan sederet urusan perkuliahan yang menyita waktu. Belum lagi deadline untuk menyerahkan naskah revisi novel ketiganya.
Iya, Gendis akan menerbitkan novel ketiganya beberapa bulan lagi. Rasanya seperti mimpi. Dulu Gendis selalu menantikan saat ini datang dalam hidupnya, saat ia bisa memeluk novelnya sendiri dan kini ia bahkan akan kembali bisa memeluk karya ketiganya.
Gendis merasa semua hal menyedihkan, hal-hal mengecewakan dan berbagai hal yang hampir membuatnya menyerah dulu adalah untuk ini semua. Kesabarannya, keteguhannya, ketekunannya serta keinginan kuatnya lah yang membawanya di titik ini sekarang.
Gendis bersyukur ia nggak menyerah begitu saja pada keadaan. Gendis bersyukur ia memiliki orang-orang yang selalu meyakinkannya. Gendis bersyukur untuk itu semua. Memang benar kata pepatah, bersusah-susah dulu bersenang-senang kemudian.
"Mikir apa sih?"
Gendis menoleh lalu menggeleng sambil mengulum senyum.
"Nggak."
"Nggak. Tapi lo senyum-senyum gitu. Mikirin gue?"
Tawa menyembur dari celah bibir Gendis. "Sejak kapan lo jadi narsis gini, Ga?"
Cowok yang duduk di balik setir itu cuma mengedikkan bahu. "Sejak negara api menyerang."
"Jokes super garing."
"Biarin. Gitu aja lo masih ketawa."
Gendis menutup mulutnya berusaha untuk meredakan tawa. Cowok di sampingnya ini memang nggak berubah, kadang garing, kadang dingin dan kadang bisa sangat menyenangkan. Yoga seperti permen nano-nano yang rame rasanya, mungkin hal itu yang membuat Gendis betah bersama Yoga.
"Gimana revisian lo?" tanya Yoga saat mobil sedan hitam yang mereka kendarai berhenti di lampu merah.
"Dikit lagi selesai."
"Jangan mager makanya. Emang enak terus-terusan dikejar deadline?"
Kalimat penyemangat ala Yoga yang selalu dibumbui nyinyiran.
"Iya tapi kan deadline nggak cuma revisian novel, tugas kuliah gue juga banyak."
"Pinter-pinter bagi waktu lah. Gue aja bisa masa lo nggak."
Gendis meringis masam. Yoga memang pintar masalah pembagian waktu, dengan semua tugas kuliah yang menumpuk, Yoga masih aktif berorganisasi dan cowok itu bahkan masih pulang-pergi kuliah untuk menjaga Aruna. Kadang cowok itu juga sempat menjemputnya dan mengajaknya jalan entah kemana ketika ada waktu luang.
"Lo nggak pernah males ya?" tanya Gendis dengan nada sebal.
"Males itu cuma alasan. Kalo tekad lo kuat nggak akan ada rasa males," ujar Yoga dengan ketegasan di tiap katanya.
"Tekad gue udah kuat banget padahal tiap malem, tapi kalo buka twitter jadi mager pengennya fangirlingan aja." Gendis mencebikkan bibirnya mengingat kebiasaannya yang nggak bisa lepas dari sosial media, apalagi kalau yang menyangkut korea-korea. Sesungguhnya kelemahan Gendis ada pada senyum oppa-oppa itu!
"Kurang-kurangin kayak gitu, yang penting dulu dilakuin."
"Iya, iya, Yoga ampun deh tiap ketemu gue diomelin mulu."
"Nggak diomelin, tapi dibilangin."
"Sama aja, kalo lo semuanya kayak ngomelin," balas Gendis nggak mau kalah.
"Kalo gue masih ngomel tandanya gue masih peduli."
Gendis menoleh menatap Yoga. "Terus?"
Yoga balik menatap Gendis. Matanya tertuju lurus pada kedua manik mata Gendis. "Kalo gue peduli berarti gue sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blocknote
Teen FictionA wise man once said : "Magic happens when you don't give up, even though you want to. The universe always falls in love with a stubborn heart." An amazing cover by @shadriella Blocknote Elok Puspa | Oktober 2017