#31

779 127 35
                                    

Kebas.

Tubuhnya. Hatinya. Pikirannya. Gendis nggak tau lagi harus bagaimana mendeskripsikan apa yang sedang dirasakannya sekarang. Rasanya seperti tenggelam di dalam kolam tanpa dasar. Sesak. Sulit bernapas. Pikirannya kosong.

Sepanjang pelajaran Pak Jajang Gendis cuma diam, menatap lurus pada papan tulis tanpa ada satu pun kata yang berhasil memasuki otaknya. Saat Manda mengajaknya bicara Gendis cuma tersenyum kaku sambil menjawab sekenanya.

Gendis sudah berjanji nggak akan menangis karena cowok, karena lagi-lagi cintanya bertepuk sebelah tangan dan yang lebih ironi adalah penyebabnya satu orang yang sama, teman dekatnya sendiri.

Tenggorokannya terasa begitu kering. Di depan Rikza ia berpura-pura senang dan menyemangati cowok itu untuk mendekati Manda, walaupun kenyataannya tiap pujian yang mengalir untuk Manda dari bibir Rikza itu menyakitinya lebih dalam.

Masih teringat dengan jelas bagaimana Rikza begitu memuja Manda. Bagaimana pancaran mata penuh cinta itu terlihat jelas di kedua mata hitam cowok itu. Bagaimana semua itu perlahan tapi pasti melumpuhkan bagian-bagian dalam diri Gendis. Meremukkannya menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak bisa lagi tertolong.

Dan untuk pertama kalinya selama Gendis mengemban ilmu di Persada Nusantara, ia keluar bersamaan dengan guru pengajar begitu bel pulang berbunyi. Mengabaikan panggilan teman-temannya yang merasa aneh dengan sikapnya. Gendis bergabung dengan keramaian koridor di jam pulang sekolah yang biasanya membuatnya menggerutu, ikut mengantri untuk menuruni tangga yang selalu membuatnya kesal dan berjalan secepat mungkin meninggalkan area sekolah.

Gendis cuma ingin cepat-cepat berada di kamarnya sekarang. Gendis ingin tidur dan melupakan sejenak kenyataan pahit yang baru saja diterimanya.

Brukk-

Tubuh Gendis terhuyung ke belakang. Wajahnya yang pucat itu menampakan ekspresi terkejut.

"Lo lagi. Lo lagi."

"Sorry. Sorry. Gue nggak sengaja. Sorry ya," ucap Gendis cepat tanpa menatap siapa orang yang ditabraknya. Dari suaranya Gendis tau itu pasti cowok.

"Dasar cewek ceroboh."

Kepala Gendis mendongak. Menatap lurus pada lawan bicaranya itu. Sorot matanya berubah sendu.

"Iya. Gue emang ceroboh. Makasih udah ngingetin."

Dengan itu Gendis langsung pergi meninggalkan cowok yang kini berbalik menatap punggung Gendis makin menjauh lalu berbelok ke arah lobi belakang.

"Kenapa lo?"

"Nggak."

"Jangan coba bohong. Lo kalah jago sama gue soal itu."

Gendis tertawa singkat mendengar jawaban Galang yang sesekali meliriknya dari spion motor.

Senyum simpul nampak di bibirnya. "Nggak kok. Masalah kecil. Gue bisa ngatasin sendiri."

Galang membalasnya dengan tatapan lekat sebelum kemudian kembali menatap lurus ke depan.

"Nyender aja kalo lo emang butuh."

Kata-kata Galang menyentuh hati Gendis. Dalam hitungan ketiga kepalanya sudah berada di punggung Galang dengan tangan yang memeluk perut adiknya itu. Perlahan tanpa bisa dicegah, setetes air mata menuruni pipi pucatnya, mengawali tangis pelan Gendis yang tanpa suara. Tangis yang sekaligus menandai hatinya yang baru saja berbunga harus hancur, sekali lagi.

Galang bukannya nggak menyadari ada yang berbeda dari kakak satu-satunya itu. Seumur hidup ia tinggal bersama Gendis, jelas ia jadi orang yang paling tau tindak-tanduknya.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang