#39

825 135 35
                                    

Setelah semua pertanyaan, desakan dan tekanan yang diterimanya akhir-akhir ini, Gendis memutuskan meneruskan apa yang jadi cita-citanya sejak kecil, mendaftar di universitas tempat ayahnya menimba ilmu dulu, walaupun sebenarnya hati Gendis tak sepenuhnya ada di sana.

Sulit untuk menjelaskan kepada orang lain terutama sang mama yang paling semangat dengan rencana itu, bahkan tadi mamanya bilang kalau nggak mendapat lewat jalur seleksi nilai, Gendis harus mengambil jalur mandiri. Begitu besar harapan sang mama, Gendis nggak mau mengecewakannya.

Helaan napas gusar terdengar di kamar Gendis yang sunyi. Matanya menatap kosong ke arah laptop yang menampilkan web universitas impiannya.

Gendis meraih tetikus untuk menutup tab bertepatan dengan pintu kamarnya yang dibuka. Galang muncul dengan menaikkan satu alisnya.

"Udah daftar?"

"Udah," jawab Gendis singkat lalu menutup laptopnya.

"Jangan terlalu diharepin, doa aja."

Gendis bangkit dari kursi lalu mengangguk menatap Galang. "Iya, Bang."

Galang meresponnya dengan dengusan lalu menutup pintu kamarnya. Suara langkah kaki menjauh dan saklar lampu yang dimatikan membuat Gendis tersenyum tipis.

Entah apa yang membuat Galang menjadi lebih perhatian akhir-akhir ini. Tapi, Gendis bersyukur untuk itu karena hanya Galang yang ia miliki selain sang mama.

Rikza tak kehabisan cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Gendis. Ia tau cewek itu sebenarnya udah nggak marah, cuma gengsi aja.

Terbukti siang ini saat ia menghampiri Gendis yang fokus pada ponselnya.

"Ge lo tau nggak?"

"Nggak."

"Ada kabar gembira."

"Apa? Kulit manggis ada ekstraknya?"

Tawa Rikza menyembur. Niatnya membuat Gendis tertawa malah jadi sebaliknya.

"Bukan."

"Apa?" Gendis bertanya tanpa mengalihkan fokusnya dengan nada datar.

"Vicky nikah sama Angel."

Rikza tersenyum senang saat Gendis akhirnya menegakkan punggung dan menatapnya.

"Nggak penting banget," balas Gendis dengan ekspresi jengah.

"Ada lagi."

"Kalo nggak penting mending lo pergi."

Rikza mendecak. "Ish jahat."

"Lo lebih jahat."

"Iya, iya, gue salah, gue minta maaf." Rikza menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Wajah cerahnya berubah datar.

Gendis yang menyadari perubahan Rikza itu mendadak merasa bersalah. Apalagi melihat ekspresi dingin cowok itu yang jarang sekali dilihatnya.

Sialan banget nih cowok. Bisa banget muter balikin keadaan.

Menghela napas panjang, Gendis akhirnya menyenggol lengan Rikza.
"Nggak usah sok ngambek."

"Nggak. Gue nggak ngambek. Emang gue bocah."

Gendis mencibir. "Iya udah. Lo mau ngapain nyamperin gue?"

Rikza menegakkan punggung dan menatap Gendis. Ekspresi dinginnya beberapa saat lalu sudah lenyap tak berbekas digantikan dengan cengiran khasnya.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang